tag:blogger.com,1999:blog-19917617494866904192023-07-17T22:01:38.859-07:00Manusia Setengah DewaHe's a half - God Man, He had the Persona but unfortunately, Now, He's DEMOLISHED...By a Power Of A Woman..VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.comBlogger40125tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-72255901973104067222010-01-27T17:55:00.002-08:002010-01-27T17:56:28.988-08:00MY SAVIOR WONKMenunggu kepulangan Wonk, membuatku berpikir bahwa dia bukan laki – laki biasa, tapi lebih dari itu.<br /><br />Rasanya aku tidak bisa membandingkan Wonk dengan Bho.<br /><br />Bho, anak laki – laki yang bisa mendapatkan apa saja kalau dia mau. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil yang pastinya mempunyai pekerjaan tetap. Setidaknya, tidak begitu berat untuk menghidupi istri dan anak – anaknya. Aku mungkin belum begitu tahu tentang bagaimana keluarga Bho, tapi Bho masih jauh lebih beruntung dari Wonk.<br /><br />Wonk, anak ke 8 dari 9 bersaudara. Dia berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya bukan seorang pegawai kantoran. Ayahnya hanya seorang penjual buah – buahan dan dengan hasil berdagang nya itulah, ia memberi nafkah istri dan anak – anaknya. Menyekolahkan anak - anaknya, mendidik mereka, hingga mereka sukses dan jadi orang – orang yang lebih baik. Yang membuatku bahagia, Ayah dan Ibu Wonk, mampu menyekolahkan semua anak – anaknya. Punya 9 orang anak dan semuanya berhasil sungguh membuatku salut.<br /><br />Aku tidak malu dengan semua itu, justru aku bahagia dan bangga bahwa Wonk tidak merasa kecil hati dengan semua itu.<br /><br />Aku pernah menelpon dia saat dia ingin berangkat ke warung tempat ayahnya berjualan dan ia tidak malu mengatakan padaku kalau ia ingin membantu ayahnya disana.<br /><br />“Ayah lagi jalan ke warung mau bantu Bapak”, ujarnya.<br /><br />“Bapak jualan apa?”, tanyaku.<br /><br />“Buah….kenapa?”, tanyanya..<br /><br />“Ga papa….”, jawabku.<br /><br />“Bapak memang jualan buah dari dulu. Ya, kita semua sekolah, makan dari hasil Bapak jualan buah. Bun ga malu kan?”, tanyanya.<br /><br />“Ga..ga malu. Bun seneng kok. Setidaknya Bapak menafkahi anak – anak dan istri nya dengan cara yang halal”, jawabku.<br /><br />“Ya, makanya…Ayah ga berat kalau harus bantu Bapak, karena Ayah bisa kayak sekarang juga karena buah – buah itu”, ujarnya.<br /><br />“Hmmmm..yang semangat ya jualannya Chayank!!”, jawabku.<br /><br />“Pasti! Maaf ya chayank, kalo Ayah kayak gini…”, ujarnya.<br /><br />“Kenapa? Bun terima Ayah apa adanya. Bun ga liat itu semua. Pokoknya Bapak hebat. Ntar Bun boleh kan bantu – bantu di warung?”, tanyaku.<br /><br />“Banget, boleh banget sayang….makasih ya Chayank”, jawabnya.<br /><br />“Sama – sama, kembali kasih”, jawabku disambut suara tawanya yang khas.<br /><br />Aku memang tidak mengharapkan someone yang punya babat, bebet, bobot. Menurutku itu tidak terlalu penting. Yang penting Cuma isi hati seseorang aja.<br /><br />Aku ga terlalu memikirkan semuanya sekarang.<br /><br />Kalau ingat dulu, waktu SMU, kadang kita hanya berpatokan pada fisik seseorang saja untuk menentukan pantas atau tidaknya orang tersebut jadi orang paling special dihati. Tapi, makin lama, tampaknya, cara pikir tersebut terlalu picik.<br /><br />Bho….A Man with a Good Persona…..tapi kurang punya pendirian. Entah pengaruh sifat, zodiac, atau memang trauma masa lalu, tapi aku bersyukur…dia bukan jodohku. Tak terpikirkan olehku jika memang dia bertanggung jawab atas apa yang terjadi padaku tetapi masih tetap stuck di rutinitas yang sama, aku pasti sudah berubah jadi zombie. Tapi aku yakin, dia akan berubah jadi ayah yang baik untuk anak – anaknya nanti dengan seseorang, bukan anak – anakku.<br /><br />Wonk, sudah lebih dari cukup untukku. Dia ayah yang baik untuk anak – anakku. Menerima Rhama dan Dewa – ku layaknya darah dagingnya sendiri. Kala melihatnya bermain dengan anak – anak, memanggil mereka dengan sebutan ‘anak ayah’, membuatku merasa aku tak perlu mencari atau pun berharap ‘ayah kandung’ dari anak – anakku mencariku untuk mempertanggung jawabkan semua.<br /><br />Seperti suatu ketika, Wonk sedang menenangkan Dewa ketika menunggu giliran untuk mandi…aku merasa, Wonk lebih dari segalanya..<br /><br />“Kenapa anak Ayah nangis??? Sabar sayang, Bunda Cuma punya 2 tangan. Abis ini giliran Dd ya ( panggilan sayang Wonk untuk si kecil Dewa ). Masa anak Ayah nangis”, ujar Wonk pada Dewa yang masih menangis di pelukannya.<br /><br />Aku melihat dari jauh…merasa….merasakan perasaan yang sulit kuungkapkan.<br /><br />Akhirnya Dewa pun tenang di pelukan Wonk.<br />Ketika Rhama suda selesai mandi, aku mengambil Dewa dari dekapan Wonk. Seketika Dewa pun menangis. Akhirnya, Wonk lah yang memandikan Dewa. Lama kelamaan, Rhama dan Dewa sulit terpisahkan dari seorang laki – laki bernama Wonk.<br /><br />Melihatnya bercanda, memberikan makan, bahkan menidurkan mereka..membuatku berpikir, aku terlalu bodoh jika melepaskan Wonk.<br /><br />Aku sudah memilih jalanku sendiri dan ini adalah keputusan yang terbaik untukku. Aku menyayangi dan mencintai Wonk sepenuh hati. Memikirkan bahwa jodoh kita sebenarnya selalu ada di depan mata membuatku bersyukur, Tuhan menyadarkanku ketika aku bertemu Wonk, nobody else.<br /><br />Rasa ini tumbuh atas namanya, bukan orang lain.<br /><br />He’s My Savior….He’s The One….My Only One….<br /><br />Mudah – mudahan, buat semua yang dah baca thread saya, cepet bisa ketemu sama soulmate nya ya…<br /><br />Coz it’s so….Wonderfull……VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-5353344379904699272010-01-27T17:55:00.001-08:002010-01-27T17:55:54.287-08:00PART TWENTY NINETH – IN THE END….Masa itu kini sudah terlewati. Kakakku bercerita tentang semuanya begitu aku dapat kembali melihat orang – orang yang kusayangi.<br /><br />Aku tersadar dari tidurku dengan wajah orang yang paling kusayangi sedang memandangiku tersenyum, namun ada airmata disudut mata itu. Dia adalah Wonk. Kata yang keluar dari bibirnya saat itu hanya,..<br /><br /><i>‘Plizzz….jangan pernah tinggalin ayah lagi’….</i><br /><br />Aku hanya bisa terdiam, tersenyum namun dilubuk hatiku yang paling dalam, aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan.<br /><br /><i>‘Apa benar dia betul – betul menyayangiku seperti ini?? Apa benar ini terjadi padaku?’</i><br /><br />Ditengah suasana yang mulai terasa haru, semua bayangan terasa blur. Sepertinya aku hanya terfokus pada Wonk. Dia begitu baik menerima semuanya. Tersadar oleh pandanganku, dia pun menghampiriku.<br /><br />“Kenapa dari tadi ngeliatin terus? Ga kenal sama Ayah?”, tanyanya.<br /><br />“Kenal”, jawabku.<br /><br />“Trus kenapa diliatin terus Ayahnya? Kangen?”, tanyanya.<br /><br />“Kangen….kayaknya dah lama ga liat Ayah, ga denger suara Ayah”, jawabku.<br /><br />Wonk hanya tersenyum. Dia menceritakan padaku tentang hari itu. Setelah aku melahirkan anak – anakku, terjadi perdarahan yang hebat. Didukung dengan kondisi fisikku yang lemah dan ada masalah juga dengan kehamilanku, aku kehilangan kesadaranku. Wonk berkata, aku tak sadar selama 3 hari.<br /><br />“Ayah, ngapain selama 3 hari? Disini?”, tanyaku.<br /><br />“Nungguin Bun”, jawabnya.<br /><br />“Nungguin apa? Mang kalo nungguin Bun dapet hadiah apa?”, tanyaku<br /><br />“Nungguin Bun sadar. Bun lama banget bangunnya. Ayah smpe ga sabaran. Hadiah buat Ayah dah ada, manis – manis kayak Bundanya Ayah. Tapi kalo Bundanya ga bisa sama – sama Ayah, Ga akan sama rasanya”, jawabnya.<br /><br />“Kenapa?”, tanyaku.<br /><br />Kemudian wajah Wonk menghampiri wajahku, dan dia membisikkan sesuatu di telingaku.<br /><br />“Bun tuh segalanya buat Ayah. Ga ada Bun, rasanya ga akan sama. Bun cuma satu – satunya yang Ayah punya selain anak – anak. Ayah ga akan pernah mau kehilangan Bun karena Ayah sayang banget sama Bun”, ujarnya di telingaku.<br /><br />Aku hanya bisa menangis mendengar semuanya. Menangis dan entah mengapa, bayangan Bho dihatiku mulai menjauh dan menjauh. Melihatku menangis, Wonk mengusap wajahku dan berusaha menenangkanku.<br /><br />“Dah ahh..jangan nangis, Jelek. Bun Ayah nanti jelek kalo nangis”, ujarnya.<br /><br />“Mang Bun jelek…”, jawabku ditengah tangisku.<br /><br />“Jangan gitu ah...Bun Ayah tuh cantik banget. Perduli amat orang bilang Bun kayak gimana. Buat Ayah, Bun segalanya, ga bisa dituker sama apapun. Kalo tiba2 si Aji datang minta Bun, minta anak2, ga akan Ayah ijinin”, ujarnya.<br /><br />Mendengar segala penuturannya, mengetahui dia begitu menerima semuanya, aku rasanya sudah menemukan tujuan hidupku.<br /><br />Aku, hari itu benar – benar bisa melihat buah hatiku yang entah bagaimana, begitu tampak mengenalku. Matanya yang mungil, yang belum bisa mengenali keadaan disekitarnya, seakan – akan berkata padaku,<br /><br /><i>‘Bunda, Aku sayang banget sama Bunda’….<br /></i><br />Mereka mungil, Aku melihatnya dari luar ruangan itu. Mereka berada di dalam inkubator. Entah apa perasaan mereka saat itu, tapi aku merasa bahwa aku menang. Menang melawan semua rasa cemasku, menang melawan rasa sakitku, sakit yang entah berapa lama kurasakan.<br /><br />Tapi kini, melihat Wonk disampingku, melihat anak – anak yang kuperjuangkan dihadapanku, aku merasa menang terhadap Bho. Aku ga akan rela dia ambil apapun dariku, termasuk anak – anakku.<br /><br />Aku akan berjuang dengan sekuat tenagaku menjaga apa yang sudah Tuhan berikan untukku, sejak hari itu, aku merasakan ada semangat yang baru, dan aku tahu…<br /><br />“Yah…..”, panggilku kepada Wonk ketika melihat mereka.<br /><br />“Iya sayang….”, jawab Wonk sambil memelukku dari belakang kursi rodaku.<br /><br />“Bun jadi Ibu ya Yah?”, tanyaku.<br /><br />“Iyah…Itu anak – anak kita Bun. Bun dah jadi Bunda, Ayah dah jadi Ayah dari jagoan – jagoan Ayah. Kenapa?”, tanyanya.<br /><br />“Bun seneng. Jangan tinggalin Bun lagi”, jawabku.<br /><br />“Ga akan…Ayah bodoh kalo Ayah tinggalin Bun. Bun Nyawa Ayah”, jawabnya sambil mencium pipiku.<br /><br />Hari itu, aku menjadi manusia paling bahagia, mungkin Wanita paling bahagia….<br /><br />Hari itu, aku dan Wonk sepakat menamakan mereka Rhama Putra Auliansyah Hakim dan Dewa Putra Auliansyah Hakim. Ada nama Bho di dalam nama anak – anakku dan Wonk menyadari itu. Dia merasa cukup berbesar hati awalnya, tapi lambat laun, aku merasa bahwa Wonk tidak menginginkan nama itu dan ia mengatakannya padaku.<br /><br />“Bun, Ayah mau ngomong sesuatu”, ujarnya.<br /><br />“Ya..mau ngomong apa?”, tanyaku.<br /><br />“Bun, kalau suatu saat nanti Bun dah bias terima Ayah, Ayah mau nama anak – anak diganti. Jangan ada Bho lagi dalam hidup kita, Bun. Maaf kalo Ayah egois, tapi Ayah sama sekali ga mau ada kenangan Bho lagi”, ujarnya.<br /><br />“Iyah..Bun Paham…Ayah yang sabar ya. Maafin Bun”, jawabku<br /><br />Wonk hanya mengangguk dan tersenyum penuh arti.<br /><br />Hari berganti hari….Minggu berganti minggu dan entah kenapa, semua tampak sempurna buatku.<br /><br />Sampai Wonk harus pergi ke Kuala Lumpur, Malaysia untuk menjalankann tugasnya. Tapi aku tidak merasa kesepian. Dia tetap selalu ada untukku. Aku pun mulai menyibukkan diri dengan melakukan apapun untuk mengisi hariku agar ketiadaan Wonk tak begitu terasa, tapi dia selalu ada dihatiku.<br /><br />Sampai suatu ketika, Wonk menelponku mengatakan hal yang dulu dia tanyakan padaku.<br /><br />“Bun, kali ini, Ayah bener – bener mau Tanya yang waktu itu pernah Ayah Tanya sama Bun”, ujarnya.<br /><br />“Tanya apa?”, tanyaku.<br /><br />“Bun mau kan jadi istri ayah? Jadi pendamping Ayah? Temenin Ayah seumur hidup Ayah? Ayah butuh Bun”, tanyanya.<br /><br />Aku terdiam dan aku hanya bisa menangis. Rasanya, Aku akan merasa sebagai wanita tolol kalau aku menolak Wonk. Mengetahui apa yang sudah dia lakukan untukku, anak – anakku..dan akhirnya aku berani menjawabnya dengan segala resikonya.<br /><br />“Ya…Bun mau!”, jawabku.<br /><br />Jawabanku disambut dengan ucapan yang tak kumengerti. Mulai detik itu, Aku jauh lebih bahagia dari hari – hari kemarin.<br /><br /><b><span style="font-family:Arial Black;"><span style="font-size:100%;">Hari ini….</span></span></b><br /><br />Hari ini, semua ketakutanku mulai sirna. Ketakutan akan hadirnya Bho kembali dalam hidupku dan anak2ku mulai benar – benar hilang. Wonk akan segera kembali ke Indonesia dengan perasaan yang <b>‘luar biasa bahagia’</b> katanya.<br /><br />Persiapan tentang hari dimana jadi akhir dari penantianku akan segera tiba. Entah mengapa, aku gelisah. Gelisah namun <b><span style="font-size:100%;">‘Bahagia Luar Biasa’</span></b>…VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-78527387220281647072009-12-02T18:16:00.000-08:002009-12-02T18:17:08.555-08:00PART TWENTY EIGHT – I’M SCARED…Satu persatu mulai mempersiapkan semuanya. Mereka mulai menyuntikkan sesuatu ke tubuh ku dan memerintahkan au untuk melakukan ini dan itu. Dibenakku saat itu hanya ingin Wonk ada di sampingku.<br /><br />Saat itu, aku hanya mau dia…..<br /><br />Kondisi tubuhku mulai tidak stabil. Aku bilang ke salah satu suster yang membantuku untuk memberitahu Wonk atau siapapun kalau memang sudah waktunya.<br /><br />“Mba…tolong bilang sama keluarga saya, saya minta maaf”, pintaku saat itu.<br /><br />“Bu, Ibu harus kuat. Sabar ya. Keluarganya sudah dikabari kok”, jawab suster itu.<br /><br />Pernyataannya tidak membuatku tenang. Rasa sakit bercampur rasa melilit yang hebat membuatku tak dapat berpikir apapun. Rasanya aku hari itu sudah berkata dalam hati berulang – ulang kepada Tuhan..<br /><br /><i>‘Ya Tuhan, aku Cuma mau mengantarkan makhluk – makhluk mungil ini melihat semua ciptaanmu tapi aku gak mampu…’</i><br /><br />Rasanya kalau saat itu nyawaku langsung hilang, pasti rasanya tak akan terasa seperti ini, tapi melihat semua yang telah lewat, membuatku punya keinginan untuk tetap bertahan, setidaknya sampai kewajibanku selesai.<br /><br />Saat itu, entah mengapa, yang bisa menenangkanku untuk sementara adalah mengenang semuanya. Masa dimana Bho masih ada untukku. Ketika semuanya masih ada ditempat yang seharusnya. Tapi begitu bayangan ketika aku harus melewatinya sendiri, rasa sakit itu terasa makin hebat. Lebih hebat dari sebelumnya. Aku hanya ingin semuanya selesai.<br /><br />Semuanya tampak lebih sibuk dan aku hanya bisa diam. Keringat sudah membanjiri tubuhku dan aku hanya berharap, semua yang terbaik. Kalaupun aku harus pergi saat itu, seperti aku akan ikhlas karena aku percaya, anak – anakku akan berada di tempat yang benar.<br /><br />Aku mulai merasakan sakit yang lebih hebat dan rasanya, aku ga sanggup lewati semuanya sampai tiba – tiba pintu ruang perawatan itu terbuka dan aku melihat Wonk disana, tersengal – sengal. Dia langsung menghampiriku.<br /><br />“Bun, maaf. Ayah beli mam nya kejauhan. Sabar ya Sayang, Yang kuat ya”, ujarnya.<br /><br />Aku tampak malu dengan posisiku saat itu tapi tampaknya Wonk tak memperdulikan hal tersebut. Aku hanya bisa tersenyum dan sepertinya kekuatanku kembali.<br /><br />“Maaf Sayang…Maaf. Jangan senyum aja, ngomong donk!!”, ujarnya lagi sambil mengusap – usap kepalaku.<br /><br />“Sakit Yah…Bun….ga kuat Yah,…..Maaf”, jawabku terbata – bata.<br /><br />“Ga…Bun kuat Sayang. Ayah tau kalo Bun kuat”, jawabnya.<br /><br />Tangannya menggenggam tanganku kuat – kuat. Dia menatapku dan aku menatapnya seakan – akan ini yang terakhir kalinya aku melihat dia. Sekilas, aku merasakan Bho hadir disini, diantara aku dan Wonk, rasa sakit itu datang lagi dan aku tak mampu.<br /><br />Wonk memanggil suster dan beliau pun mengecek kondisiku.Beliau mengatakan kalau akan segera memberitahukan kepada Dokter yang menanganiku.<br /><br />Wonk entah kenapa, berinisiatif lebih menenangkanku.<br /><br />“Bun, Ayah tau Bun tuh lebih kuat dari Ayah, Sayang”, ujarnya.<br /><br />Aku hanya bisa tersenyum sambil merasakan sakit yang entah..tak bisa diungkapkan dengan kata – kata.<br /><br />“Ayah gak akan mungkin bisa kehilangan wanita kayak Bun”, ujarnya lagi.<br /><br />“Bun bisa lewatin semuanya. Ayah ga habis pikir betapa bodohnya laki – laki itu menelantarkan satu – satunya harta yang paling berharga yang dia punya. Sampai akhirnya, harta itu ga akan jadi miliknya, sepeser pun karena Ayah ga kan pernah biarin dia ambil Bun dari Ayah”, ujarnya lagi.<br /><br />Aku hanya bisa tersenyum dan tak berapa lama semuanya mulai berdatangan. Mereka mulai mempersiapkan segalanya. Aku seperti akan dibawa ke suatu tempat yang membuatku merasakan ketakutan yang besar.<br /><br />“Ayah…..Bun bener – bener ga kuat. Bun minta maaf ya. Tolong, bilang Bho, bun minta maaf”, ujarku<br /><br />“Ga….Bun kuat, Ayah yakin, jadi Bun ga perlu minta maaf sama dia. Dia yang harusnya minta maaf sama Bun”, jawab Wonk.<br /><br />“Tapi…”, jawabku.<br /><br />Ugghh..rasanya mau mati saat itu juga. Sekujur tubuhku menegang dan kurasakan sakit yang lebih hebat.<br /><br /><i>‘Bu, maafin Hanna’</i>, bisikku, Cuma itu yang aku mampu.<br /><br />Detik berlalu, dan aku pun sudah berada di ruang persalinan yang entah seperti ruang penjagalan buatku. Posisiku sudah diatus sedemikian rupa agar mempermudah persalinannya dan sungguh, aku ga perduli gimana posisinya, yang penting aku mau ini segera berakhir.<br /><br /><i>‘Oh Tuhan……’,</i> bisikku dalam hati.<br /><br />Kehadiran Wonk di dalam ruang persalinan pun tak membuatku merasa kembali kuat. Seakan ini hanya urusanku dan Tuhan yang tau akan bagaimana akhirnya.<br /><br />Entah berapa lama itu berlangsung, tangisku tertahan disana dan aku merasakan letih yang sangat luar biasa. Terdengar olehku sayup – sayup suara Wonk dan beberapa perintah yang harus kulakukan, aku melakukannya dengan semua sisa tenagaku.<br /><br />Aku Mendengar sayup – sayup suara tangisan dan aku ga bisa konsen dengan keadaan di sekelilingku. Aku menunggu cukup lama sampai akhirnya mendengar suara perintah untuk menghabiskan seluruh tenagaku dan aku mendengar tangisan itu kembali.<br /><br />Ada tangan lembut mengusap pipiku dan aku hanya bisa tersenyum sampai tak terasa air mataku keluar dari ujung – ujung mataku. Tapi ada rasa yang tak bisa kugambarkan saat itu. Pandanganku tak focus dan….aku masih merasakan tangan itu di pipiku dan sepertinya seseorang yang menyentuh pipiku meneriakkan sesuatu, tapi aku tak mampu mendengarnya.<br /><br />“Maaf…….”<br /><br />Hanya kata itu yang mampu aku ucapkan lalu aku merasa semua berubah menjadi…<br /><br />Gelap……..VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-15280588525102396022009-12-02T18:15:00.000-08:002009-12-02T18:16:28.308-08:00Part Twenty Seventh – You...Are you really??aku mendengar apa yang dibicarakan dengan perasaan tak menentu. Ketika kakakku menanyakan tentang apa yang Wonk utarakan kepada keluargaku, membuat otakku berhenti berpikir seketika.<br /><br />“Han, kok diem siy? Gimana? Tuh Wonk nunggu jawaban”, tanya kakakku.<br /><br />Aku hanya bisa menundukkan wajahku. Entah malu atau aku benar – benar tak kuasa menatapnya. Sampai beberapa kali kakakku menegurku, baru aku berani menjawab semuanya, sesuai kata hatiku.<br /><br />“Han....gimana?”, tanya kakak laki – lakiku.<br /><br />“Hmmm....maaf ya semuanya. Maaf Wonk. Aku tau niat kamu baik banget. Aku juga ga tau kalau kamu bisa punya keinginan sebesar ini untuk jadiin aku...mm...pendamping kamu. Tapi aku..”, jawabku tertahan.<br /><br />“Kenapa Han?”, tanya Wonk.<br /><br />“Ga papa....cuma”, jawabku ragu sambil melihat ke sekelilingku.<br /><br />Tiba – tiba entah ada angin apa, kakak perempuanku mengatakan sesuatu.<br /><br />“Han, Mba sama Mas – Mas pamit ke ruang makan ya. Kamu sama Wonk ke teras atas aja. Kalian bicarakan ini berdua. Kami cuma bisa berharap semuanya akan berjalan sesuai apa yang kalian kehendaki. Yang terbaik buat kamu Hanna, terbaik juga buat kami. Kami ingin lihat kamu bahagia, gak kayak gini”, ujar kakak perempuanku.<br /><br />Kemudian kakak laki – lakiku dan semua yang ada disitu beranjak pergi ke tempat tujuannya masing – masing dan meninggalkanku dengan Wonk yang terdiam tanpa suara.<br /><br />“Han, ayo kita ke teras atas. Bicarakan semuanya, mau kan?”, tanyanya.<br /><br />“Iyah....”, jawabku.<br /><br />Aku segera mengajaknya ke teras atas atau lebih tepatnya balkon besar di lantai 2 rumahku. Aku mengajaknya duduk disitu.<br /><br />“Wonk, tempat ini dah jadi saksi bisu masa kecil, remaja dan dewasaku. Semua terkubur disini. Entah aku bisa mengaisnya lagi atau ga. Tapi setiap aku kembali kesini, kenangan akan Ibu, Ayah dan suasana masa kecilku kembali lagi dan aku merindukan itu Wonk”, ujarku membuka pembicaraan diantara kami berdua.<br /><br />“Tapi itu masa lalu, Hanna. Sekarang kamu sedang dihadapkan dengan satu masa, dimana masa itu akan jadi masa depan kamu dan aku ga mau kamu lewatin semuanya sendiri”, jawabnya.<br /><br />“Wonk, sendiri atau ga sendiri, rasanya sama”, jawabku.<br /><br />“Kamu mengharapkan si Bho itu bertanggung jawab atas semuanya? Kamu bilang kalo kamu dah tau apa jawabannya. Sekarang aku tanya, apa jawaban dia setelah tau kamu hamil?”, tanya Wonk.<br /><br />Aku hanya bisa terdiam ketika Wonk menanyakan hal itu padaku. Wonk menghampiriku.<br /><br />“Han, Aku ga pernah sedikit pun punya niat untuk mengambil keuntungan atas apa yang dah terjadi sama kamu. Aku juga ga bahagia diatas penderitaan siapa pun. Toh kenyataannya memang laki – laki itu ga menderita, justru kamu yang menderita mikirin dia sepanjang hari tapi apa dia mikirin kamu Han??”, tanyanya.<br /><br />“Memang ga...tapi....”, jawabku.<br /><br />“Kamu tau jawabannya tapi kenapa kamu ga berusaha tunjukkin ke dia kalo kamu bisa maju selangkah tanpa dia, Han?”, jawab Wonk.<br /><br />“Ada di bagian hatiku yang bilang kalo dia sebenernya masih pengen care sama aku, Wonk. Tapi karena aku hamil, dia buang jauh – jauh semuanya”, jawabku.<br /><br />“kalo memang dia care, paling ga, dia.......susah. Sekarang gini, kamu mau tunggu sampai kapan si laki – laki itu?”, tanyanya.<br /><br />“Ga tau.......tapi kamu...”, jawabku.<br /><br />“Aku??? kamu tanya aku, Han?”, tanyanya.<br /><br />“Iyah, kamu kenapa bilang kayak gitu sama keluargaku? Apa keluarga kamu mau terima aku?”, tanyaku.<br /><br />“Han, Apa yang terbaik buatku, keluargaku mendukung. Aku melakukan ini juga atas persetujuan si Mama. Aku sayang kamu dan makhluk – makhluk kecil yang ada di perut kamu, Han. Aku berani lakukan apapun buat mereka. Aku ga mau mereka disakitin siapa pun, sampai mati aku ga mau liat kamu dan mereka menderita. Aku mau liat kamu, mereka, kita bahagia, Han. Bangun keluarga kecil yang bahagia”, jawabnya.<br /><br />“Kenapa kamu bisa sampai se-gila ini siy? Salahku apa sama kamu?”, tanyaku.<br /><br />“Kamu ga punya salah apa pun Sayangku...ga ada. Kamu terlalu baik untuk diperlakukan seperti ini. Aku tuh bener – bener sayang sama kamu, Han. Terlepas dari apapun yang sudah terjadi, aku akan tetep sama Han, sayang sama kamu”, jawabnya meyakinkanku.<br /><br />Aku menatapnya dengan perasaan yang tidak menentu.<br /><br />“Terus mau kamu apa sekarang?”, tanyaku.<br /><br />“Keinginanku sama seperti hari ini, kemarin, sebulan lalu…aku mau kamu jadi pemdampingku”, jawabnya.<br /><br />“Tapi, aku…keadaanku tuh kayak gini Wonk”, jawabku.<br /><br />“Keadaan kamu kayak apa? Sekarang aku Tanya….”, tanyanya.<br /><br />“Iyah, hamil….kamu ga malu apa?”, tanyaku.<br /><br />“Malu kenapa?”, tanyanya.<br /><br />“Ya malu. Apa kata semua keluarga kamu, semua temen – temen kamu nanti tentang aku, Wonk”, jawabku setengah menahan tangis.<br /><br />“Ga. Aku ga malu. Kalau keluarga, kan sudah kubilang kalau mereka menerima apapun keputusanku. Kalau teman – temanku, aku udah ngomong kok. Semuanya mendukungku karena mereka tau kalau Cuma kamu yang aku mau dan Cuma kamu yang bisa bikin aku seneng Han”, jawabnya.<br /><br />“Kenapa bisa begitu?”, tanyaku<br /><br />“Ya, karena Cuma kamu satu – satunya perempuan yang bisa bikin aku ga pengen mencari – cari lagi. Semua yang aku mau ada di kamu. Cuma 1 stocknya Han….aku ga mau ke duluan orang. Aku mau jadi laki – laki beruntung itu, laki – laki beruntung yang bisa dapet wanita seperti kamu”, jawabnya terlihat sungguh – sungguh.<br /><br />“Tapi..ga bisa sekarang Wonk untuk wujudin apa yang kamu mau. Aku belum mampu, belum mampu lupain semuanya”, jawabku.<br /><br />“Aku paham, tapi pintu itu terbuka untukku kan??? Aku akan buat kamu lupa semua apa yang dah kamu rasain sekarang”, jawabnya<br /><br />“Hmmm…..aku ga mau kamu nyesel”, jawabku.<br /><br />“Ga..sumpah, Aku ga akan nyesel. Ok? Gini deh..mungkin aku juga terlalu membebani kamu dengan kata ‘istri’. Kalo gitu….hmmm…”, ujarnya.<br /><br />“Kenapa?”, tanyaku sambil menatapnya.<br /><br />“Hmmm….klo gitu, kamu mau kan jadi pacarku? Kita jalanin semuanya dari awal. Aku tau kita terutama kamu bisa lewatin ini semua. Kamu mau kan?”, tanyanya.<br /><br />Aku terdiam cukup lama, memikirkan semuanya. Sepertinya dia pun cukup paham dengan keadaanku dan sikap diamku saat itu. Aku takut untuk memulai semuanya tapi apa yang kami bicarakan sebelum ini memang keadaan yang sesungguhnya. Aku pun memutuskan untuk maju selangkah, setidaknya aku tidak meratapi yang sudah terjadi, tapi mencoba untuk bangkit.<br /><br />“Wonk…..”, aku memanggilnya.<br /><br />“Ya…..”, jawabnya.<br /><br />“Hmmm…setelah mempertimbangkan semuanya. Apa yang udah kamu, kita omongin tadi memang bener. Aku ga mau stuck disitu – situ aja. Aku mau maju selangkah demi selangkah Wonk…”, jelasku.<br /><br />“Iyah..kamu harus semangat Han…terus”, jawabnya seperti menantikan sesuatu.<br /><br />“Terus…..aku akan coba jalanin semuanya sama kamu, Wonk”, jawabku.<br /><br />Wonk lama menatapku. Aku melihat kegembiraan di wajahnya tapi aku takut itu Cuma halusinasiku saja. Tiba – tiba Wonk berdiri dan berjongkok setengah jinjit dihadapanku.<br /><br />“Han, Aku seneng banget kamu bilang kayak gitu. Kamu mempertimbangkan semuanya, kamu mau bangkit bareng – bareng aku. Makasih yaaa….aku pasti akan jadi laki – laki sekaligus calon ayah yang paling bahagia, sumpah !!”, jawabnya sambil meremas jemari tanganku.<br /><br />“Bokis Loooooo”, jawabku.<br /><br />“Jiaaaahhh…tadi dah serius – serius sekarang keluar lagi deh aslinya”, jawab Wonk.<br /><br />Aku hanya bisa tersenyum, senyum paling manis yang kuberikan kepada Wonk hari itu.<br /><br />Aku dan Wonk turun dan membicarakan tentang keputusan yang sudah kami bicarakan dan setujui berdua.<br /><br />Setiap hari, kulalui semuanya bersama Wonk. Jujur saja, aku mulai melupakan luka yang sudah dibuat oleh Bho di hatiku. Aku mulai melupakannya. Aku merasa Wonk lah yang ayah dari anak – anakku, walaupun setiap aku memikirkan semuanya, aku tersadar bahwa dia bukan ayah dari anak – anakku tapi aku bahagia kalau seandainya anak – anakku memiliki ayah seperti Wonk.<br /><br />Wonk selalu memanggilku ‘Bunda’ dan aku pelan tapi pasti mulai memanggilnya ‘Ayah’.<br /><br />Aku bangga padanya yang mampu menerima keadaanku yang sudah berantakan.<br /><br />Perutku makin hari makin membesar. Bebanku pun semakin berat. Rasa sakit akibat APS ku terkadang datang menyiksaku tapi Wonk selalu ada untuk menenangkanku. Dia pun mulai merasa kalau tempat tinggalku terlampau jauh. Tanpa sepengetahuanku, ia mencarikanku sebuah kost untuk kutinggali di dekat tempat kerjaku. Aku terpana dengan semua yang ia lakukan untukku sampai akhirnya aku merasa malu karena begitu besar yang sudah ia lakukan namun aku belum merasa yakin bahwa dia serius dengan apa yang dia ucapkan.<br /><br />Apa yang sudah Bho lakukan membuatku menjadi seorang yang idiot jika harus merelakan Wonk pergi dari hidupku.<br /><br />Berbulan – bulan berlalu, hari berganti hari. Aku mulai membiarkan Wonk hadir dalam hidupku dan membiarkan ia keluar masuk pintu hatiku. Sampai tiba saat yang menentukan semuanya.<br /><br /><b>14 September ….</b><br /><br />“Bun, dah makan lom?”, Tanya suara itu diujung sana.<br /><br />“Belum, tau niy. Perutnya mules terus. Kontraksi terus”, jawabku.<br /><br />“Ya dah, Ayah kesana sebentar lagi. Ini dah siap – siap”, jawabnya.<br /><br />Ya, itu percakapanku pagi itu dengan Wonk di telpon. Aku kebetulan sudah tinggal di rumahku karena mengingat kondisiku yang sudah mulai masuk bulan ke – 7.<br /><br />Entah mengapa, di minggu ke 28 kehamilanku, aku merasakan ada sesuatu yang mencurigakan. Sepertinya, baby – baby mungilku ini mendesak ingin cepat – cepat melihat dunia yang indah ini.<br /><br />2 jam kemudian, Wonk sampai dirumahku didampingin oleh kakakknya.<br /><br />“Bun, yuk berangkat ke rumah sakit, diperiksa, Ayah takut kenapa – kenapa si kecilnya”, ajak Wonk.<br /><br />Aku pun mengikuti apa yang Wonk minta. Kami langsung berangkat ke rumah sakit dan untungnya, kami tidak perlu menunggu terlalu lama untuk masuk ruang periksa.<br /><br />Dokter pun memeriksa semuanya, membandingkan kondisiku sebelumnya berdasarkan Buku Periksa dari Sebuah Rumah Sakit Bersalin di Depok dengan rumah sakit di daerah rumahku. Beliau mengatakan aku mengalami apa yang dinamakan Eclampsia atau Gangguan Pada Plasenta. Ini berasal dari Anti Phospholipid Syndrom yang selama ini ada ditubuhku. Aku beruntung karena aku tidak mengalami keguguran tanpa sebab. Tapi Eclampsia ini saja sudah membuatku dan Wonk ketar ketir.<br /><br />Setelah dipertimbangkan, aku akhirnya harus stay di rumah sakit tersebut agar dapat diawasi segala sesuatunya.<br /><br />Tapi makin lama, kontraksinya makin hebat. Klimaksnya adalah keluarnya air ketubanku. It’s mean, ketubannya pecah. Wonk sedang keluar saat itu terjadi. Wonk keluar untuk membelikanku makanan karena memang belum ada makanan yang masuk pagi itu.<br /><br />Aku pasrah, aku langsung memanggil susternya dengan menekan tombol panggilan di samping tempat tidurku.<br /><br />Mereka langsung bertindak secepatnya. Tapi aku merasa kehilangan sesuatu…Aku kehilangan Wonk. Saat itu aku sadar kalau hanya dia yang kubutuhkan, aku butuh dia. Aku gak butuh Bho…Aku butuh Wonk. Dengan kondisi yang seperti ini, aku hanya bisa menangis. Aku merasakan tubuhku mulai melemah, aku hanya bisa memanggil – manggil Wonk dalam hatiku. Aku mengharapkan dia mendengarku..<br /><br /><i>‘Yah..plisss…cepet kesini. Bun ga kuat’……</i>VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-37971243560066537832009-11-05T19:09:00.000-08:002009-11-05T19:10:37.671-08:00PART TWENTY SIXTH – MY LIFE MUST GO ONSejak hari itu, aku menjalani semuanya sendiri. Cinta pria dan wanita buatku tak begitu penting lagi. Aku hanya mementingkan si kecil di perutku yang mungkin sedang berkembang tanpa tahu seberapa besar kehidupan yang akan dia terima nanti, tanpa ayah.<br /><br />Aku sudah memutuskan menutup seluruh hatiku untuk manusia bernama Aji atau Bho.<br /><br />Sampai dibulan kedua, aku mendapatkan sesuatu yang benar – benar menakjubkan sekaligus menyedihkan. Hari itu, aku datang ke rumah sakit untuk cek semuanya. Sejak kepulanganku dari Samarinda, aku belum tahu lagi bagaimana perkembangannya. Akhirnya kuputuskan mengambil selembar uang pemberian orangtuaku dan menukarkannya.<br /><br />Siang itu aku datang dengan hati yang galau……dan akhirnya ketakutanku terbukti juga.<br /><br />“Siang Mba, saya mau periksa kandungan. Ada dokternya ga ya?”, tanyaku.<br /><br />“Ada Bu. Bisa isi data disini dulu?”, ujar Suster itu.<br /><br />“Ya, Bisa”, jawabku.<br /><br />“Dengan Ibu siapa?”, tanyanya.<br /><br />“Vie”, jawabku singkat.<br /><br />“Baik Bu Vie, saya siapkan kartu periksanya sambil Ibu isi form ini. Untuk data – data pasien apabila nanti dibutuhkan. Silahkan diisi, ini penanya. Silahkan duduk sampai saya panggil nanti”, jelas si Suster.<br /><br />“Terima kasih”, jawabku sambil memberikan senyum ke Suster itu.<br /><br />Dia memberiku selembar form berisikan data – data yang harus aku isi. Aku mencari tempat yang nyaman untuk mengisinya. Aku mengisinya dengan teliti dan tibalah di data yang enggan aku isi.<br /><br /><i>‘Nama Suami :…’</i>, bisikku dalam hati.<br /><br />Aku bingung. Aku enggan menuliskan nama Bho disitu. Tiba – tiba HPku berbunyi…<br /><i><br />‘No nya ga ada di daftarku. Siapa ya’</i>, tanyaku dlm hati. Aku pun mengangkatnya.<br /><br />“Halo”, ujarku.<br /><br />“Halo Na. Ini Hanna kan?”, tanyanya.<br /><br />“Iyah, ini siapa ya?”, tanyaku.<br /><br />“Ini Wonk”, jawabnya.<br /><br />“Ya ampun, kumaha damang Wonk?”, tanyaku.<br /><br />Wonk itu sahabatku. Aku kenal dia dari Idol street. Memang dari Game Online juga, tapi Wonk beda. Dia maen Game Online hanya untuk pengisi waktu senggang kalau libur kerja. Wonk juga maen RF, tapi ga begitu sering. Game for him is just for fun…ga lebih. Makanya, dia jarang OL, kalo OL pun paling Cuma 1 jam aja.<br /><br />Hanya Wonk yang tahu kalau namaku bukan Laras. Laras hanya cerminan aja, Cuma bayang – bayang. Cuma Wonk yang tahu namaku Hanna. Karena Wonk jarang OL, jadi teman – temanku tetap memanggilku Ras, ga ada temen OLku yang manggil aku Hanna selain Wonk.<br /><br />“Baik..Baik…tapi gwe denger kabar ga enak Na”, jawabnya.<br /><br />“kabar apa?”, tanyaku.<br /><br />“Hmm….kamu hamil Na?”, tanyanya.<br /><br />“Hmmm…Ya. Maaf Wonk”, jawabku.<br /><br />“Cowok lo?”, tanyanya.<br /><br />“Siapa? Yang hamilin gwe?..hmm…di Samarinda. Udah bukan cowok gwe lagi”, jawabku.<br /><br />“Haahhh??? Dia, dia ga mau tanggung jawab Na?”, tanyanya.<br /><br />“Iyah, udah lah Wonk, jangan dibahas lagi. Udah, gwe cukup bias lewatin semuanya”, jawabku.<br /><br />“Lo gila kali ya??? Dimana lo ??”, tanyanya.<br /><br />“Di RS ***** di depok. Kenapa?”, tanyaku.<br /><br />“Tunggu disitu, gwe kesana”, jawabnya.<br /><br />“Tapi sebentar lagi gwe masuk ke ruang periksa Wonk”, jawabku.<br /><br />“Sekarang lo lagi apa?”, tanyanya.<br /><br />“Isi data, Cuma lagi stuck aja. Di kolom <i>‘Nama Suami’</i>, gwe mau tulis nama Aji tapi…”, jawabku terputus.<br /><br />“Tulis nama gwe”, jawabnya.<br /><br />“Hah, nama siapa?”, tanyaku.<br /><br />“Nama gwe. Masih inget kan nama lengkap gwe?”, tanyanya.<br /><br />“Masih tapi…”, jawabku terputus.<br /><br />“Dah tulis aja. Trus tunggu aja disitu sampe gwe datang. Oke?”, jawabnya.<br /><br />“Kalo gwe dah masuk, trus selesai tapi lo belum datang, harus tunggu juga?”, tanyaku.<br /><br />“Sebelum lo selesai, gwe pasti dah sampe. Dah, gwe jalan dulu. Inget, tulis nama gwe, Na”, jawabnya.<br /><br />“Ga papa Wonk?”, tanyaku.<br /><br />“Tulis. Titik. Gwe berangkat. Tunggu disitu”, jawabnya.<br /><br />“Ya”, jawabku.<br /><br />Wonk memutuskan sambungan telponnya dan aku hanya bias terdiam, membisu.<br /><br />“Ibu Vie, Form nya sudah bisa diambil?”, Tanya Suster itu menghampiriku.<br /><br />“Sebentar dikit lagi”, jawabku.<br /><br />Aku segera mengisi data ‘Nama Suami’ dengan nama Wonk.<br /><br /><i>‘Ridwan N’</i>, tulisku di kolom itu.<br /><br />Aku segera menandatangani form tersebut dan segera menyerahkan form tersebut ke Suster itu.<br /><br />“Terima kasih, silahkan duduk lagi ya. Sebentar lagi dipanggil”, jelasnya.<br /><br />Tak berapa lama, memang aku dipanggil oleh suster itu untuk masuk ke ruang periksa. Aku segera memasuki ruangan bernuansa hijau itu, menyenangkan.<br /><br />“Siang Bu, Dengan Ibu Vie ya?”, sapa wanita berjilbab di depanku.<br /><br />“Iyah”, jawabku diiringi senyumanku untuk wanita itu.<br /><br />“Kok sendiri, suaminya ga anter?”, tanyanya.<br /><br />Aku hanya tersenyum. Ia menanyakan perihal kehamilanku. Aku menjawabnya seadanya. Kondisiku yang baru saja pulang dari Samarinda, naik pesawat dan sebagainya. Aku juga menjelaskan kalau aku punya Anti – Phospholipid Syndrom. Beliau agak kaget mendengarnya. Tak berapa lama, terdengar ketukan.<br /><br />“Silahkan masuk”, jawab wanita itu.<br /><br />Ketika pintunya terbuka, yang kulihat bukannya Suster tapi Wonk.<br /><br />“Maaf Dokter, saya suaminya”, sambil melirik padaku.<br /><br />“Ooo…silahkan..silahkan masuk Pak”, jawab wanita itu.<br /><br />Beliau lalu melihat buku periksaku dan kemudian bicara..<br /><br />“Pak Ridwan…”, ujarnya.<br /><br />“Ya….”, jawab Wonk.<br /><br />“Oke…sekarang istrinya saya pinjem dulu ya, mau USG. Kalau Bapak mau ikut, silahkan. Biar bisa liat si cantik atau si jagoan”, ujarnya.<br /><br />“Boleh”, jawab Wonk sambil senyum.<br /><br />Aku hanya melihat perbincangan ini dengan perasaan tak menentu.<br /><i><br />‘Suami, siapa suami siapa? Siapa istri siapa?’</i>, tanyaku dalam hati.<br /><br />Aku langsung disuruh tiduran. Perutku langsung diolesi oleh gel khusus, dan…<br /><br /><i>‘Wieee…geli’</i>, pekikku ketika alat itu digesek – gesekkan ke perutku.<br /><br />“Waahh…Pak, Bu, kayaknya isinya ga satu ini”, ujar si dokter.<br /><br />“Maksudnya?”, Tanya Wonk.<br /><br />“Ini ada dua, kembar. Dari gambar yang saya liat, sepertinya kembar identik karena berasal satu telur. Tapi baru benar – benar terlihat kalo sudah masuk minggu ke 16 nanti”, jelasnya.<br /><br />Aku dan Wonk hanya lihat – lihatan. Dia lalu membelai rambutku sambil tersenyum. Aku hanya merasa, aneh.<br /><br /><i>‘Seandainya Bho yang melakukan itu’</i>, bisikku dalam hati.<br /><br />Ketika prose situ selesai, aku hanya bisa terdiam. Wonk yang lebih banyak bertanya. Setelah selesai, aku diberikan buku periksa beserta hasil foto USG tadi. Ada rasa senang yang tak terkira, bingung yang berlebihan.<br /><br />Ketika aku dan Wonk keluar dari ruang periksa, aku langsung membicarakan semuanya.<br /><br />“Kok lo bisa masuk siy?”, tanyaku.<br /><br />“Bisa lah, tanya dunk sama Mba nya di depan situ”, jawabnya sambil memberikan senyum padaku<br /><br />“Bilang apa?”, tanyaku.<br /><br />“Ya tanya, ‘Mba, Istri saya dah masuk ya?’, gitu”, jawabnya sambil nyengir.<br /><br />“Jaaahhh….pantesan. Trs tadi kenapa bilang kalo lo suami gwe?”, tanyaku<br /><br />“Kenapa siy? Biarin aja. Lagian kalo tuh dokter tahu lo belum nikah, ntar nanya – nanya yang aneh – aneh atau mikir yang ga – ga lagi dia. Jangan sampe deh”, jawabnya.<br /><br />“Tapi….”, jawabku.<br /><br />“Udah, seneng ga mau punya anak kembar?”, tanyanya.<br /><br />“Iyah. Tapi….”, jawabku.<br /><br />“Udah ga usah mikirin dia lagi ya. Pikirin si kecil – kecil ini aja”, jawabnya.<br /><br />Setelah kejadian itu, aku semakin tak habis pikir dengan pemikiran Wonk. Dia bilang padaku suatu saat kalau dia ingin menjadikanku istrinya dan menerima anak – anakku sebagai anakku. Alasannya karena dia sudah terlanjur sayang padaku.<br /><br />Memang, apa yang sudah dilakukannya membuatku merasa tidak menjalani semuanya sendiri.<br /><br />Sejak aku mendapat pekerjaan di daerah Grogol, aku selalu naik kereta api ekonomi Depok – Cawang – Depok setiap hari dan dari cawang naik bis ke grogol. Walaupun sedang hamil muda, aku ga perduli. Aku butuh sesuatu untuk kukerjakan dan kumakan.<br /><br />Tapi ketika Wonk tau hal itu, dia memaksa aku untuk menerima jasa antar jemputnya setiap hari sebelum aku mendapatkan tempat tinggal baru di dekat kantorku. Sampai suatu saat, kakak laki – lakiku menelponku.<br /><br />“Han…halo”, terdengar suara disana.<br /><br />“Halo Mas, kenapa?”, tanyaku<br /><br />“Kamu dimana?”, tanya kakakku.<br /><br />“Di kantor, kenapa Mas?”, tanyaku.<br /><br />“Tinggal dimana?”, tanyanya.<br /><br />“Di Depok”, jawabku seadanya.<br /><br />“Kerja dimana kamu?”, tanya kakakku.<br /><br />“Di Grogol, ada apa siy Mas?”, tanyaku.<br /><br />“Mas mau ngomong. Kita semua mau ngomong. Kamu dimana? Mas kesana”, jawab kakakku.<br /><br />“Ga usah, Hanna pulang aja ke rumah. Besok”, jawabku.<br /><br />“Oke, Mas tunggu”, jawabnya.<br /><br />“Oke, Hanna sampe sana sore kali ya”, jawabku.<br /><br />“Ya dah, ga papa”, jawab kakakku.<br /><br />Dari nada suaranya, tak terdengar kemarahan, hanya ada ke khawatiran. Aku segera bilang pada Wonk melalui sms kalau besok siang, sepulang kerja, aku akan ke rumah. Dia membalasnya.<br /><br /><i>‘Oke…aku anter, jangan nolak. Oke?’</i><br /><br />Aku segera membalasnya. Aku ga mau menyusahkan seseorang yang sudah terlampau baik padaku. Menyisakan semua waktunya untukku yang jelas – jelas belum bisa memberikan apa yang dia mau. Bagiku, memutuskan menikah atau menjadi seorang istri dari seseorang pada saat keadaan hamil membuatku merasa bersalah. Mungkin akan sangat merasa bersalah.<br /><br />Keesokkan harinya, Wonk seperti biasa, menjemputku pagi hari. Kami berangkat kerja sama – sama. Dia selalu mengantarkanku terlebih dahulu. Dia bisa sampai Depok jam 5 pagi hanya untuk menjemputku dan sampai jam 4 di kantorku untuk menjemputku. Tak bisa terbayangkan olehku. Dia tetap ingin aku jadi pendampingnya, tak perduli keadaanku yang dah hancur berkeping – keping.<br /><br />Sore itu, dia mengantarkanku ke rumah, untuk membicarakan semuanya dengan kakakku ttg apa yang terjadi.<br /><br />Ternyata setelah dibicarakan, kakak – kakakku ga mau kalau aku tinggal diluar rumah dengan keadaanku yang seperti itu. Pada saat itu pun, Wonk mengutarakan sesuatu yang membuatku mendadak kalut.<br /><br />“Hmm..maaf semuanya, saya juga mau bicara disini”, ujarnya.<br /><br />Aku langsung melihatnya. Keheranan.<br /><br /><i>‘Ada apa lagi niy?’</i>, tanyaku dalam hati.<br /><br />“Ada apa Wan?”, tanya kakak perempuanku.<br /><br />“Sebenernya saya kesini bukan Cuma mau nganterin Hanna aja tapi ada yg lainnya juga”, jelasnya<br /><br />“Ada apa?”, tanyaku.<br /><br />“Begini, saya mengutarakan kalau saya…ingin Hanna jadi istri saya”, jelasnya.<br /><br />Aku langsung merubah posisi dudukku dan terdiam seribu bahasa.<br /><br />“Bener Wan? Kenapa kamu punya keinginan seperti itu?”, tanya kakakku.<br /><br />“Saya sudah lama sayang sama Hanna. Dia terlalu baik untuk disakitin kayak gini. Dia wanita yang benar – benar saya kagumi. Terlepas dari apa yang sudah terjadi, sudah jadi resiko saya. Saya sayang dia berarti saya juga harus sayang sama anak – anaknya. Pada kenyataannya, saya ga sayang sama mereka, tapi saya sudah terlanjur cinta sama mereka dan bundanya”, jelasnya panjang lebar.<br /><br />“Oke..saya sama keluarga siy ga masalah. Cuma kembali lagi ke Hanna. Gimana Han?”, Tanya kakakku.<br /><br />Aku Cuma bisa terdiam….terdiam….<br /><br /><i>‘Ada apa lagi sssiyyy???’</i>, jeritku dalam hati…gundahVieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-17742867245721917402009-11-01T17:22:00.000-08:002009-11-01T17:24:18.263-08:00PART TWENTY FIFTH – KATA – KATA ITU MEMBUNUHKU….Aku pulang dengan langkah gontai. Kupasang Ear Piece MP3 Playerku dan tampaknya itu tak membantuku.<br /><br /><i>Begitu indahnya untuk dikenang<br />Saat kamu masih mengejar cintaku<br />Begitu manisnya tangismu untuk<br />Memohon hadirku kedalam hidupmu<br /><br />Katamu kau tak akan tinggalkan aku<br />Sakiti aku lukai aku<br />Tapi kau ternyata tinggalkan aku<br />Sendiri<br />Katamu kau tak akan pernah duakan<br />Hatimu cintamu<br /><br />Kemana perginya kamu yang dulu<br />Yang maunya selalu dekat dengan aku<br />Kemana perginya cinta yang dulu<br />Yang pernah kau tikam ke dalam jantungku</i><br /><br />( Mulan Jameela – Lagu Sedih )<br /><br />Lagu itu membuatku mataku mengeluarkan airmata untuk kesekian kalinya. Posisiku yang saat itu sedang di halte pun tak kuhiraukan.<br /><br />Sesampainya aku di kontrakan, aku langsung membuka selimut kuning bermotif bunga – bunga ungu yang dulu dipinjamkan Bho padaku. Kuhamparkan di lantai sebagai alas tidurku dan menumpuk – numpuk lipatan baju ku untuk kujadikan bantal. Aku tak ingin bermimpi hari ini. Ga mau…<br /><br /><b><span style="font-family:Arial Black;"><span style="font-size:100%;">29 April….</span></span></b><br /><br />Sayup – sayup ku dengar HPku berbunyi….<br /><br />Lagu Chocobo terdengar pelan namun pasti. Aku melihat jam tangan yang masih melingkar di pergelangan tanganku. Aku terduduk, terpaku, terdiam masih berusaha menyadarkan diri.<br /><br /><i>‘Jam 12 siang, siapa yang telpon siang – siang begini?’</i>, tanyaku dalam hati.<br /><br />Aku segera beranjak dari atas selimutku, pelan – pelan berjalan kearah ruang depan rumah kontrakanku yang kosong melompong. Aku terduduk di lantai, berusaha menenangkan diri dan begitu kuraih HPku, mendadak deringnya berhenti.<br /><br /><i>‘Hufff…Cuma miskol kali ya?’</i>, tanyaku dalam hati tanpa memperdulikan siapa yg telpon.<br /><br />Ketika ingin beranjak kembali ke atas selimut itu, HPku berbunyi lag<i>i.<br /><br />‘Siapa siy?'</i>, tanyaku dalan hati kesekian kali.<br /><br />Kuraih HPku, kubuka flip nya dan tertera nama seseorang yang saat itu benar – benar tak ingin kutemui atau bicara sekalipun.<br /><br /><i>‘BHO’</i>….hati kecilku melonjak kaget.<br /><br />Aku masih mempertimbangkan, akan menjawab telpon itu atau tidak, tapi akhirnya aku mengangkatnya juga.<br /><br />“Halloo”, sapa suara diujung sana.<br /><br />“Ya, Sa. Ada apa?”, jawabku ditengah kantukku..<br /><br />“Aku mau ngomongin masalah itu, yang kamu omongin di sms sama YM”, jawabnya.<br /><br />“Ya kenapa? Dah jelas kan. Ngapain ditanya lagi?”, tanyaku.<br /><br />“Eh, Itu anak gwe kan?”, tanyanya dengan suara yg agak tinggi.<br /><br />“Iyah. Kenapa?”, tanyaku.<br /><br />“Gwe belum siap. Mending lo gugurin aja deh”, suruhnya<br /><br />“Sorry Sa, gwe ga bisa”, jawabku.<br /><br />“Kenapa?”, tanyanya.<br /><br />“Gwe dah terlalu sayang Sa”, jawabku.<br /><br />“Tapi kalo Cuma sayang gimana hidupnya nanti?”, tanyanya.<br /><br />“Setiap anak punya rezeki sendiri – sendiri. Dah lah Sa, gwe bisa jalanin ini sendiri”, jawabku<br /><br />“Tapi Gwe belum siap”, jawabnya.<br /><br />“Kalo lo mang belum siap, gak papa. Gwe udah kok Sa”, jawabku.<br /><br />“Tapi gwe ayahnya. Itu anak gwe kan?”, tanyanya.<br /><br />“Ya, lo ayahnya dan ini anak lo”, jawabku ditengah tangisku yang hampir meledak.<br /><br />“Gwe belum siap. Ngerti ga siy. Lo mending gugurin aja”, suruhnya.<br /><br />“Sa, gwe dah berusaha ya. Gwe tetep belajar naik motor, gwe tetep jalan kesana kesini, naik pesawat, ngelakuin hal – hal yang ga boleh dilakuin ma orang hamil. Dia tetep ga gugur juga Sa. Lo mau gwe minum obat – obatan biar dia keluar?”, tanyaku.<br /><br />“Kalau perlu”, jawab Bho.<br /><br />“Oke…Gwe minum. Tapi kalo dia tetep ga gugur dan dia lahir abnormal, cacad, jangan salahin gwe”, jawabku sambil menahan tangisku.<br /><br />“Jangan. Jangan lahir cacad. Anak gwe ga boleh cacad. Jangan sampe”, jawabnya.<br /><br />“Lo tuh gimana sih? Tadi nyuruh gugurin. Sekarang kalo ternyata ga gugur, tapi lahir abnormal, ga mau. Mau lo Apa????”, tanyaku.<br /><br />“Gwe maunya dia keluar dari rahim lo. Kalaupun dia lahir, gwe ga mau dia cacad. Kalo dia sampe lahir, gwe mau test DNA. Gwe bukan cowok yang kayak gitu”, jawabnya.<br /><br />“Cowok yang kayak gimana?”, tanyaku sinis.<br /><br />“Cowok yang lepas tanggung jawab. Gwe bukan cwok yang kayak gitu, gwe Cuma belum siap”, jawabnya.<br /><br />“Kalo emang setelah test DNA, dia anak lo. Lo mau tanggung jawab gimana? Ngasih makan dia? Nikahin gwe? Hah…?? Sorry Sa, ga perlu”, jawabku dengan nada yang tinggi<br /><br />Aku langsung menutup flip HPku. Emosiku mempengaruhi ku. Tak berapa lama, HPku berbunyi lagi. Aku mengangkatnya. Bho.<br /><br />“Apa lagi siy Sa?”, tanyaku.<br /><br />“Jadi gimana?”, tanyanya.<br /><br />“Gimana apanya? Kan dah jelas. Aku ga mau kamu tanggung jawab atas apapun, My Lord. Kamu tuh Dewa, aku manusia biasa yang punya banyak dosa. Aku ga mau nambahin dosa lagi dengan menggugurkan apa yang sudah menjadi resiko ku. Kalau kamu ga mau tanggung jawab, gak papa. Aku lewatin sendiri. Ini tanggung jawabku”, jawabku meluap – luap.<br /><br />“Tapi dia anak gwe. Gwe bukan laki – laki yang lepas tanggung jawab. Saat ini gwe belum siap. Jadi lebih baik digugurin aja”, jawabku.<br /><br />“Ga, Sa. Makasih. Kamu tau, resiko aku melahirkan kan??”, tanyaku.<br /><br />“Ya, kita pernah omongin dulu. Gwe takut. Gwe…”, jawabnya<br /><br />Belum sempat dia meneruskan semuanya, aku langsung memotong ucapannya.<br /><br />“Gwe ambil semua resiko termasuk kehilangan nyawa gwe Sa !!!! PAHAM??”, jawabku.<br /><br />“Jangan….Jangan…Gwe ga mau. Gwe ga bisa….duuhh..gwe ga sanggup..Pliss apa susahnya gugurin siy?”, tanyanya.<br /><br />“Sorry, susah buat gwe yang masih punya HATI, My Lord. Gwe pertaruhkan nyawa gwe buat dia”, jawabku.<br /><br />“Jangan..Pliss..Gwe mau dimutasiin niy ke Sangata. Jangan bikin gwe kepikiran”, jawbanya.<br /><br />“Kenapa lo harus kepikiran?”, tanyaku.<br /><br />“Asal lo tau ya? Lo tuh ganggu gwe banget. Kenapa siy lo harus ada kabarnya? Kenapa siy kabar lo selalu bisa gwe tau? Kenapa siy? Diotak gwe tuh jadi Cuma ada lo…lo…lo…dan lo. Sampe semuanya tuh berubah. Bikin gwe ga bisa konsen maen, bikin semua temen – temen gwe Tanya kenapa gwe. Gwe tuh ga abis pikir, Kenapa siy lo nge ganggu banget?”, tanyanya.<br /><br />“Sorry, kalo gwe ganggu lo. Yang bikin gwe selalu ada dipikiran lo bukan gwe, tapi ya diri lo sendiri. Otak Otak lo, kok jadi Tanya masalah itu ke gwe?”, tanyaku kembali.<br /><br />“Udah, pokoknya gwe mau lo GUGURIN dia. Kalau pun dia lahir, gwe mau test DNA. Titik”, jawabnya.<br /><br />“Oke. Termasuk kalo dia abnormal ya Sa”, jawabku ketus.<br /><br />“Ga, ga boleh cacad. Terserah lo mau gugurinnya gimana. Yang jelas, kalau harus lahir, ga boleh cacad!”, jawabnya.<br /><br />“As YOU WISH MY LORD !!”, jawabku meluap – luap.<br /><br />“Ya dah, sekarang gwe mau tidur”, jawabnya.<br /><br />“Oke…”, jawabku.<br /><br />“Ya dah, jangan ganggu gwe…biar gwe yang cari lo”, ujarnya.<br /><br />“As YOU WISH MY LORD”, jawabku dengan suara yang datar, berusaha tegar.<br /><br /><i>‘I wish u never found me, Sasa’</i>, pintaku dalam hati.<br /><br />“Ya dah….”, jawabnya sambil kemudian menutup Hpnya.<br /><br />Aku menangis sejadi – jadinya…..<br /><br />Kata – katanya seolah sedang membunuhku secara perlahan tapi pasti. Membunuhku perlahan dengan semua kenangan itu dan……<br /><br />Aku mati perlahan – lahan…..VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-84986491963317498812009-10-31T18:01:00.000-07:002009-10-31T18:02:01.611-07:00PART TWENTY FOURTH – AKU PASRAH….<i>Love of my life - you've hurt me<br />You've broken my heart and now you leave me<br />Love of my life can't you see<br />Bring it back, bring it back<br />Don't take it away from me<br />Because you don't know -<br />What it means to me<br /><br />Love of my life - don't leave me<br />You've stolen my love and now desert me<br />Love of my life can't you see<br />Bring it back, bring it back<br />Don't take it away from me<br />Because you don't know -<br />What it means to me<br /><br />You will remember -<br />When this is blown over<br />And everything's all by the way -<br />When I grow older<br />I will be there at your side to remind you<br />How I still love you - I still love you<br /><br />Ooooo<br />Hurry back - hurry back<br />Dont take it away from me<br />Because you don't know<br />What it means to me<br /><br />Love of my life<br />Love of my life ...</i><br /><br />( Queen – Love Of My Life )<br /><br />Lagu ini mengantarkanku keluar untuk kedua kalinya dari rumah yang selama ini menaungiku. Melihatnya dari luar untuk kesekian kalinya sudah membuatku hancur berantakan.<br /><br />Reaksi kakak – kakakku ketika aku turun untuk pergi kesekian kalinya beragam. Ada yang memandang marah padaku, Ada yang menangis dan pergi meninggalkanku, ada yang diam aja.<br /><br />Itu memang yang kuharapkan, tidak ada caci maki dan amarah – amarah yang tidak sepantasnya. Mereka sadar bahwa itu semua resiko yang memang harus aku tanggung sendiri. Aku ingat kata – kata kakakku yang terakhir kudengar sebelum aku keluar rumah untuk kedua kalinya.<br /><br />“Han, kenapa kamu harus pergi lagi dengan keadaan seperti itu?”…<br /><br />Aku tidak menjawabnya dan langsung pergi keluar rumah. Untuk sementara, aku kembali ke Depok, ada tempat kosong untukku tinggal disana.<br /><br />Tempat itu adalah sebuah kontrakan dengan 3 sekat didalamnya. Lantainya terbuat dari semen saja, atapnya genting tanpa langit – langit. Tidak ada tempat tidur, lemari ataupun meja, wajar jika aku menyewanya Rp. 250.000 / bulan. Belum lagi kalau hujan datang, kontrakanku biasa terendam air setinggi paha. Dengan beralaskan selimut yang kupinjam dari Bho lah setiap malam aku tidur. Makan pun dah ga nafsu lagi karena aku gak tau apa yang harus kulakukan berikutnya.<br /><br />Uang dollar pemberian orangtuaku, kusimpan, hanya kusimpan. Aku pun rasanya tak mampu mencairkannya di money changer. Ini dana yang harus kusimpan untuk anakku nanti.<br /><br />Terkadang, kalau rasa bosan menderaku, aku mulai mencari game centre dan bermain RF, bertukar cerita dengan teman – teman walaupun setiap mereka menanyakan kabarku, aku selalu membohongi mereka dengan alasan tidak mau merepotkan mereka lagi. Padahal, kondisiku saat itu mungkin sedang benar – benar drop.<br /><br />Untuk makan, terkadang tak ada makanan apapun yang masuk ke tubuhku. Pertama karena “Morning Sickness” ku yang semakin menjadi – jadi. Kedua, mungkin karena aku tidur hanya beralaskan selimut itu, kondisi badanku jadi berantakan. Aku sulit membedakan antara “Morning Sickness” dan “Masuk Angin”, karena aku hampir merasakan mual yang hebat sepanjang hari. Tapi karena aku tak bisa sendiri, aku selalu menyempatkan diri OL RF demi teman – temanku sampai suatu saat…ketika aku sedang berada di markas karena janjian mau beli elemental dengan temanku, tiba – tiba datang menghampiri char RFku sesosok Accretia yang tak kukenal..<br /><br />“Hai Cewek”, sapanya.<br /><br />‘Kok dia tau ya kalo aku cewe??’, hati kecilku bertanya.<br /><br />“Ya, kok lo tau gwe cewek?”, tanyaku spontan.<br /><br />“Tau dong”, jawabnya.<br /><br />“Tau dari mana?”, tanyaku pada char bernama ‘godtohell’ itu.<br /><br />“Tau, karena gwe kenal banget lo, Beb”, jawabnya yang membuatku kaget setengah mati.<br /><br />“Bho?? Sasa??”, tanyaku kaget.<br /><br />“Ya..Pa kabar??”, tanyanya.<br /><br />“Baik…..lo gimana kabarnya?”, tanyaku.<br /><br />“Baik….”, jawabnya.<br /><br />“Bikin char baru ya Sa?”, tanyaku.<br /><br />“Ya….lo tumben OL?”, tanyanya.<br /><br />“Iyah, lagi kangen aja. Lagian belum tau kapan bisa OL lagi”, jawabku.<br /><br />“Kenapa? Mau kemana?”, tanyanya.<br /><br />“Ke Aceh kali…”, jawabku sekenanya, karena aku dah ga sanggup lagi berbincang – bincang dengannya.<br /><br />“NGAPAIN ???!!!!!”, tanyanya yang kelihatan hmm..entah bingung…entah heran…<br /><br />“Ada deh…kenapa mangnya?”, tanyaku.<br /><br />“Kamu dimana siy? Kamu ga balik ke Samarinda ya?”, tanyanya.<br /><br />“Aku di atas bumi di bawah langit. Ke Samarinda lagi kok tapi entah kapan”, jawabku.<br /><br />“Bener???”, tanyanya.<br /><br />“Mang kenapa Sa?”, tanyaku.<br /><br />“Kan dulu kamu janji bakal balik ke Samarinda lagi. Kamu boong ya?”, tanyanya.<br /><br />“Boong apa?”, tanyaku kembali…<br /><br />“Kamu boong kan? Kamu pasti ga akan balik ke Samarinda. Ya kan?”, tanyanya<br /><br />“Apa untungnya aku balik ke Samarinda Sa?”, tanyaku<br /><br />“Ada…Banyak. Tolong jangan panggil aku ‘Sasa’..”, jawabnya.<br /><br />“Sorry….tapi gwe ga tau kapan kesana Ji”, jawabku.<br /><br /><i>‘entah lah Saaaa……Entah aku bisa kesana lagi apa ga. Kenanganmu, semua tentangmu membuatku semakin lemah dan lemah, Sa’</i>, jeritku dalam hati<br /><br />“Hoy..kok diem? Bener ya kamu boong kalo bakal balik ke Samarinda lagi?”, tanyanya lagi<br /><br />“Bukan gitu, gwe lagi sibuk chat ma anak – anak guild”, alibiku<br /><br />“Ooo…..Kamu Kok beda siy Beb?”, tanyanya.<br /><br />Aku langsung keluar dari RF dan masuk lagi dengan charku yang lain, yang ga diketahui Bho. Yang tau char itu hanya gerombolan siberatku a.k.a guildku. Kala itu Bho bukan lagi anggota S.C.O.R.P.I.ON. Nama VieANKaCHu dah terlalu lama terjun di dunia per-Rfan. Begitu namaku muncul di layar chat, sudah ada yang whisp aku.<br /><br />“Ras, kemana tadi?”, tanyanya dan itu ternyata Kazuya009<br /><br />“Relogin, mau mainin char ini. Kenapa?”, tanyaku.<br /><br />“Tadi dicariin Om KoalaDewa tuh”, jawabnya.<br /><br />“Siap, nanti gwe whisp dya”, jawabku.<br /><br />Aku segera membuka daftar buddyku dan meng klik kanan nama KoalaDewa dan memilih untuk <i>‘chat 1:1’</i><br /><br />“Mas Yud, cari aku tadi?”, tanyaku<br /><br />“Kenapa ganti char?”, tanyanya.<br /><br />“Oia, mau tanya. Bho bikin char baru ya namanya ‘godtohell’??”, tanyaku.<br /><br />“Ya..kenapa?”, jawab Yudha.<br /><br />Aku menceritakan apapun yang tadi terjadi padaku. Pada akhirnya, aku me-non aktifkan char VieANKaCHu ku dan menggunakan char kecilku. Rasanya aku ga sanggup untuk liat Bho lagi dalam hidupku tapi entahlah. Aku juga tidak punya keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya pada Bho.<br /><br />Akhirnya aku menghentikan chatku dengan Yudha. Aku lebih sering chat dengan Kazuya009 atau astra46. Aku ga mau terlalu dekat dengan Yudha.<br /><br />Hari – hariku kulalui dengan kegiatan yang sama. Terkadang, anak2 guild menelponku, menanyakan keadaanku. Dan akhirnya, aku harus berbohong agar mereka tidak tau tentang apa yang sedang kujalani.<br /><br /><span style="font-family:Arial Black;"><b><span style="font-size:85%;"><span style="font-size:100%;">28 April….</span></span></b></span><br /><br />Hari itu, Hari ulang tahun ku yang entah sudah keberapa aku tak tahu. Yang kupikirkan hanya, aku ingin merasakan kebahagiaan saat itu. Aku memutuskan untuk menghabiskan hari dengan begadang sampai pagi.<br /><br />Aku pergi ke net yang jauh dari kontrakanku.<br /><br />Menghabiskan uang dan waktu seharian disana tanpa mencari pekerjaan membuatku berpikir, untuk memulainya sekarang.<br /><br />Aku menemukan sebuah kantor yang membutuhkan pegawai. Dengan pengalaman yang aku punya, aku yakin 80% mereka akan mempertimbangkan aku. Mungkin yang akan jadi masalah adalah apa yang sedang terjadi padaku. Aku tak perduli, tidak ada salahnya mencoba daripada tidak sama sekali.<br /><br />Aku segera mengirimkan CV dan semua Referensi yang kupunya ke alamat email yang tertera disana. Attach semuanya dan..<br /><br /><i>‘Done!!’</i>, jeritku dalam hati.<br /><br />Tinggal waktuku berdoa, Aku ga mau manggantungkan hidupku dengan semua pemberian orangtuaku. Biar itu jadi hak anakku.<br /><br />Aku bermain RF seharian hari itu. Sampai tiba – tiba aku bertemu dengan teman lamaku di RF, si BandarGanZa.<br /><br />“Raaaaaaaaaaaassssssssssss!!!!!!!!!”, serunya di chat all.<br /><br />“iyah, Rick”, jawabku.<br /><br />“Kemana aja? Lagi dimana?”, tanyanya.<br /><br />“Kan kemaren di Samarinda. Sekarang di Jakarta”, jawabku.<br /><br />“Weq. Kenapa? Ada apa? Masih sama Bho kan?”, tanyanya.<br /><br />Aku pun menceritakan semuanya dan Erick a.k.a Bandarganza pun marah bukan main. Dia memaki – maki Bho ga jelas di chat RF.<br /><br />“Ras, lo harus bilang sama dia”, ujarnya.<br /><br />“Ga bisa…gwe ga sanggup”, jawabku.<br /><br /> “Ga sanggup apa? Lo kudu bilang…kudu bilang sama dia”, suruhnya.<br /><br />“Gwe dah tau jawabannya Rick, dan gwe kayaknya ga sanggup denger kata – kata itu eluar dari mulut dya lagi”, jawabku.<br /><br />“Lo ga usah telpon dia. Sms aja atau tinggalin pesen di YM kek. Pokoknya harus bilang Ras”, suruh Erick.<br /><br />Akhirnya, setelah perdebatan panjang dengan Erick, aku mulai memberanikan diri mengirimkan sms pada Bho tentang keadaanku, tapi tak ada balasan. Akhirnya sebelum aku mengakhiri hariku, aku mengirimkan sebuah offline messege via YM ke YMnya Bho, yang berisi :<br /><br /><i><span style="font-family:Comic Sans MS;"><span style="color:RoyalBlue;">Sa, maaf kalo aku harus ngomong ini sama kamu. Ya, aku hamil Sa. Tapi kamu ga usah takut, aku dah tau jawaban kamu seperti apa. Jadi, aku dah mengambil keputusan ini dari awal. Aku tetap mempertahankan semuanya tanpa ada kamu. Kamu ga perlu bertanggung jawab atas ini, aku pasti akan baik – baik aja walaupun kamu tahu resikonya besar. Kirim doa aja ya Sa. Aku juga ga akan pernah benci sama kamu dan aku juga ga akan pernah buat si kecil benci sama kamu. Seburuk – buruknya kamu tetap ayahnya dan aku ga mau dia jadi ga hormat sama kamu kalau suatu saat kalian ketemu secara ga sengaja. Kejar kebahagiaanmu Sa. </span></span></i><br /><br />Aku mengirimkan 2 offline msg padanya…karena ga cukup kalo 1 offline msg.<br /><br />Aku mengakhiri petualanganku hari itu dengan perasaan tak menentu. Aku pulang ke kontrakan dengan perasaan yang….haaahh…sedih, karena aku akan benar benar kehilangan Bho.<br /><br />Entahlah…mungkin memang perasaan ini yang harus kurasakan di hari Ulang Tahunku.<br /><br />Dulu Aku mengharapkan bisa menghabiskan hari ulang tahunku dengan Bho…tapi sudahlah….<br /><br />Tinggal saat ini aku menunggu, apa yang akan terjadi padaku selanjutnya……entahlahh….<br /><br />Aku..pasrah…..VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-37427414555453840072009-10-21T10:44:00.000-07:002009-10-21T10:45:59.992-07:00PART TWENTY THREE - I DECIDED TO...<i>'Han....Han..'...</i><br /><br />Sebuah tangan membelai – belai rambutku. Aku terbangun dan kulihat kakak perempuanku di hadapanku. Wajahnya mengingatkan aku pada wajah ibuku. Wajah yang teduh, keras tapi lembut sebenarnya.<br /><br />“Ngapain tidur disini? Dari kapan tidur disini?”, tanya kakakku.<br /><br />“Ga...Ga papa”, jawabku dengan setengah mengantuk.<br /><br />“Dah, cuci muka sana. Ada Nasi Goreng tuh di meja makan, makan!”, ujar kakakku.<br /><br />Aku segera terduduk dan merapikan pakaianku. Tak sadar, aku masih pakai baju yang sama ketika aku datang. Aku segera menghampiri meja makan itu, meja yang hampir beberapa tahun tak pernah kulihat.<br /><br />“Masih suka 'Toto Dahar' ya mba?”, tanyaku.<br /><br />“Masih”, jawab Kakakku.<br /><br />Toto Dahar ( Menyiapkan Makanan ) di meja makan memang sudah jadi tradisi. Setiap pagi, siang jam 12 dan sore jam 5. Dulu selalu bagianku yang Toto Dahar, karena memang aku yang masak semua makanan ditemani pembantuku, Mba Iyem.<br /><br />Aku membuka tudung saji itu, tudung saji yang sudah berada dirumahku sejak aku kecil mungkin. Terbuat dari rotan yang kuat dan tampak kokoh, banyak kenanganku dengan benda yang satu ini.<br /><br />Aku melihat makanan yang tersedia disitu..<br /><br />“Han, mang nasi gorengnya ga seenak buatan Hanna dulu. Mba ga bisa bikin yang kayak gitu”, ujar kakakku.<br /><br />“Mang yang kayak gimana? Sama aja kok”, jawabku.<br /><br />“Beda. Coba sekarang kamu bikin sendiri di dapur, pasti beda”, suruh kakakku.<br /><br />“Masa”, jawabku.<br /><br />Aku diajak kakakku ke dapur dan aku meracik beberapa bumbu untuk buat nasi goreng yang katanya kakakku cuma bisa aku yg buat. Setelah selesai, beserta pelengkapnya yaitu telor dadar gulung yang dipotong – potong, kakakku maksa nyobain.<br /><br />“Hmmm..beda kan....”, ujar kakakku.<br /><br />“Sama Mba....”, jawabku.<br /><br />“Beda Hanna, buatan Hanna buat Mba aja. Hanna makan yg di meja makan ya!”, suruh Kakakku.<br /><br />“Waduh....ya deh, ga papa”, jawabku sambil senyum – senyum.<br /><br />Aku melihat kakakku yang lahap menyantap nasi goreng buatanku dengan perasaan terharu, sedikit. Udah lama ga liat wajahnya, mukanya agak sedikit tirus, kurus.<br /><br />“Han, tau ga?”, ujar kakakku.<br /><br />“Apaan Mba”, jawabku.<br /><br />“Mba kangen sama kamu, masakan kamu kayak masakan Ibu. Mba ga bisa bikin yang kayak gini”, jawab kakakku.<br /><br />“Biasa aja Mba, semuanya sama kok”, jawabku.<br /><br />“Beda. Kamu jangan kemana – mana lagi ya Han. Pliss”, jawab kakakku.<br /><br />Aku tersedak. Mendengarnya memohon padaku seakan – akan aku benar – benar diharapkan dirumahku tapi kalau mereka tau keadaanku, apa mereka akan menerimaku?<br /><br />“Hmmm..Mba, Hanna nanti mau ngomong sesuatu. Mas – Mas kapan dtg kesini?”, tanyaku.<br /><br />“Mau ngomong apa?”, tanya kakakku.<br /><br />“Sesuatu yang perlu diselesaikan dan aku butuh solusi”, jawabku.<br /><br />“Penting banget Han?”, tanya Kakakku.<br /><br />“Buat Hanna penting tapi entah buat kalian”, jawabku.<br /><br />“Bentar lagi kok dateng, ada apa siy Han?”, tanya kakakku.<br /><br />“Pokoknya, kalo nanti Mba dah tau, Mba mungkin mikir 2 kali buat nyuruh aku tinggal lagi dirumah”, jawabku.<br /><br />“Kenapa?? Kamu terlibat utang? Dicari orang?”, tanya kakakku.<br /><br />“Ga, bukan itu. Ini menyangkut nyawa sebenernya”, jawabku.<br /><br />“Kamu bunuh orang???!!!”, tanya kakakku panik.<br /><br />“Enggak...ampun. Ntar juga Mba tau deh”, jawabku sambil bangun membawa piring ke dapur.<br /><br />Kakakku kubuat bingung setengah mati. Aku pun mulai mempersiapkan diri menghadapi kakak – kakakku. Aku mandi untuk menyegarkan diriku. Aku kembali ke kamar dan tiba saatku membuka Bunker Rahasiaku.<br /><br />Aku membukanya perlahan agar suaranya tak terdengar. Perasaanku campur aduk ketika aku melihat tumpukan benda itu di depanku.<br /><br />Sebuah amplop coklat dan sebuah kotak kado bertuliskan “Untuk Hanna” masih berada ditempatnya. Surat – surat rumah dan dokumen – dokumen penting juga masih tersimpan rapi disana.<br /><br />Aku membuka kotak kado bertuliskan “Untuk Hanna” terlebih dahulu. Perlahan aku membukanya dan aku terpaku setelah melihat apa isinya.<br /><br />Kotak perhiasan ibuku.<br /><br />Aku membukanya dan munculah seorang balerina yang menari diiringi suara musik yang sudah lama tak kudengar, dulu kupikir ini lagu apa. Tapi kini kutau, kotak perhiasan itu memainkan lagu 'Unchained Melody'...terdengar terbata – bata tapi aku masih mampu menyanyikannya..<br /><br /><i>Lonely rivers flow to the sea, to the sea<br />To the waiting arms of the sea<br />Lonely rivers cry, wait for me, wait for me<br />To the open arms, wait for me<br /><br />Oh, my love, my darling<br />I've hungered for your touch, a long lonely time<br />And time goes by, so slowly and time can do so much<br />Are you, still mine?<br />I need your love, I need your love<br />God speed your love to me </i><br /><br />Tak terasa, airmataku mengalir, mendengar, menyanyikan lagu itu sambil melihat si balerina berputar diatas tempatnya.<br /><br />Aku meraih sesuatu didalamnya. Sebuah kantong kertas kopi mungil dan aku membuka isinya..<br /><br /><i>'Anting – antingku waktu SD'</i>, ujarku dalam hati kegirangan.<br /><br />Aku mengembalikan isinya ke dalam kantong itu. Membuka bungkusan yang lainnya...<br /><br /><i><br />'Gelang giok hadiah ulang tahun ke 6 dari ayah'</i>, ujarku dalam hati tak kalah girangnya.<br /><br />Aku mengembalikannya....membuka semuanya. Isinya ada batu – batu ruby, intan yang ibu beli di Martapura dulu, 1 set batu kecubung punyaku, semuanya. Termasuk cincin – cincin Ibuku yang waktu kecil pernah aku komplain karena Ibuku kok kayak 'Toko Mas Berjalan', sejak itu, ibu tak pernah memakainya lagi.<br /><br />Aku tak mengerti tentang semua ini.<br /><br />Aku kemudian membuka amplop coklat itu. Berdebu. Kusobek ujungnya sedikit dan kubuka perlahan ujungnya. Aku mendapatkan beberapa helai kertas dengan tulisan khas ibuku. Tulisan sambung miring besar – besar khas Ibuku. Belum aku membacanya, melihat tulisannya sudah membuatku merindukannya. Aku membacanya perlahan.<br /><br /><span style="font-family:Trebuchet MS;"><span style="font-size:85%;"><span style="color:SeaGreen;">Hanna,<br /><br />Mungkin berat buat ibu untuk tulis ini buat Hanna karena ibu tau kalau Hanna sayang sama ibu. Ibu juga sayang Hanna. Satu yang Ibu minta dari Hanna, Jangan pernah sekali – kali tinggalin kakak – kakak Hanna. Mereka tidak akan pernah bisa bertahan tanpa Hanna. Hanna sudah seharusnya jadi penengah, sayang. Ibu tahu Hanna bisa.<br /><br />Untuk masalah cinta, Ibu kira, Hanna pasti bisa belajar dari pengalaman.<br /><br />Kenapa kita menutup mata ketika kita tidur, ketika kita menangis, ketika kita membayangkan, ketika kita berciuman?<br /><br />Ini karena hal terindah di dunia TIDAK TERLIHAT.<br /><br />Jangan percaya bahwa melepaskan SELALU berarti kamu benar - benar mencintai MELAINKAN… BERJUANGLAH demi cintamu.<br /><br />Itulah CINTA SEJATI<br /><br />Lebih baik menunggu orang yang kamu inginkan DARIPADA berjalan bersama orang ‘yang tersedia’.<br />Lebih baik menunggu orang yang kamu cintai DARIPADA orang yang berada di sekelilingmu.<br />Lebih baik menunggu orang yang tepat karena hidup ini terlalu singkat untuk dibuang dengan hanya dengan ’seseorang’.<br /><br />Kadang kala, orang yang kamu cintai adalah orang yang PALING menyakiti hatimu dan kadang kala, teman yang membawamu ke dalam pelukannya dan menangis bersamamu adalah cinta yang tidak kamu sadari.<br /><br />Kenapa ibu tulis ini semua, karena ibu sadar kalau ibu tidak akan pernah bisa berbagi semuanya dengan Hanna, Hanna harus belajar sendiri.<br /><br />Jika saja kehadiran cinta sekedar untuk mengecewakan, lebih baik cinta itu tak pernah hadir. Tapi itu tidak boleh Hanna ikuti ya. Percaya semua pasti ada jalannya. Ibu tau anak Ibu pasti bisa.<br /><br />Hanna, Ibu minta maaf karena ibu ga bisa dampingi Hanna seperti janji Ibu dulu. Allah siapkan jalan lain buat Ibu dan itu pasti yang terbaik, sayang. Ibu tau Hanna mampu lewati segalanya. Cobaan itu adalah bukti kalau kita masih diperhatikan dan diberi kesempatan untuk belajar, sayang. Jangan takut ya, Anak Ibu pasti bisa.<br /><br />Jangan lupa doain Ibu sama Ayah, Sayang. Simpan kotak perhiasan itu untuk kado pernikahan dari Ayah sama Ibu. Ambil amplop putih di dasar kotaknya. Cuma itu yang Ayah sama Ibu bisa sisihkan untuk Hanna sebagai permintaan maaf Ibu sama Ayah.<br /><br />Peluk Cium sayang buat Hanna dari Ibu..<br /></span></span></span><br /><br /><br />Aku....aku hanya bisa menangis sejadinya. Aku membaca suratnya, dengan tulisan tangannya, membuatku merasakan kehadirannya dihatiku, disampingku saat itu sambil memelukku.<br /><br />Aku rindu pelukannya yang dapat menenangkanku kalau APS ku kambuh, Tangannya yang cekatan ketika darah sudah membasahin bajuku. Rasanya aku hanya bisa merepotkan beliau dulu. Aku belum sempat membalas apa yang sudah mereka perjuangkan untukku, tapi mengapa mereka sudah memberikan sesuatu lagi untukku.<br /><br />Aku segera mencari dimana amplop putih yang ibuku maksud. Sesudah mengeluarkan semua isi kotak perhiasan ibuku, terlihatlah amplop itu. Kuambil, kubuka perlahan...<br /><br />Aku terperangah dan tangisku meledak....apa yang mereka pikirkan waktu itu.<br /><br />Aku menemukan berlembar – lembar uang dollar pecahan $100 di dalam amplop itu, entah berapa lama dan dari mana mereka mendapatkannya, yang jelas, aku shock.<br /><br />Perutku mendadak kencang, entah kenapa. Terasa sakit yang luar biasa. Aku memegangi perutku sambil menyandarkan punggungku ke dinding.<br /><br /><i>'duuhhhh'</i>, hatiku mengaduh.<br /><br />Aku berusaha berjalan berjalan perlahan ke kasurku. Merebahkan diriku diatasnya dan berusaha tenang. Yang aku pikirkan hanya, aku ingin sesuatu yang ada dalam perutku aman. Aku tak sanggup jika harus kehilangan dia setelah kehilangan ayahnya.<br /><br />Setelah lama ku berpikir dan menimbang, aku memutuskan akan mengatakan segalanya kepada keluargaku, agar mereka tau kalau aku sedang hamil dan bukan ingin meminta perlindungan, hanya meminta nasihat. Walaupun mungkin, belum tentu nasihat itu akan aku terapkan.<br /><br />Aku berusaha meredakan rasa tegang di perutku.<br /><br />Aku keluar kamar dan berharap semuanya sudah datang. Ternyata feelingku benar, Kakak – kakakku sudah mulai berdatangan dengan berbagai macam tujuan. Ada yang memang mau praktek, ada juga yang Cuma mau transit aja di rumah. Mayoritas kakak – kakakku dan kakak iparku berprofesi sebagai dokter. Kebetulan ayahku seorang dokter dan mereka sekarang yang meneruskan.<br /><br />“Han, dah makan?”, tanya Kakakku.<br /><br />“Hmmm..udah tadi pagi, Hmm..Hanna mau bicara sebentar, boleh?”, tanyaku.<br /><br />“Ada apa?”, tanya kakak – kakakku hampir bersamaan.<br /><br />“Ini masalah Hanna sebenarnya. Hanna Cuma ingin Mas – Mas sama Mba tau. Tapi Hanna ga mau minta belas kasihan atau ada yang marah – marah disini, karena Hanna dah terima semuanya dengan ikhlas se-ikhlas – ikhlas nya”, jelasku.<br /><br />“Ada apa siy Han????”, tanya Kakakku yang kedua.<br /><br />Aku mulai menceritakan semuanya. Awal pertemuanku dengan Bho sampai aku bisa berangkat ke Samarinda. Aku tak melewatkan sedikit pun cerita itu, tidak melebih – lebihkan dan tidak menguranginya. Semuanya jelas. Tanggapan mereka beragam, ada yang biasa aja ada juga yang antusias mendengarnya.<br /><br />Ketika aku mulai menjelaskan ada apa denganku dan inti dari pertemuan itu, mereka mulai curiga kalau ada yang tidak beres denganku.<br /><br />“Han, To The Point aja deh, ada apa?”, tanya kakakku yang ketiga.<br /><br />“Ok, setelah Hanna kasih tau sebenernya ada apa, Hanna mohon, Hanna minta maaf. Hanna langsung pergi dari sini”, jelasku.<br /><br />“Eh, kenapa??”, tanya kakak perempuanku panik.<br /><br />“Hmmm….maaf semuanya. Hanna….Hamil!”, jawabku.<br /><br />Serentak, semuanya terdiam….<br /><br />“Ini, dulu Ibu titipkan ini ke Hanna. Trus ini ada kotak perhiasan ibu juga yang ibu titip ke Hanna”, jelasku.<br /><br />Aku tak mendapat tanggapan apapun dari kakak – kakakku, mereka hanya duduk terdiam, ada juga yang menutup wajahnya, bingung.<br /><br />“Ini di suratnya ibu sebenernya buat Kado Pernikahan Hanna, tapi kayaknya sekarang ga perlu lagi. Lebih baik kalian aja yang pegang, Hanna ga perlu. Ini surat rumah dan dokumen – dokumen lain. Hanna pamit”, jelasku lagi.<br /><br />Aku pun bangkit dari dudukku, menahan tangisku. Aku langsung bergegas menuju kamarku untuk membereskan semua yang tersisa. Setelah menutup pintunya, aku tidak dapat menahannya lagi...<br /><br /><i><br />'Bu, Yah, Maafin Hanna...'</i>, bisikku pada keduanya.<br /><br />Aku tau kalau akhirnya akan begini….Aku tau…VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-30820203167133430202009-10-20T09:48:00.000-07:002009-10-20T09:49:32.815-07:00PART TWENTY TWO – WELCOME ABOARD, VIEANKACHU…Aku merasakan perasaan yang tidak dapat bisa kukatakan dengan bahasa apapun. Andai terjadi sesuatu yang membuatku kehilangan nyawaku di dalam pesawat itu, aku pun mungkin tidak merasakan apapun. Aku hanya bisa diam didalam pesawat, gak mikir apapun.<br /><br />Mp3 Playerku kembali kunyalakan setelah lampu peringatan untuk boleh menyalakan alat – alat elektronik kecuali HP mati.<br /><br /><i>All alone.. somewhere far away from home<br />In a lonely place where no one knows your name<br />Lost inside a corner of your mind<br />Looking for a place to hide and none to find<br /><br />Back in the days when you were just a child<br />The sun rays dance eternally<br />And when you least expect it<br />You hear a voice inside<br />Telling you to begin the life of your dream<br /><br />You have the power to believe<br />Take a look inside your heart<br />A road is waiting for you<br />The truth is written in the stars<br />No matter who you are<br /><br />You feel the force of love<br /><br />Like a wind, blowing high above the cloud<br />You were moving fast but couldn’t touch the ground<br />Think of the days when you were just a child<br />You felt a joy so tenderly<br /><br />And if you stop to listen to what you feel inside<br />You can be everything you wanted to be<br /><br />You have the power to achieve<br />If you reach inside your heart<br />Your wish is waiting for you<br /><br />The truth is written in the stars<br />No matter where you are<br /><br />All the pain and tears and broken dreams,<br />Flowing like a river<br />It’s never easy to see<br /><br />Trust what you feel<br />And just keep your spirit free<br />You can be all the things you wanted to be<br />In your dreams<br /><br />You have the power to believe<br />Make a promise in your heart<br />Your future’s waiting for you<br /><br />The secret in the sky above<br />Like a shooting star<br /><br />It’s written in the stars</i><br /><br />( LIA – The Force of Love )<br /><br />Lagu ini kuputar berulang – ulang sampai tak terasa kalau pesawat yang kunaiki akan segera Landing di Bandara Soekarno – Hatta. Lagu ini mengingatkan semuanya, Masa Kecilku, Keluargaku, Aji, Teman – temanku dan sesosok makhluk yang skrg berdiam di rahimku.<br /><br />Pesawatku Landing dengan mulus. Aku segera bersiap – siap untuk turun. Memakai kacamata hitamku, menyembunyikan raut wajahku yang dapat kupastikan pasti dah kaya mayat idup a.k.a zombie.<br /><br />Kuambil Helm VOG hitamku dan kubawa menyusuri lorong keluar dari pesawat itu.<br /><br />Huuffttt…akhirnya…JAKARTA…<br /><br />Aku melihat pemandangan yang waktu itu aku lihat sebelum aku pergi ke Samarinda. Pada saat itu, hatiku masih berwarna. MEJIKUHIBINIU…Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila dan Ungu. Tapi sekarang yang ada Cuma hitam pekat bercampur dengan coklat sebahai bentuk kerisauanku.<br /><br />Aku mengikuti arus manusia di depanku karena I have no clue, jalannya kemana. Ini pertama dan terakhir ( I hope…. ) aku pergi kemana – mana sendiri. Aku berjalan seakan – akan aku sudah tau aku akan menuju kemana, walaupun sebenarnya aku hanya mengikuti arus yang ada.<br /><br />Akhirnya aku tau kemana arus manusia ini berjalan, ke area bagasi. Aku lalu mencari telpon genggamku, menyalakannya dan memberitahu teman – teman Scorpie ku kalau aku sudah sampai Jakarta.<br /><br /><i>‘Delivered’</i>, hatiku membaca tulisan dilayar telpon genggamku.<br /><br />Aku menunggu bagasiku keluar, berharap – harap cemas tapi tetap tak bisa berpikir apapun. Tiba – tiba ada sms masuk ke HPku. Aini.<br /><br /><i>‘Kak, sudah sampai kah? Aini minta maaf karena ceritakan semuanya ke Abang – abang Aini. Mereka nggak mau Kakak pergi ke Jakarta. Kakak jangan marah sama Aini ya..’</i><br /><br />Sms dari Aini tak kubalas. Aku mulai berpikir, aku mau tinggal dimana. Aku mulai memikirkan untuk pulang kerumah, mengecek semua simpanan di bunkerku. Aku mau mulai membuka diri kepada keluargaku. Aku membuka flip HPku dan mengetik nomor telpon rumahku. Kutekan tombol Call di Hpku..<br /><br />“Halooo”, sapa suara diujung sana.<br /><br />“Mas, ini Hanna”, jawabku.<br /><br />“Hanna??!!!...kamu dimana??!!!”, tanya suara disana yang kutau adalah suara Mas Yuli ku.<br /><br />“Bandara”, jawabku yang sudah mulai menangis karena rasa kangen.<br /><br />“Ngapain? Mau kemana??”, tanya kakakku.<br /><br />“Baru pulang dari Samarinda. Nanti Hanna pulang kerumah. Ya?”, jawabku.<br /><br />“Bener??? Mas tunggu!!”, jawab kakakku antusias.<br /><br />“Ya dah, skrg Hanna cari kendaraan dulu kesana”, jawabku.<br /><br />“Mas jemput…Mas Jemput”, jawab kakakku.<br /><br />“Ga usah, Hanna naik taksi aja atau bis. Ya?”, jawabku.<br /><br />“Kamu berubah. Dulu kamu selalu minta dijemput”, ujar kakakku.<br /><br />“Hanna dah gede Mas. Dah ga pantes minta dijemput kalo bisa pulang sendiri”, jawabku.<br /><br />Dalam hatiku, aku mau dijemput kakakku, Cuma aku mau tunjukkin kalau aku bukan anak kecil lagi. Lucu memang tapi entah, pengalaman yang baru saja kulewati membuat hatiku seperti beku, seakan – akan aku ingin belajar jadi wanita yang tegar. Aku ga tau kalau kakak – kakakku sudah tau keadaanku yang sebenarnya. Mungkin aku ga akan dianggap adik lagi.<br /><br />Aku ga perduli. Aku Cuma mau cek amanat dari Ibuku.<br /><br />Kemudian aku melihat tas hitamku keluar dari bagasi, aku menunggunya berjalan kearahku. Kuambil, lalu kubergegas keluar dari ruangan itu. Aku tak berharap teman- teman Scorpie ku akan benar – benar menjemputku, tapi aku tiba – tiba melihat sebuah kertas besar bertuliskan sesuatu yang membuat airmataku berjatuhan lagi dibalik kacamata hitamku.<br /><br /><i><span style="font-family:Lucida Sans Unicode;"><b><span style="color:DarkOrchid;">“WELCOME ABOARD VIEANKACHU”</span></b></span></i>…..<br /><br />Aku terpaku. Melihat semua teman – temanku dihadapanku. Mereka menghampiriku yang hanya terpaku dan kemudian memelukku.<br /><br />“Ras……jangan nangis dunk”, ujar Satria yang memelukku.<br /><br />“Huuh”, hanya itu yang keluar dari bibirku.<br /><br />Aku lihat wajah mereka satu persatu, mereka masih sama. Mereka berusaha menenangkanku. Mungkin, orang – orang disana heran melihatku dikerubungi cowok – cowok..hehehe…maklum, aku wanita satu – satunya di Guild ku….<br /><br />Mungkin buat orang – orang baru di Guild ku, mereka ga tau siapa aku. Tapi buat orang – orang lama, yang pernah berjuang sama – sama, aku bukan orang asing lagi.<br /><br />“Ras, kamu mau kemana skrg?”, tanya Panca.<br /><br />“Pulang kerumah trus mau cari kost, Nca”, jawabku.<br /><br />“Rumah mana?”, tanya Jho.<br /><br />“Tangerang, pada ikut yuk. Trus temenin cari kost. Tapi nanti Ras mau minta tolong sama Mas Andi aja buat cariin kost di depok”, jawabku.<br /><br />“Ya, dah…kita temenin. Tapi ada makanan kan drumah lo?”, tanya Satria.<br /><br />“Ada”, jawabku sambil senyum – senyum.<br /><br />Semuanya tertawa. Aku senang kembali ke Jakarta. Mereka tau semua kesulitanku, tapi mereka seakan – akan tidak mau memperlihatkannya kepadaku.<br /><br />Sepanjang perjalanan ke rumahku, mereka mempertanyakan keadaanku dan semua hal yang sudah terjadi di Samarinda. Jho kembali meledak – ledak sementara yang lain berusaha menenangkan.<br /><br />“Ras, keluarga lo dah tau masalah ini?” tanya Panca.<br /><br />“Blom. Nanti mau dikasih tau”, jawabku.<br /><br />“Kenapa lo ga tinggal dirumah aja?”, tanya Satria.<br /><br />“Kalau mereka tau keadaan gwe, apa mereka masih mau gwe tinggal dirumah?”, tanyaku.<br /><br />Semua terdiam.<br /><br />Sesampainya aku dirumah, aku kebingungan. Semua keluarga besarku ada disana. Begitu aku menampakkan diri di depan pintu rumah, Mas Yuliku langsung berteriak..<br /><br />“Hanna dah sampe tuh…..”, ujarnya.<br /><br />Sontak semua isi rumah keluar menghampiriku. Teman – temanku sampai terkagum – kagum melihatnya. Selesai mereka memelukku, menciumku, aku segera memperkenalkan teman – temanku. Keluargaku berubah total, entah kenapa.<br /><br />“Ras, kenapa lo bisa pergi ninggalin keluarga yang kayak gini? Rumah yang kayak gini?”, tanya Satria.<br /><br />“Maksudnya?”, tanyaku.<br /><br />“Rumah lo besar, bagus. Keluarga lo ramah. Kenapa?”, tanyanya.<br /><br />“Everybody changing, Sat. Gwe aja masih bingung”, jawabku.<br /><br />Melihat keadaan itu, aku belum berani bicara apapun. Aku terpaksa menginap dirumah dan membiarkan teman – temanku pulang. Aku segera naik ke atas, masuk ke kamarku. Kamar yang berisi semua kenangan itu.<br /><br />Menutup pintunya….Melihat sekeliling….<br /><br /><i><i>‘Ahhh…bendera Union Jack ku’</i></i>, dalam hati…<br /><br />Semuanya masih sama. Tak terasa, airmataku keluar lagi. Kubuka semua laci kontainerku yang terakhir kuisi dengan komik – komikku…dan ternyata, masih sama..<br /><br /><i>‘Pank Ponk, Doraemon, serial – serial cantik’</i>, hmmm….<br /><br />Semuanya masih sama.<br /><br />Rasanya semua kenangan itu kembali masuk dibenakku. Kenakalan masa kecilku, Main layangan, huufftt..aku jadi kangen kedua orangtuaku. Mereka terlalu banyak memberiku kenangan indah yang dapat membuatku menangis seketika dan sadar bahwa aku tidak akan mendapatkannya lagi. Semuanya ga akan sama lagi.<br /><br />Hari itu kupuaskan hatiku mengenang semuanya.<br /><br />Ketika semua sudah tertidur lelap, aku turun kebawah. Menatap foto – foto waktu kami masih lengkap, berjajar rapi disepanjang dinding tangga. Lukisan cat minyakku masih terpajang manis ditangga itu. Meja makan bundar berkursi 6 yang dilengkapi meja putar kecil ditengahnya pun masih sama, walaupun dulu kacanya sering pecah.<br /><br />Aku menghampiri televisi sharp 21 inch diruang TV. Remotenya dah ilang, alhasil, untuk ganti channel, biar ga capek, kami pun sering menggantinya dengan kaki. Jempol kaki kami sudah lihai mengganti channelnya setiap nonton TV.<br /><br />Aku menuju ruang tamu. Ada lukisan cat air berukuran besar bergambar Ayah dan Ibuku. Rasanya kangen liat itu. Foto – foto kakakku dari yang pertama sampai aku tergantung disitu. Aku juga melihat sketsa pinsil bergambar wajah ayahku yang digambar Mas Yudi, kakakku no. 4. Aku menyentuhnya dan seakan – akan, aku menyentuh wajahnya.<br /><br />“Yah, Hanna Kangen!!”, ujarku yang spontan keluar dari mulutku.<br /><br />Aku terduduk di sofa ruang tamuku. Mengambil album foto keluargaku. Melihatnya. Melihat fotoku ketika masih bayi, membuatku berpikir,<br /><br /><i>‘Akan seperti apa wajah anakku kelak? Sepertiku atau ayahnya?’</i>, hatiku bertanya.<br /><br />Melihat foto – fotoku, membuatku menangis. Benar yang dikatakan Ben….<br /><br /><i>“Oke…mereka berjuang berdua, lo sendiri..ngerti ga?”…</i><br /><br />Ya, mereka memang berjuang berdua, tapi aku yakin bisa berjuang sendiri. Entah harus mulai dari mana. Tapi aku yakin, aku mampu memperjuangkan apa yang sudah aku dapatkan. Aku juga harus mempertanggung jawabkan apapun yang sudah kulakukan, karena Hanna bukan pengecut..<br /><br /><i>‘Hanna pasti bisa Bu’</i>, bisikku dalam hati dan berharap Almh. Ibuku mendengarnya.<br /><br />Malam itu aku tertidur di sofa dan melupakan semuanya. Berada disekeliling kenangan itu, membuatku nyaman dan membuatku merasa bahwa aku bisa melewati semuanya.<br /><br />Tapi apa keluargaku bisa menerimanya????VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-16351964215013483492009-10-16T12:49:00.000-07:002009-10-16T13:11:11.688-07:00PART 21 – FEEL NUMB….Ketika aku memutuskan me-non aktifkan HPku, aku melihat di informasi bahwa pesawat tujuan Jakarta dengan maskapai penerbangan yang akan aku naikin sudah bisa ambil Boarding Pass. Aku segera memasuki ruangan Boarding Pass dan mengambil Boading Pass-ku.<br /><br /><i>‘15C’</i>, bisikku dalam hati.<br /><br />Huuffttt…oke. Aku segera memasuki Waiting Room, bayar Airport Tax and then, cari kursi buat menyendiri. Merapikan penampilan dan uppzzz..aku teringat kalau aku belum mengabari teman – teman scorpie ku di Jakarta. Mau ga mau, aku segera menyalakan kembali HPku dan berharap Ben atau siapapun tidak menelponku untuk membicarakan ttg Bho.<br /><br />Aku segera mengirimkan sms kepada Panca..<br /><br /><i>‘Delivered’</i>….bisikku dalam hati.<br /><br />Aku kembali berusaha mematikan HPku. Tapi tiba – tiba, hpku berbunyi…Ben!<br /><br />“Ya Ben?”, jawabku dengan suara sengauku.<br /><br />“Maaf, gwe terlalu lancang ngomong kayak gitu sama lo, padahal kondisinya lo pasti lagi..hmm..sorry Vie”, jelas Ben.<br /><br />“Ga papa, Vie juga minta maaf. Vie masih belain Aji, maaf ya Ben”, jawabku.<br /><br />“Ga papa, wajar kok lo masih belain dia, lo sayang kan ma dia, ya kan?”, Tanya Ben.<br /><br />“Seumur hidup gwe, gwe sayang sama dia, Ben. Ga ada niat buat musuhin dia. Gwe Cuma…”. Jawabku tertahan tangisku yang sudah mulai meledak.<br /><br />“Cuma apa?”, Tanya Ben.<br /><br />“Cuma…..memang dia bukan buat gwe. Dia bilang kalo dia ga mau, ga suka dipaksa seakan – akan harus jadi sama gwe. Itu alasan gwe kenapa gwe ga mau inget dia lagi”, jawabku.<br /><br />“Shh***tt, kenapa dia ngomong gitu?? Lo hamil anak dia Vie, dia harus tanggung jawab”, jelas Ben.<br /><br />“Memang dia seharusnya tanggung jawab, entah apa alasannya. Yang jelas gwe ga mau paksa dia tanggung jawab kalo seandainya dia mau. Gwe ga mau kalo seandainya dia tanggung jawab trus dia kesel sama anak – anak gwe nanti, masalah ini diungkit – ungkit lagi. Gwe ga mau!!”, jawabku.<br /><br />Tangisku sudah meledak saat itu….aku tak bisa berpikir apa – apa.<br /><br />“Kenapa jauh amat siy pikiran lo?”, tanyanya.<br /><br />“Ga ada salahnya mikir jauh kan Ben??”, tanyaku kembali.<br /><br />“Memang ga salah Vie, Cuma…aduh….kenapa ga bilang sama anak2 disini siy?”, tanyanya.<br /><br />“Ga..cukup dah ini jadi urusan gwe”, jawabku.<br /><br />“Huuufffttt…when will I see your smiling face again, Vie? Lo ke Samarinda lagi kan nanti?”, tanyanya.<br /><br />“Maybe….I don’t know when will u see my smiling face again. Maybe, there’s no smiling face, Ben”, jawabku di tengah tangisku yang makin tak bisa kubendung.<br /><br />“Jangan…kita, gwe terutama, suka liat lo senyum. Ada lesung pipitnya. Senyumlah Vie. Udah, Aji….Aji…Aji mang manusia terbodoh yang pernah gwe tau”, jawabnya.<br /><br />Mendengar Ben berkata seperti itu, aku Cuma bisa menangis dan menangis. Rasanya semuanya buyar. Apa yang sudah aku dan Bho bicarakan dulu seakan terbang melayang entah kenapa. Aku sudah tidak bisa menangkapnya, meraihnya pun aku ga sanggup.<br /><br />Semua kenangan manis itu ternyata benar Cuma manis dibibir saja. Aku sama sekali terlalu terhanyut oleh yang namanya Cinta. Cinta yang awalnya terlihat indah, berubah jadi kelam dan hitam.<br /><br />“Vie….Vie….”, suara Ben memecahkan lamunanku.<br /><br />“Iyah Ben, maaf. Gwe jadi inget lagi semuanya”, jawabku terisak.<br /><br />“Iyah, sekarang lo dah dimana?”, Tanya Ben.<br /><br />“Waiting Room, kenapa?”, tanyaku.<br /><br />“Lo bener – bener pergi, Vie?”, Tanya Ben.<br /><br />“Ya, Vie pamit. Vie pergi. Salam buat Eki, Bang Jo, Bang Ogi, Bang Adam, semuanya”, jawabku.<br /><br />“Ya, Jo sama Adam ada disini. Eki juga. Anak – anak mau ketemu lo, tadinya kalo memang lo bisa balik ke Samarinda, Jo dah bawa mobil siap berangkat Balikpapan. Aini juga mau datang, tapi Vie pergi ya?”, tanyanya lagi.<br /><br />“Iyah”, jawabku.<br /><br />“Aaaaarrgghh…sshhh***tt banget siy. Gwe ma anak – anak disini kayak apa jeleknya coba”, jawab Ben.<br /><br />“Jelek kenapa?”, tanyaku.<br /><br />“Jelek gara – gara Aji”, jawabku.<br /><br />“Kenapa? Kok Bisa gara – gara dia?”, tanyaku heran.<br /><br />“Dia bikin malu kami – kami disini. Dia laki – laki, kami disini juga laki – laki. Kami pantang tak bertanggung jawab atas apa yang sudah kami lakukan. Kalau kami tak bertanggung jawab, malu kami sama orangtua, muka tuh mau ditaro dimana. Kalau sudah kecemplung berdua, basah ya basah berdua sekalian, paham kan?”, Tanya Ben<br /><br />“Ya….”, jawabku yang diselingi suara pemberitahuan kalau penumpang pesawat tujuan Jakarta, sudah bisa masuk ke pesawat.<br /><br />“Ben, Vie bener – bener harus berangkat. Pamit ya”, ujarku.<br /><br />“Ya, ati2 ya. Kalo ada apa – apa kabari kami disini. Ya?”, jawab Ben.<br /><br />“Ya…”, jawabku.<br /><br />Aku segera mengemasi semuanya, termasuk Helm VOGku. Aku berjalan menuju pintu keluar setelah Boarding Pass – ku diperiksa dan aku kembali ke lapangan dimana pertama kali aku mendaratkan kakiku di Balikpapan. Kupasang kacamata hitamku karena airmataku sudah tak dapat kubendung lagi. Masih kuingat suara itu…<br /><br /><i>"Hallo beb, dah dimana?", tanyanya.<br /><br />"Masih di Jakarta", jawabku.<br /><br />"Hah?????", jawabnya.<br /><br />"Boong denk...dah di Sepinggan", jawabku sambil terkekeh.<br /><br />"Pantes, suaranya jernih, deket", jawabnya.</i><br /><br />Airmataku membuyarkan pandanganku. Aku berhenti sejenak sambil melihat Pesawat McDonnell Douglas Maskapai Penerbangan itu didepanku.<br /><br /><i>‘Apa aku benar – benar akan meninggalkan dia?’</i>, tanyaku dalam hati.<br /><br />Aku melangkahkan kakiku dengan pasti walaupun rasa sakit ini menusuk – nusuk hatiku. Aku menaiki tangga pesawat dengan perlahan, menenangkan diriku sendiri bahwa semuanya akan baik – baik saja.<br /><br />Aku menemukan kursiku, 15C. Dipinggir lagi.<br /><br />Aku menaruh Helm VOG ku di tempat penyimpanan barang lalu duduk manis sambil sesekali menyeka airmata yang masih dengan semangatnya keluar dari mataku. Kupasang Earpiece MP3ku dan kunyalakan playernya…<br /><br /><i>Aku yang memikirkan<br />Namun aku tak banyak berharap<br />Kau membuat waktuku<br />Tersita dengan angan tentangmu<br /><br />Mencoba lupakan<br />Tapi ku tak bisa<br />Mengapa… Begini…<br /><br />Oh Mungkin aku bermimpi<br />Menginginkan dirimu<br />Untuk ada disini menemaniku<br />Oh Mungkinkah kau yang jadi<br />Kekasih sejatiku<br />semoga tak sekedar harapku<br />Bila<br />Kau menjadi milikku<br />Aku takkan menyesal<br />Telah jatuh hati<br /><br />Semoga tak sekedar harapku..</i><br /><br />( Monita – Kekasih Sejati )<br /><br />Pesawat pun segera berjalan, diiringi lagu itu, aku menggantungkan semuanya, melupakan semuanya. Melupakan dia…..Aku mematikan MP3 Playerku.<br /><br />Seandainya dia memang Kekasih Sejatiku…..Ternyata hanya harapku…<br /><br />Could I Keep you in My heart??? ….Feel like NUMB….VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-77445957837058200302009-10-14T01:53:00.001-07:002009-10-14T01:53:54.366-07:00PART TWENTY – I LEAVE YOU NOT BECAUSE I’M NOT LOVE YOU…Tak terasa aku sudah meninggalkan Samarinda, sekarang Bis ini membawaku ke Balikpapan, meninggalkan semua kisah itu dibelakang dan sepertinya aku enggan mengingatnya lagi.<br /><br />Aku langsung mengirimkan sms kepada Eki untuk membatalkan PSPnya. Eki sempat menanyakan semuanya padaku. Dia menelponku tak lama setelah aku mengkonfirmasi semuanya. Aku sudah menjelaskan semuanya dan dia cukup kaget mengetahui aku sudah di bis menuju Balikpapan untuk segera kembali ke Jakarta.<br /><br />Sepanjang perjalananku, Eki tetap menghubungiku, menanyakan segalanya dan aku gak bias menutupi semuanya. Tangisku pecah saat itu dan Eki hanya bias terdiam. Awalnya dia ingin pergi ke tempat Bho biasa main, menanyakan semuanya, tapi aku menahannya.<br /><br />“Aini tau Vie soal ini?”, tanyanya.<br /><br />“Ya tau”, jawabku.<br /><br />“Kenapa ga bicara sama kami disini semuanya. Pasti kita bisa bantu, ga gini caranya”, jawabnya.<br /><br />“Wew, kalo memang Vie cerita, mang Eki sama yang lain mau apa? Paksa dia untuk tanggung jawab? Kayaknya ga ada gunanya”, jawabku.<br /><br />“Kenapa memangnya?”, tanyanya.<br /><br />Aku menceritakan semuanya pada Eki, Eki ga bisa bilang apa – apa.<br /><br />“Kamu ga pernah kenalan sama temen – temennya dia, Vie?”, Tanya Eki.<br /><br />“Aku hampir kenal semua namanya, tapi aku ga tau yang mana wajahnya”, jawabku ditengah tangisku.<br /><br />“Shhh****tt….kenapa ga bilang pas kamu disini siy? Kita disini bisa bantu kamu. Lagi Aini kenapa ga bilang lagi”, jawab Eki.<br /><br />“Ki, udah deh. Ga usah ngomongin dia lagi. Vie bingung”, jawabku yang dibarengi dengan putusnya telpon tersebut karena sinyal drop.<br /><br />Dalam perjalanan itu, aku sama sekali ga bisa tidur. Airmata ga abis – abisnya turun. Rasanya pengen banget balik ke Samarinda, samperin Bho dan marah – marah sepuasnya. Cuma pasti aku ga bisa.<br /><br />Tak lama, aku sampai di terminal bis dan melanjutkan perjalananku ke Sepinggan dengan naik Ojek. Lumayan kena Rp. 25.000. Entah itu memang tarif dari terminal ke Sepinggan atau bukan, yang jelas aku merasa nyaman naik ojek karena si Bapak tukang ojek berjuang keras memberikan pelayanan buatku. Bawaanku tidak bisa dibilang ringan ditambah helm hitam VOG ku. Aku sampai di Sepinggan lebih cepat dari seharusnya sehingga belum bisa masuk ke ruang tunggu. Akhirnya aku menunggu diluar. Tiba – tiba Hpku berbunyi dan aku melihat nomor yang asing,<br /><br /><i>‘Siapa ya??’</i>, tanyaku dalam hati. Kuangkat.<br /><br />“Haloo..”, sapaku.<br /><br />“Halo Vie, Ini ben2”, sapa dari suara tersebut.<br /><br />“oohhh..Ben. Ada apa?”, jawabku.<br /><br />Ben2 itu sahabat Eki, temannya Aini.<br /><br />“Kenapa Ben?”, tanyaku.<br /><br />“Lo dimana?”, tanyanya.<br /><br />“Sepinggan, kenapa?”, tanyaku.<br /><br />“Balik Samarinda, sekarang. Lo harus urusin semuanya”, jawabnya.<br /><br />“Urus apa?”, tanyaku.<br /><br />“Urus urusan lo sama cowok lo”, jawabnya.<br /><br />“Siapa cowok gwe? Gwe dah ga punya cowok Ben”, jawabku.<br /><br />“Aji. Cowok lo kan?”, tanyanya.<br /><br />“Bukan, gwe dah bubar. Gwe ga mau inget dia lagi”, jawabku yang mulai menangis lagi.<br /><br />“Vie, gwe dah tau semuanya dari Eki, balik ke Samarinda lah. Tak usah balik hari ini”, ujarnya.<br /><br />“Ga bisa. Gwe dah dibeliin tiket Ben. Ga bisa balik lagi ke Samarinda”, jawabku.<br /><br />“Harus, lo harus samperin dia. Enak banget siy dia. Dulu waktu perlu, dia baik sama lo, sekarang. Lo balik ke Jakarta aja sendirian”, jawabnya.<br /><br />“Udah ben, ga usah diomongin lagi. Ya?”, pintaku.<br /><br />“Lo mang gampang ngomong gitu Vie, lo perempuan. Gwe laki – laki. Malu gwe jadi laki – laki ngerti ga lo?”, tanyanya.<br /><br />“Hmmmm….”, jawabku yang sudah tak mampu membendung airmataku lagi.<br /><br />“Gwe laki – laki. Gwe ga akan kayak gitu kalo gwe mampu melakukan itu sama cewe gw. Gw akan lindungi dia semampu gwe”, jawabnya.<br /><br />“Mungkin dia ga bisa anter gwe ke bandara karena dia capek kali Ben..udah”, jawabku.<br /><br />“Ga mungkin. Laki – laki memang kadang benci sama yang namanya perpisahan, gwe yakin, Aji tuh sayang sama lo Vie, Cuma dia masih belum sanggup kalo harus ada anak. Cuma itu dah rejeki dari Allah kan Vie, dia harus sadar itu, bukan lari dari masalah. Lo juga jangan lari”, jelas Ben<br /><br />“Ben, bukan lari. Tapi gwe ga mampu hidup di tempat yang semuanya berisi kenangan gwe sama dia”, jawabku.<br /><br />“Denger, oke…lo ga lari dari masalah, tapi kenapa lo ga temuin dia, bilang semuanya?”, tanyanya.<br /><br />“Gwe dah tau jawabannya Ben, dia dah sadar kalo kayaknya gwe hamil dan dia minta, klo bener gwe hamil, untuk gugurin kandungan gwe”, jawabku.<br /><br />“Shhh***tt…alasannya?”, tanyanya.<br /><br />“Belum siap”, jawabku.<br /><br />“Trus lo mau berjuang hidup sendirian?? Lo mau besarin anak itu sendirian, Vie?”, tanyanya.<br /><br />“Seumur hidup gwe, gwe akan berjuang apapun buat dia. Seumur hidup gwe, ga ada yang pernah berjuang untuk gwe selain orangtua gwe. Gwe mau balas apa yang mereka kasih sama gwe dengan gwe berjuang untuk anak gwe”, jawabku.<br /><br />“Oke…mereka berjuang berdua, lo sendiri..ngerti ga?”, ujar Ben.<br /><br />“Ngerti, ga papa…gwe akan berjuang buat anak gwe walaupun gwe sendiri. Gwe mau dia jauh lebih kuat, lebih punya prinsip dari ayah atau bundanya. Gwe mau dia bisa bertanggung jawab atas apa yang dia ucapkan dan dia perbuat nanti, gwe mau berjuang untuk itu”, jawabku.<br /><br />“trus kenapa lo harus balik ke Jakarta? Lo punya teman – teman disini. Bukan Cuma di Jakarta”, ujar Ben.<br /><br />“Gwe ga sanggup Ben…”, jawabku di tengah tangisku.<br /><br />“Lo pergi karena lo mau lupain Aji?”, tanyanya.<br /><br />“Gwe pergi bukan untuk lupain Aji. I leave him not because I’m not love him, I love him so much, Ben”, jawabku.<br /><br />“So why??”, tanyanya.<br /><br />“Karena gwe ga mampu hidup tanpa dia di tempat yang jelas – jelas dia bisa temuin gwe yang makin hari makin terpuruk karena liat dia. Biar dia kejar kebahagiaan, jalan hidup yang dah dia pilih Ben”, ujarku.<br /><br />“Game? Jalan hidupnya tuh Game? Rela lepasin cewek yang bisa kasih cinta kayak lo? Setan!! Lo tuh terlalu baik kalo harus terima jalan kayak gini. Dia laki – laki, harusnya punya prinsip. Kalo tuh server modar, mau ngapain dia?”, jawab Ben meluap – luap.<br /><br />“Ya pasti akan ada game pengganti Ben, udahlah”, jawabku lemas.<br /><br />“Ya, pasti akan ada game pengganti. Gwe suka game, gwe gamer juga. Penggila mungkin, tapi gwe bisa pisahin, mana realita mana maya. Kesenangan sementara, sama kesenangan yang memang harus gwe kejar untuk masa depan gwe. Gwe mampu abisin duit berapa pun buat game, tapi gwe juga mau abisin berapapun untuk masa depan gwe. Ngerti lo?”, tanyanya.<br /><br />“ya..setiap orang punya jalan sendiri – sendiri, jangan paksa dia harus jadi seperti lo Ben”, jelasku.<br /><br />“Ya Tapi…..”, jawabnya yang terus kupotong dengan menutup Hpku. Aku me-non aktifkan Hpku.<br /><br />Aku tenggelam dalam tangisku, semakin tenggelam dalam sekali.<br /><br />Aku memutuskan tetap pergi daripada harus tinggal tapi hati tersayat setiap hari. Membayangkan dia bisa melakukan apa pun yang dia suka, sementara aku harus berjuang hidup dan mati untuk sesuatu yang tidak ia inginkan tapi aku terlanjur mencintainya, mencintainya seperti aku mencintai Aji.<br /><br />Kupasang Earpiece MP3 playerku, kunyalakan MP3ku….<br /><br /><i>dimatamu aku tak bermakna<br />tak punyai arti apa-apa<br />kau hanya inginkanku saat kau perlu<br />tak pernah berubah..<br /><br />kadang ingin kutinggalkan semua<br />letih hati menahan dusta<br />diatas pedih ini aku sendiri<br />selalu sendiri...<br /><br />serpihan hati ini kupeluk erat<br />akan kubawa sampai kumati<br />memendam rasa ini sendirian<br />ku tak tau mengapa<br />aku tak bisa melupakanmu...<br /><br />kupercaya suatu hari nanti<br />aku akan merebut hatimu<br />walau harus menunggu sampai ku takmampu<br />menunggumu lagi........ </i><br /><br />( Utopia – Serpihan Hati )<br /><br />Aku Pergi, entah akan kembali ke Samarinda atau enggak…..<br /><br /><span style="color:DarkOrchid;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Franklin Gothic Medium;"><b>I Leave You Love….Leave you My Beloved Striker with all the memories….see ya until..I Don't know when but…I’ll be missing you…</b></span></span></span><br /><br />Can I live without You???.....Hiks….hiks…VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-25485712368578687922009-10-09T02:41:00.001-07:002009-10-09T02:41:38.487-07:00PART NINETEEN – FAREWELL LOVE…….( Part 2 - end )Ketika si pacar sudah pergi, Beliau mulai berusaha mencari keberadaan si Wanita idaman. Ketemu katanya, tapi si wanita sama sekali tidak meresponnya.<br /><br /><i>“Padahal, dulu, waktu sakit, saya yang nemenin. Waktu dia minta apa, saya cariin.”</i><br /><br />Begitu ceritanya. Beliau menyesal menelantarkan anak dan pacarnya yang kini entah dimana. Waktu sudah memakan semuanya. Si Bapak sampai ga ingat lagi sudah berapa lama tak berjumpa. Sampai dia dengar kabar dari kerabatnya tentang mantan pacarnya itu yang ternyata sudah tiada, meninggal ketika melahirkan buah cinta yang dulu pernah ditolak kehadirannya oleh si bapak.<br /><br />Sekarang, anak dari mantan pacarnya itu pun menolak kehadiran si Bapak yang notabene ayah kandungnya dan si bapak tidak pernah menikah lagi sampai sekarang.<br /><br />“Saya bukan tidak mau menikah lagi. Tapi sejak peristiwa itu, saya tau kalau dia meninggal, saya jadi merasa bener – bener berdosa neng. Kayaknya dengan tidak menikah pun belum bisa menebus semuanya. Apa yang dia berikan ke saya waktu itu tulus, kenapa saya begitu bodohnya sampai bisa menelantarkan dia demi mengejar wanita yang jelas – jelas ga menghargai saya sama sekali”, jelasnya.<br /><br />“Trus apa yang bapak lakukan selama bapak ga mencari mantan bapak?”, tanyaku.<br /><br />“Ya biasa, kayak ndak ada beban apa – apa, masih suka nongkrong – nongkrong sama temen – temen dulu”, jawabnya.<br /><br />“Pas dah tau keadaan si ….itu, gimana pak?”, tanyaku.<br /><br />“Hmmm..bapak ga bisa tidur, dari pas pacar saya pergi juga kayak ada yang ilang gitu. Hanya bapak pikir, Bapak bisa dapat gantinya, Cuma ternyata salah. Dia tak tergantikan Neng”, jawabnya.<br /><br />“Hmmm….iyh. Sekarang Bapak tinggal dimana?”, tanyaku.<br /><br />“Di Samarinda, Cuma ada urusan di Balikpapan”, jawabnya.<br /><br />“Ga pengen nikah aja pak?”, tanyaku<br /><br />“Saya bisa nikah lagi Cuma saya ga mampu kalau ingat semuanya. Biarlah, ini memang harga yang harus saya bayar karena mengecewakan wanita itu dulu, Namanya Siti”, jelasnya.<br /><br />“Ya, semoga dia mendapat tempat yang layak ya Pak”, jawabku.<br /><br />“Pasti Pasti…..saya selalu mendoakannya. Kenangan tentang dia masih hidup di hati saya walaupun anak saya dan dia tidak menerima kehadiran saya, tapi Ibunya telah memberikan pelajaran berharga buat saya. Tidak ada yang abadi di dunia ini Neng, jadi jangan sia – siakan yang ada dipelukanmu sekarang”, ujarnya.<br /><br />“Iyh….”, jawabku.<br /><br />“Sudah punya pacar kah?”, tanyanya.<br /><br />“Sudah, tapi baru bubar”, jawabku.<br /><br />“Kenapa? Ini gara – garanya kamu pulang?”, tanyanya.<br /><br />“Bukan…”, jawabku alibi.<br /><br />“Ya, semoga dia mendapatkan pencerahan ya nanti”, jawabnya.<br /><br />Aku Cuma bisa diam, semua memori tentang Bho masih terekam jelas diotakku. Tak sadar, Bis itu pun bergerak melaju dan aku sedang memikirkan apa ini jalan yang terbaik untukku.<br /><br />“Ya sudah, saya pindah, mungkin kamu ingin sendiri melihat – lihat pemandangan”, ujar Bapak itu.<br /><br />“Makasih Pak”, jawabku sambil tersenyum.<br /><br />“Senyummu mengingatkan saya sama mantan saya, terlihat manis tapi sebenarnya menyimpan kesedihan yang luar biasa. Saya mendekati kamu Karena kamu mirip dia, cantik, manis namun kehilangan senyuman dan sepertinya kamu sedang merasakan kesedihan yang entah bagaimana dahsyatnya”, jelasnya.<br /><br />“Ah, bapak….ga kok. Makasih”, jawabku sambil tersenyum kembali dan memalingkan wajahku kembali ke arah jendela. Kupakai kacamata hitamku, menyembunyikan mataku yang mulai berair karena ucapan Bapak itu. Bi situ sudah melewati Jembatan Sungai Mahakam…<br /><br />"Ya, dulu teman saya pernah bilang, <b>"Jika kamu dihadapkan dengan 2 pilihan, carilah seseorang yang mencintaimu bukan orang yang kamu cintai. Karena orang yang tulus mencintaimu pasti mengerti kamu, bukan ingin dimengerti"</b>..ingat baik - baik ya", ujarnya<br /><br />"Ya...", jawabku.<br /><br /><i>“Senyummu mengingatkan saya sama mantan saya, manis tapi menyimpan kesedihan yang luar biasa”</i><br /><br />Huuffttt….apa yang sudah terjadi, mengingatkan ku kembali kepada sosok wanita dimasa lalu Bho. <br /><br />Namanya Zie, entah nama aslinya siapa. Bho kenal Zie di sebuah situs social bernama Tagged. Entah bagaimana ceritanya, Bho pun ketemuan sama Zie. Tapi Zie tampaknya hanya setengah hati pada Bho. Bho mengenalkan Zie pada sahabat wanitanya bernama Vina yang mungkin sampai detik ini, Vina pun masih berteman dengan Zie juga Bho.<br /><br />Zie sudah dianggap Bho seperti adiknya, aku tak tau seperti apa arti “adik” buat Bho tapi buatku, itu ga masalah. Tapi Zie jelas mungkin jenis “adik” yang berbeda karena aku pernah menemukan BHo mengirimkan sms ke Zie..<br /><br /><i>“Adiiiiiikkkkkkkk……Kakak kangeeeeeeeeeeeeeennnnnnn”</i>…<br /><br />Dan ketika aku membacanya, rasanya, campur aduk. Aku jadi merasa seperti orang lain buat Bho saat itu.<br /><br />Tak sadar, airmataku mengalir. Aku mulai merasakan benar – benar hilang seluruh hatiku saat itu. Tak sadar, ada sms masuk ke HPku.<br /><br />“<i>Vie, Eki niy, PSPnya jadi ga? Lo dah DP seharga 1 PSP, gimana?</i>”, tanyanya<br /><br />Aku membalasnya dengan menyuruhnya mengirimkannya ke GEIM atas nama Aji, tapi tunggu konfirmasiku. Aku langsung mengirimkan sms ke Bho.<br /><br /><i>“Sa, itu ada PSP di temenku, Eki. Buat kamu, kan waktu itu aku janji bakal beli PSP buat hadiah dari gaji pertamaku. Kusuruh kirim ke GEIM ya, atas nama Aji”</i><br /><br />Terkirim….dan tak lama, balasannya pun kuterima…<br /><br /><i>“Ga usah, jangan kirim ke GEIM, simpen aja dulu sama dia. Nanti kita ambil sama – sama trus kita mainin bareng – bareng pas kamu balik ke Samarinda, ya?”</i><br /><br />Aku tidak membalasnya…..aku Cuma bisa terdiam, menangis…….<br /><br /><i>‘Aku belum tentu kembali, Sa’</i>……<br /><br />Air mataku mengalir deras, membuyarkan pandangan mataku akan keindahan kota yang selama ini memberiku semangat yang akan segera kutinggalkan bersama semua ketulusan cintaku untuk seorang manusia berpangkat dewa bernama Bho….<br /><br />FAREWELL LOVE…..this is a farewell ????VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-5419687107717767392009-10-09T02:40:00.000-07:002009-10-09T02:41:09.913-07:00PART NINETEEN – FAREWELL LOVE…….( Part 1 )<b>03 April….</b><br /><br />Aku terbangun oleh sinar matahari yang masuk lewat jendela kamarku. Tiba – tiba hpku berbunyi, Aini.<br /><br />“Ya….da pa neng?”, tanyaku.<br /><br />“Kak Vie jadi pulang hari ini?”, tanyanya.<br /><br />“Iyah, kenapa? Dah sampai Muara Kaman Kah?”, tanyaku.<br /><br />“Udah, kangen Kak Vie, Aini. Kak, barusan Eki sms Aini, PSP nya dah ada”, ujarnya.<br /><br />“Ya dah, nanti Kak Vie kabarin lagi ya”, jawabku.<br /><br />Aku sengaja pengen beli PSP waktu itu untuk Bho supaya dia gak terlalu sering keluar rumahnya. Tapi sekarang ga perlu lagi kayaknya ya…<br /><br />Aku langsung membereskan semua barang2ku, mengecek agar semuanya tak tertinggal. Ketika kupastikan semuanya beres, aku melihat sebuah tas yang harusnya semalam sudah raib, tapi ternyata belum. Ingin rasanya aku menitipkan semuanya ke GEIM, tempat Bho biasa main, Cuma, hati bilang <i>‘ga usah’</i>.<br /><br />Akhirnya aku memikirkan lagi semuanya, gimana caranya semua barang2 itu bisa masuk. Lama berpikir, akhirnya semuanya masuk. Hanya tertinggal Helm VOG.<br /><br />Terkadang, Aku masih bisa membayangkan helm itu terpakai di kepala Bho. Kenapa dia harus beli helm dengan warna dan merk yang sama, VOG Super Sonic Hitam. Sampai sekarang, helm itu masih tersimpan di sudut lemari pakaianku. Kalau helm itu tak berarti buatku, mungkin sudah kuberikan kepada orang lain.<br /><br />Rasanya, hari ini aku benar – benar harus merelakan semuanya. Merelakan Bho, Merelakan kondisi badanku dan merelakan kalau aku harus kenapa – kenapa dijalan. Hari ini aku pergi tanpa Bho yang mengantarkanku ke Balikpapan. Aku sendirian. Sama seperti ketika aku datang kesini, aku datang sendiri dan aku pun pulang sendiri.<br /><br />Aku segera membereskan sisa – sisanya, pergi mandi.<br /><br />Selesai mandi, aku segera siap – siap, jam masih menunjukkan pukul 8 hari itu. Aku membawa keluar semua barang bawaanku, hanya 1 buah tas pakaian dan 1 buah helm ditangan ( dah kayak pembalap aja bawa helm ya?)..<br />Semua teman – temanku masih terlelap, Cuma Aini yang menyapaku, itu juga karena dia ada di Muara Kaman, lagi bantuin Ibunya bikin krupuk kali ya???<br /><br />Aku membawa semua bawaanku sendirian. Aku jalan motong lewat Masjid depan kost-an, trus naik angkot Hijau buat ke Terminal Bis. Angkot itu lewat GEIM dan ketika angkot itu melewatinya, Aku melihat motor Bho disana. Aku inisiatif mengirimkan sms perpisahan padanya…<br /><br /><i>“Sa, pagi – pagi dah nongkrong di GEIM”</i><br /><br />Hanya itu kata – kata yang mampu aku tulis untuknya. Aku hanya bisa terdiam sepanjang jalan. Mengabadikan semuanya melalui cam digital ku. Kota yang sudah menyemangatiku untuk tetap bertahan selama ini harus kutinggalkan. Everybody doesn’t know me at all, doesn’t know my name, who am i?, Aku Cuma tau beberapa nama tapi tak tahu bagaimana bentuk rupanya. Hanya cerita.<br /><br />Sesampainya di Terminal Bus, Aku langsung menaiki satu bis yang sudah siap berangkat ke Balikpapan. Kutaruh semua bawaanku di bagasi kecuali helm VOG ku. Aku memeluknya sepanjang jalan seakan – akan kalau helm itu hilang, maka hilanglah seluruh nyawaku.<br /><br />Aku terpaku melihat pemandangan di sepanjang jalan. Aku banyak melewatkan pemandangan indah ini. Bi situ berhenti sejenak di dekat Jembatan Sungai Mahakam. Aku terpaku, sampai aku tersadar oleh teguran dari seseorang.<br /><br />“Mau kemana Neng Cantik?”, tanyanya.<br /><br />Seorang Bapak Tua duduk disebelahku.<br /><br />“Ooo..ke Jakarta. Kenapa ya Pak?”, tanyaku.<br /><br />“Sedang pandangi apa kah?”, tanyanya.<br /><br />“Enggak. Hanya liat – liat diluar. Pemandangan bagus”, jawabku.<br /><br />“Liburan kah atau tinggal disini memang keluarga?”, tanyanya.<br /><br />“Liburan”, jawabku.<br /><br />“Sendiri??”, tanyanya.<br /><br />“Ga pak, sama teman tadinya”, jawabku alibi.<br /><br />“Temannya mana?”, tanyanya.<br /><br />“Saya pulang duluan”, jawabku.<br /><br />“Kenapa? Marahan kah?”, tanyanya.<br /><br />“Ga, dia masih ada urusan”, jawabku sambil masih memandangi Sungai Mahakam.<br /><br />“Hmmm…Sungai Mahakam. Kamu tau tentang Sungai Mahakam?”, tanyanya.<br /><br />“Kenapa Pak?”, tanyaku.<br /><br />“Sungai Mahakam punya cerita pahit untuk saya”, jawabnya.<br /><br />“Kenapa?”, tanyaku.<br /><br />“Dulu ada pepatah bilang, <b>‘Sekali Kamu Minum Air Dari Sungai Mahakam, Kamu Pasti Akan Kembali Ke Samarinda’</b>…”, ujarnya.<br /><br />“hmmm….”, jawabku.<br /><br />“Dulu saya punya pacar waktu muda, baik, saya sayang banget sama dia sampai saya bikin salah sama dia”, jelasnya.<br /><br />“Salah??”, tanyaku.<br /><br />“Iyah..Saya secara gak langsung masih mengharapkan wanita yang dulu saya suka, suka sama saya”, jelasnya.<br /><br />“Maksudnya?”, tanyaku heran.<br /><br />“Iyah, dulu sebelum saya pacaran sama cewek saya, saya pernah mengharapkan seorang wanita. Anggaplah namanya A…”, jelasnya.<br /><br />Si Bapak bercerita sepanjang bis itu berhenti.<br /><br />Beliau menceritakan tentang mantan pacarnya dulu yang di sia – siakan karena ternyata dia masih mengharapkan seorang wanita yang dulu dia suka, menyukainya. Mantan pacarnya datang jauh dari Surabaya dengan hasil gajinya yang ia kumpulkan. Sampai di Samarinda, ternyata si Bapak masih belum bisa melupakan wanita yang diidam-idamkannya sampai suatu saat, pacar si Bapak memutuskan pulang ke Surabaya dengan calon anak yang ada diperutnya. Si bapak mengetahui itu, Cuma beliau masih belum bisa menerimanya dan masih memimpikan wanita idaman itu. Akhirnya pacar si bapak pulang dengan sukarela.VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-20500091450237550292009-10-09T02:37:00.000-07:002009-10-09T02:38:21.743-07:00PART EIGHTEEN – SAYONARA MY BELOVED STRIKERKeesokan pagi, Aku tak langsung menyalakan HP. Aku bangun karena sinar matahari dah teraaaanggg banget..menyapaku hari itu. Tampaknya sisi kelam dari apa yang kurasakan semalam sirna. Aku langsung membuka lemari pakaianku, kurapikan semua isinya. Kupilah – pilah karena ada beberapa barang yang pernah dipinjamkan Bho padaku.<br /><br />Aku melihat selimut kuning bunga – bunga biru ungu yang dipinjamkan Bho dulu, kupisahkan dari baju – bajuku. Setelah semuanya rapi, aku pindah ke atas lemari tempatku menyimpan gelas dan piring, semuanya kurapikan, kujadikan 1 tas besar.<br /><br /><i>‘Beres’</i>, ujarku dalam hati.<br /><br />Kuperhatikan tas besar itu, ada gulungan kabel sambungan, hanger, selimut, 1 gelas, 1 mug, 1 piring, 2 sendok, sendal, peralatan tulis, sampai Helm VOG Super Sonic Hitam kesayanganku ada di dalam tas itu. Selesai semuanya, aku mengaktifkan Hpku. Begitu aktif, ada sms datang bertubi – tubi. Ada sms dari Panca, Satria, Kakakku, Lina….<br /><br />Aku buka sms dr Panca, isinya :<br /><br /><i><i>“Ras, dah dapet tiketnya naik Lion Tgl. 3 April ya jam 13.15 dari Balikpapan ya. Ntar dijemput anak2. Ambil di Lion cabang sana aja. Welcome Home, Buuu”</i></i><br /><br />Aku senang membacanya. Aku langsung membalasnya. Sementara dari Satria, isinya menanyakan kebenaran ttg Bho dan aku. Aku membalas smsnya sekenanya aja, karena agak berat juga ngomonginnya. Kalau kakakku, biasa…..tanya keadaanku dan gimana ttg Bho again. Sama kayak sms dari Lina, semaksud….<br /><br />Aku ga mau pusing mikirin masalah itu.<br /><br />Hari berganti hari…..kepulanganku semakin dekat. Sampai tiba dimana hati yang kunantikan segera datang.<br /><br /><b>02 April…..</b><br /><br />“Kak, nanti jadi ke Lembuswana?”, tanya Wati kepadaku di depan kamarku.<br /><br />“Ya, anterin ya Wat, naik taxi ( angkot dibilang taxi di Samarinda ) aja, ya?”, tanyaku.<br /><br />“Ga usah Kak, naik motor aja. Pelan2, Wati yang bawa nanti”, jawabnya.<br /><br />Aku hanya mengangguk setuju sambil bersiap – siap. Tak berapa lama, kepikiran juga buat sms Bho, mau mulangin barang2nya. Akhirnya aku mengambil Hpku.<br /><br /><i>“Sa, nanti malem bisa minta tolong ga anterin ke tempat yang bs baca memory card? Mau ambil data di digicam”</i>, smsku pada Bho.<br /><br />Tak berapa lama….<br /><br /><i>“Ya, tapi maleman aja. Gpp kan?”</i>, tanyanya di sms<br /><br />Aku membalasnya….<br /><br /><i>“Ya, kabarin aja”</i>, jawabku….<br /><br />“Sms siapa kah?”, tanya Wati yang tiba – tiba dah nongol di depan kamarku.<br /><br />“Aji, kenapa?”, tanyaku.<br /><br />“Ngapain Kakak sms dia?”, tanya Wati dengan nada sedikit bete.<br /><br />“Ini, mau pulangin barang – barang yang pernah dipinjemin dia ke Kakak”, jawabku.<br /><br />Semua anak – anak di kost dah tau kalau aku bubar dengan Bho. Makanya mereka agak gimana gitu kalo denger namanya keluar dari mulutku.<br /><br />Pagi itu aku diantar ke Mall Lembuswana, di ruko sekitar situ, ada cabangnya Lion Air. Aku dengan mudahnya mendapatkan Tiket, dah dibayar pulang, bener – bener deh.<br /><br />Aku langsung sms Panca, konfirm kalau tiket sudah di tangan. Setelah itu kami jalan – jalan dulu, sekedar melepas lelah dan plesir2 terakhir kali buatku.<br /><br />Jam 7 kami sampai kost, naik sebentar, melepas lelah. Hehehehe…ngobrol sana…ngobrol sini…tiba2 Hpku berbunyi….dering itu, Bho!<br /><br />“Ya?”, jawabku.<br /><br />“Aku dibawah, turun”, jawabnya.<br /><br />Aku ga langsung turun, aku liat dia dr teras atas. Ternyata dia liat aku.<br /><br />“Sini, turun”, ujarnya.<br /><br />“Ya”, jawabku.<br /><br />Aku turun dengan baju seadanya dan membawa perlengkapan yang kubutuhkan. Flashdisk, digicam, dompet, semuanya. Aku berjalan ke arah parkiran motor, aku melihatnya duduk diatas motornya, pakai kaos hitam. Dia tidak membuka helmnya.<br /><br />“Haloo”, sapaku.<br /><br />Dia agak bengong liat aku datang dan aku ga tau apa yang dia bengongin. Dia terpaku duduk di motor Satrianya menatapku.<br /><br />“Hei, ngapain bengong?”, tanyaku sambil menghentakan pundaknya.<br /><br />“Ehhh….”, jawabnya tergagap.<br /><br />“Ayo….berangkat. Jangan kelamaan, lo ke GEIM kan?”, tanyaku.<br /><br />“Iyah”, jawabnya.<br /><br />“Oke..berangkat Bang!”, ujarku.<br /><br />Aku menaiki motor Satrianya, ini terakhir kali aku menaikinya. Aku menaikinya perlahan dan dia mengendarai dengan perlahan pula. Aku ga memeluk pinggangnya lagi, aku memegang handle dibelakangku. Ada perasaan aneh malam itu. Dia mengantarku ke Konika terlebih dahulu di daerah Jl. A. Yani, dekat TripleX. Aku turun dan langsung melepas helmku, langsung masuk ke dalam tanpa memperdulikan Bho yang masih berusaha memarkir motornya, biasanya, aku tunggu dia, skrg ga.<br /><br />Aku langsung masuk dan menaruh helmku ditangan sebelah kiri. Aku melihat Bho membuka helmnya dan duduk di kursi tunggu. Melalui ujung mataku, aku bisa tau kalau Bho mengamatiku dari jauh. Matanya tak pernah lepas menatapku, tapi begitu aku menatapnya, dia langsung nunduk. Aku menghampirinya sambil menunggu giliranku dilayani si customer service.<br /><br />“Sa, titip tas yaa”, ujarku padanya<br /><br />“Iya..eehhmmm….”, jawabnya sambil menatapku.<br /><br />Aku berdiri didepannya dan dia duduk menghadap padaku.<br /><br />“Kenapa Sa?”,tanyaku.<br /><br />“Kok panggilnya ‘Sasa’ ?”, tanyanya.<br /><br />“Hmmm..sorry sorry Ji. Sorry ya, mulai sekarang gwe manggil lo Aji deh”, jawabku ga enak.<br /><br />“Bukan….bukan gitu….ada yang aneh, kan biasa panggil..”, ujarnya kupotong..<br /><br />“Mm,..titip ya tasnya”, ujarku padanya sambil membenarkan tatanan rambutnya. Kebiasaan..uuhhh…<br /><br />Aku langsung pergi kearah customer servicenya. Aku masih melihatnya mengikuti kemana diriku berjalan, dia, Bho masih mengamatiku. Mengamati diriku dari kejauhan, aku ga ngerti ada apa dengannya.<br /><br />Begitu selesai, aku langsung mengambil Helm ku, mengambil tasku di Bho.<br /><br />“Udah, yuk, cari makan. Laper”, ajakku.<br /><br />“Iyah”, jawabnya.<br /><br />Aku melihat Bho ingin merangkul pinggangku Cuma aku keburu ngacir pergi ke arah sepeda motornya. Aku liat dia terdiam ditempatnya berdiri saat aku membalikkan badanku.<br /><br />“Ji, ngapain disitu. Ayo..ntar lo kemaleman”, teriakku.<br /><br />Aku melihatnya menghampiriku perlahan..ada raut muka aneh tersirat disana. Seperti sedih atau bingung, atau salah langkah.<br /><br />“Jangan panggil ‘Aji’!”, ujarnya saat berdiri disampingku.<br /><br />“Trus panggil apa?”, tanyaku.<br /><br />“Yang kayak biasa aja”, jawabnya.<br /><br />“Ya dah Sa”, jawabku sambil mundur ke belakang.<br /><br />“Bukan itu”, jawabnya sambil memundurkan motornya.<br /><br />Aku mulai sibuk pegang sana sini buat pasang helm. Tiba – tiba ada suara laki – laki dibelakangku.<br /><br />“Sini Neng Cantik, saya bantuin”, ujarnya.<br /><br />“Eh, ga papa. Makasih Pak”, jawabku.<br /><br />Tiba – tiba Bho turun dari motornya dan menghampiriku.<br /><br /><br />“Sini Beb, aku pegangin tasnya”, ujarnya.<br /><br />Aku gantian yang terpaku sekarang. Kok??? Kok dia panggil aku ‘Beb’?<br /><br /><i>‘Manusia Aneh’</i>, ujarku dalam hati.<br /><br />Ketika sedang menuju tempat makan malam itu, ditengah perjalanan, aku memberitahukan Bho mengenai kepergianku. Walaupun sebenarnya aku berbohong padanya. Tapi itu cukup membuat dia agak aneh.<br /><br />“Sa, mau ngasih tau sesuatu”, ujarku.<br /><br />Dia memelankan laju motornya sedikit lagi supaya suaraku lebih terdengar.<br /><br />“Dibilang jangan panggil ‘Sasa’, ngerti ga siy? Kenapa?”, tanyanya.<br /><br />“Besok aku berangkat, pindah dari Samarinda”, jawabku.<br /><br />Aku langsung merasakan hentakan keras dari motor Bho yang otomatis membuatku berpegangan memeluk pinggangnya.<br /><br />“Kemana?”, tanyanya.<br /><br />“Palangkaraya, masih Kalimantan kok trus ke Jakarta”, jawabku.<br /><br />“Balik lagi ga ke Samarinda?”, tanyanya.<br /><br />“Kenapa?”, tanyaku.<br /><br />“Hmmm…….ga papa. Tanya aja”, jawabnya.<br /><br />“Oke…..”, jawabku.<br /><br />Tanpa sadar, tanganku masih berada dipinggangnya, memeluknya. Merasa ga enak, aku melepaskan kaitan tanganku, tapi tiba – tiba…<br /><br />“Jangan…..dah, disitu aja tangannya”, ujar Bho.<br /><br />Aku kaget….<br /><br />“Ga ah, ga enak diliat orang”, jawabku.<br /><br />“Semua orang juga kalo dibonceng meluk pinggang, Beb”, jawabnya.<br /><br />“Ya tapi kan itu meluk pacarnya, bapaknya, kakaknya, adiknya….gwe kan”, jawabku.<br /><br />Belum sempat aku meneruskan ucapanku, Bho bersuara lagi..<br /><br />“Berisik. Biarin aja kenapa siy? Mang ga boleh meluk pacar sendiri?”, jawabnya.<br /><br />“Sa??? Tapi lo kan bukan……”, ujarku.<br /><br />Dia menambah laju motornya. Sampai kita sampai di rumah makan itu. Aku yang maksa bayar disana, Last Treat kan. Dia disana menanyakan kembali apa aku balik ke Samarinda lagi atau tidak? Aku mengalihkannya ke topik lain.<br /><br />Aku memesan Nasi Goreng sementara Bho memesan Nasi Mawut. Sudah jadi kebiasaan kami waktu masih jadian dulu kalau beli nasi goreng, Telur bagian kuningnya serta 3/4 Nasi punyaku, pasti kuberikan kepada Bho. Sementara sayuran yang ada di Nasi Goreng Bho, pasti dia berikan kepadaku. Tanpa perlu aba – aba, kami selalu melakukan hal itu.<br /><br />Malam itu kami makan tanpa banyak bicara…<br /><br />Setelah makan….dia langsung mengantarkanku pulang. Begitu sampai di kost, dia singgah sebentar Cuma menanyakan hal yang sama.<br /><br />“Kamu balik lagi kan ke Samarinda?”, tanyanya.<br /><br />“Insya Allah. Oia, ini Helm sama barang – barang kamu mau kamu bawa pulang?”,tanyaku.<br /><br />“Kok gitu? Kamu mau kemana siy?”, tanyanya.<br /><br />“Ga kemana – mana. Mau ga?”, tanyaku<br /><br />“Ga usah, kamu simpen aja. Kan kamu balik lagi kesini kan?”, tanyanya kesekian kali.<br /><br />“Insya Allah, ya dah, pulang sana. Ntar kompi ‘dewa’ nya di GEIM diambil orang lho”, jawabku.<br /><br />Dia ga manjawab apa – apa. Aku masuk ke kost sambil jalan mundur. Aku Cuma liat dia diam diatas motornya, melihatku yang semakin menjauh. Ada raut yang sulit kujelaskan dengan logikaku. Aku langsung naik ke atas, masuk ke kamarku. Ketika aku ingin menutup tirai kamarku, aku masih melihat Bho dibawah, melihat kearah kamarku.<br /><br />Aku tak tau apa yang sedang ada di kepalanya. Yang jelas, aku melambaikan tanganku dan segera menutup tirai itu. Berbalik badan dan tangisku pecah disana…<br /><br />Apa aku sanggup tanpanya???? Huuffttt…VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-75043467067821743932009-10-09T02:36:00.001-07:002009-10-09T02:36:52.632-07:00PART SEVENTEEN – WHAT I’M SCARED OF…..( Part 2 - end )“Dah siap denger apa yang mau gwe omongin?”, Tanya Bho.<br /><br />“Iyah…kenapa?”, tanyaku.<br /><br />“Ehmmm..kayaknya lebih baik kita Bubar aja”, ujarnya.<br /><br />“Hmm…oke”, jawabku datar.<br /><br />“Gwe ngerasa, lo ternyata lebih asik dijadiin temen aja”, jawabnya.<br /><br />“Hmmm…oke”, jawabku datar.<br /><br />“Gwe ngerasa, sayang gwe ke lo ternyata Cuma karena Kasihan aja”, ujar Bho.<br /><br />“Hmmm….”, jawabku.<br /><br />“Gwe ngerasa, selama ini, kok gwe yang cerita terus ya? Lo ga pernah cerita apapun sama gwe, ga kayak dulu”, jawabnya.<br /><br />“hmmm…..”, jawabku.<br /><br />“Tapi gwe ga mau lo jadi saudara gwe. Gwe mau lo cukup jadi temen gwe aja. Lo juga harus kenalin cowok yang lagi deket sama lo, kalo gwe ga suka, lo ga boleh sama dia”, ujarnya lagi.<br /><br />“Hmmm…oke”, jawabku lebih datar lagi.<br /><br />“Trus kenapa lo dari tadi Cuma jawab ‘Hmmm..oke’, gimana jadi keputusannya? Mau ga mau, lo harus terima keputusan gwe buat Bubar”, ujar Bho.<br /><br />“Ya Oke…as you wish My Lord”, jawabku.<br /><br />Kami diam sesaat. Aku sama sekali tidak menangis. Rasanya udah ga ada airmata lagi buat dikeluarin. Aku Cuma berpikir, aku harus ambil keputusan apa ttg kandunganku.<br /><br />“Ehm…..jadi setuju niy?”, Tanya Bho kedua kalinya.<br /><br />“Ya, kan td lo bilang, ‘mau ga mau, lo harus terima’..ya dah”, jawabku datar.<br /><br />“Emmm..kok lo berubah siy?”, tanyanya.<br /><br />“Gwe biasa aja lagi Sa”, jawabku.<br /><br />“Lo beda, kenapa lo terima aja keputusan gwe?”, tanyanya.<br /><br />“kan lo yang minta gwe harus setuju Sa, Gwe bakal lakuin apapun asal lo bahagia Sa”, jawabku.<br /><br />“Ya tapi bukan gituu….”, ujarnya.<br /><br />Aku mulai geram dengan sikapnya, alhasil, aku keluarkan semua uneg – uneg dihatiku.<br /><br />“Gini ya Sa ( aku memanggilnya Sasa – nama kecilnya ), yang suruh gwe terima keputusan ini siapa?”, tanyaku.<br /><br />“Gwe”, jawabnya.<br /><br />“Yang ngerasa kalo lo terus yang punya cerita sementara gwe diem aja, siapa?”, Tanyaku.<br /><br />“Gwe”, jawabnya melemah.<br /><br />“Lo tau kenapa gwe ga pernah bisa cerita apa2 disini?”, tanyaku<br /><br />“hmmmm….”, jawab Bho.<br /><br />“Karena gwe ga punya cerita apa2. Apa siy yang mau gwe certain ke lo kalo gwe kemana2 ma lo. Lo tiap datang ke kost gwe Cuma ngomongin RF, ambil posisi pewe buat tidur, minta gwe buat elus2 punggung lo dan lo tertidur. Minta dibangunin jam 11 buat ke GEIM, begitu setiap harinya. Lo bisa kemana2, gwe?”, jawabku datar.<br /><br />“Iyah…”, jawabnya.<br /><br />“Kalo masalah jadi saudara atau teman, ga penting Sa, apa bedanya?”, tanyaku.<br /><br />“Beda, kalo saudara, aku pasti sering keep in touch tapi kalo temen ga”, jawabnya.<br /><br />“Trus apa bedanya? Jadi kalo gwe jadi saudara lo, lo bakal keep in touch?? Gwe cewek lo aja nunggu kelelep dulu baru boleh kasih kabar”, jawabku.<br /><br />“Aku ga bisa gitu aja….aku dah…”, jawabnya terbata.<br /><br />“Apa?? Karena lo dah ambil semua yang gwe punya? Lo dah ambil keperawanan gwe? Gitu?”, tanyaku.<br /><br />“Ya, itu yang biking aku bingung”, jawabnya.<br /><br />“Terserah. Lo manusia bebas sekarang, Find your happiness Sa. Taruhan, lo ga akan bisa berenti main game dan lo ngerasa ga enak kan karena lo punya 'adik – adik ketemu gede' lo diluar sana sama gwe?”, tanyaku.<br /><br />“Ya…..”, jawabnya.<br /><br />“as you wish…lo bisa bebas atur hidup lo sekarang. Sebenernya gwe juga ga mempermasalahkan 'adik2 ketemu gede' lo itu, gwe wanita dewasa Sa”, jawabku.<br /><br />“Ya……”, jawabnya dengan nada makin melemah.<br /><br />“Ya dah…..have a good day ya Sa”, jawabku.<br /><br />“Tapi, kalo kamu butuh bantuanku, sms aja ya”, ujarnya.<br /><br />“Tenang aja Bozz”, jawabku.<br /><br />“Ehhmm….”, ujar BHo.<br /><br />Tanpa berlama – lama, aku langsung menutup flip HPku tanpa menunggu dia akan menjawab apa. Aku langsung kirim sms ke Panca kalau aku mau pulang ke Jakarta, jadi aku setuju untuk pulang. Panca mengirimkan sms kembali padaku.<br /><br />“Oke, nanti gwe kabarin Ras dapet pesawat tgl berapa ya. Jaga kesehatan lo disana, jangan stress, gwe kabarin secepatnya”<br /><br />Aku segera membalasnya dan mengabarkan kalau barusan Bho telpon aku dan memutuskan untuk bubar. Tak lama Panca bukan sms lagi, tapi telpon. Kuangkat telponnya.<br /><br />“Gilaaaaaaaaaa…”, kata – kata itu yang pertama kudengar ketika kuangkat telp dr Panca.<br /><br />“Ya udah, semuanya dah selesai. Gwe pulang!”, jawabku.<br /><br />“Anj**k Ras. Lo kayak kesana buat dihamilin trus diputusin. B**I !!!”, jawab Panca emosi.<br /><br />“Udah – udah, Udah malem, jangan teriak2. Besok aja diomongin. Kabarin aja dpt pesawat tgl brp jam berapa ke gwe. Gwe mau tidur dulu ya nca..pusing kepala gwe”, jawabku datar.<br /><br />“Sabar ya. Gwe jadi bingung mau jawab apa kalo anak – anak Tanya kenapa lo mau disuruh balik ke Jakarta”, jawabnya.<br /><br />“Ya dah, ga usah dipikirin”, jawabku.<br /><br />“Lo enak banget ngomong ‘ga usah dipikirin’. Lo dah kayak kakak buat Scorpie Ras, lo hamil, cowok lo B***sat mutusin lo dan gilaaaa….”, jawab Panca.<br /><br />“Udah2….”, jawabku.<br /><br />“Ya dah, gwe kabarin besok secepatnya”, jawab Panca.<br /><br />“Oke”, jawabku sambil mematikan HPku.<br /><br />Aku berdiri, menutup pintu kamarku, mematikan lampu kamar, tapi aku tak menutup jendela serta tirai jendelaku. Aku mau melihat indahnya bulan malam ini sambil memikirkan, bagaimana hidupku selanjutnya.<br /><br />Malam itu, bulan sangat terang, banyak bintang. Aku jarang liat bintang di Jakarta. Aku teringat Alm. Ibuku. Dia suka sekali dengan bintang, huuffttt….tiba – tiba HPku berbunyi, kulihat, Satria.<br /><br />Aku malas mengangkatnya. Aku reject. Langsung kumatikan HPku.<br /><br />Mala mini aku mau merenung….merenungi semuanya..karena aku merasa ada yang aneh…benar – benar aneh…tapi aku ga tau apa???<br /><br />Huuffttt….aku Cuma mau merenung…….Keputusan apa yang harus aku ambil sekarang? …what must I Do GOD ????VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-91894390321649526342009-10-09T02:35:00.000-07:002009-10-09T02:36:20.985-07:00PART SEVENTEEN – WHAT I’M SCARED OF…..( Part 1 )Semua berjalan lancar. Perasaan kehilangan sedikit terobati dengan munculnya banyak kawan baru. Teman – temannya Aini, Pacarnya Wati, Suaminya Aini, Suaminya Nisa, rameee…<br /><br />Tapi itu hanya kurasakan saat matahari menyapa. Begitu Sang Bulan menyampaikan Selamat Malam padaku, airmata mulai berjatuhan. Teman – temanku di Jakarta mulai menelponku walaupun aku belum jujur tentang semuanya, hanya segelintir saja. Tapi hari itu, semuanya berubah.<br /><br /><b>24 Maret…..</b><br /><br />Pagi itu aku terbangun seperti biasa. Yang tak biasa hanya ketika aku membuka flip HPku. Ada 16 miskol dan 4 sms tertulis dilayar itu. 16 miskol itu dari beberapa orang, Panca, Mas Andi, Yudha, Kakakku dan Satria. 4 sms dari Mas Andi, Yudha, Kakakku dan Aini. Semuanya menanyakan keadaanku sedangkan Aini, mengajakku jalan – jalan. Aku langsung membalas sms dr Aini, tapi yang lain kubiarkan saja.<br /><br />Tak lama, ada Telpon masuk, dari Panca. Aku mengangkatnya.<br /><br />“Ras….”, sapa suara panca yang agak berat.<br /><br />“Iyah, muuv. Baru bangun”, jawabku.<br /><br />“Kamu mau sampe kapan disana??”, tanyanya.<br /><br />“Gak tau..kenapa?”, tanyaku.<br /><br />“Lo mending balik kesini, ke Jakarta. Disini lo ga akan sendiri dan lo harus tau, ga penting kehadiran lo disana kan buat Bho? Mending pulang”, ujar Panca.<br /><br />“Gwe pikirin dulu, Nca. Lagian kalo mau pulang, Gwe harus tunggu dana gwe cair kan”, jawabku.<br /><br />“Ga perlu. Anak2 mau lo balik secepatnya. Masalah uang, ga usah dipikirin. Lo mau ga?”, Tanya Panca.<br /><br />“Gwe pikirin dulu nca!!”, jawabku.<br /><br />“Apa lagi siy yang lo pikirin? Jangan sampe Jho niy yang ngomong Ras…”, jawabnya.<br /><br />“Iyah iya…..besok pagi gwe kabarin lo ya”, jawabku<br /><br />“Iyah”, jawab Panca.<br /><br />Percakapanku dengan Panca pagi itu membuatku berpikir kalau aku harus menghubungi Bho. Langsung aku menghubungi Bho via sms dengan alibi aku minta diantarkan nge-print dokumen. Dia kali ini membalasnya, dia membalasnya hanya dengan kata – kata <b>“Oke”</b>.<br /><br />Malam menjelang, waktu yang kutunggu – tunggu akhirnya datang. Bho datang pukul 8 lewat. Dia menelponku ketika sudah sampai, seperti biasa. Aku segera turun perlahan ke bawah untuk menemui dia. Ketika aku melihatnya di bangku panjang itu, aku melihatnya menghela nafas, dalam sekali. Dia pun segera bangkit dari bangku itu menghampiriku.<br /><br />“Langsung berangkat yuk”, ajaknya.<br /><br />Aku kaget…..<br /><br />“Oke”, jawabku sambil memakai Helmku yang sama persis seperti punyanya. VOG Super Sonic Hitam.<br /><br />Aku langsung naik motor Satria nya. Dia membawaku malam itu dengan kecepatan lambat, seperti sebelumnya. Cuma kami ga banyak bicara. Dia mengantarkanku ke tempat biasa, daerah dekat Universitas Widya Gama, bnyk rental computer disana. Setelah aku mem – print semuanya, kami segera pulang. Di perjalanan pulang, aku memeluk pinggangnya, tapi tiba – tiba dia bilang sesuatu,<br /><br />“Jangan dipeluk, ga enak”, ujarnya.<br /><br />Spontan aku langsung melepaskan tanganku dari pinggangnya dan berpegangan pada handle di belakang. It’s a bad sign and I feel it.<br /><br />Begitu sampai di kostku, dia langsung berangkat lagi setelah menanyakan sesuatu padaku.<br /><br />“Ehm….nanti malam, HP standby ga?”, tanyanya.<br /><br />“Iyah, kenapa?”, tanyaku.<br /><br />“Mau telpon, ya dah. Pulang dulu”, ujarnya.<br /><br />Aku masih sempat mencium tangan kanannya, sekedar berusaha menenangkan hati. Aku berjalan agak perlahan ke kamarku dan aku kaget karena Kak Ajeng dan Lina sudah ada di depan kamarku.<br /><br />“Itu Kak Vie orangnya?”, Tanya Lina.<br /><br />“Iyah”, jawabku.<br /><br />“Kakak dah kasih tau dia?”, Tanya Lina.<br /><br />“Blum. Lagipula aku dah tau jawabannya”, jawabku sambil berusaha membuka pintu kamarku.<br /><br />“Kenapa ga dikasih tau?”, Tanya Kak Ajeng tiba – tiba.<br /><br />“Aku dah tau jawabannya Kak”, jawabku.<br /><br />“Apa perlu Kakak yang bilang?”, tanyanya.<br /><br />“Ga usah, Vie dah tau jawabannya”, jawabku<br /><br />“Apa mang jawabannya?”, Tanya Lina.<br /><br />Aku masuk ke kamarku, mereka pun langsung masuk. Aku duduk di kasurku dan langsung menatap mereka.<br /><br />“Jawabannya, Aku harus gugurin kandunganku”, jawabku.<br /><br />“Masa??? Tau dari mana Ai?? Parah banget siy”, jawab Kak Ajeng.<br /><br />“Dia yang bilang Kak. Dia akhir – akhir ini suka ngerasa lapar berlebihan, pokoknya kayak org ngidam”, jawabku.<br /><br />“Trus, dia ngerasa?”, Tanya Lina.<br /><br />“Dia Tanya ke aku, aku hamil atau ga?”, jawabku.<br /><br />“Trus kakak bilang apa?”, Tanya Lina.<br /><br />“Aku bilang, aku ga hamil”, jawabku.<br /><br />“Bodoh benar siyyyy!!!”, jawab Kak Ajeng.<br /><br />Aku terdiam. Mereka asik bicara sendiri. Tiba – Tiba HP berbunyi, Nada dering itu menandakan Bho yang telpon.<br /><br />“Siapa Kak?”, Tanya Lina.<br /><br />“Cowokku”, jawabku lemas.<br /><br />Aku segera mengangkat telp itu……mereka pilih keluar dari kamarku dan ngobrol di ruang tamu.<br /><br />“Ya…..”, jawabku.VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-73198996298592753532009-10-09T02:34:00.000-07:002009-10-09T02:35:14.873-07:00PART SIXTEEN – AKU HARUS MAMPU TANPA DIA…( Part II - End )Aini melihat padaku dan memberi aba – aba untuk diam. Tapi aku ga bisa…aku mengacuhkan semuanya.<br /><br />“Ga mau ngapa2in gwe. Gwe Cuma mau liat keadaan lo. Gwe seneng lo masih idup tapi gwe ga suka liat lo begini, ngerti?”, jawabku.<br /><br />Tak disangka – sangka, Kak Ajeng membalas ucapanku.<br /><br />“Ngapain lo care sama gwe? Lo dah bawa cewek kerumah kita. Lo kenapa sakitin gwe?”, tanyanya.<br /><br />“Gwe ga ada niat nyakitin lo…”. Jawabku.<br /><br />Aku kehilangan kata – kata, tak terasa airmataku mengalir. Aku teringat Bho. Aku…..<br /><br />“Kenapa Lo diem Hah? Gwe sayang ma lo, gwe rela kehilangan semuanya demi lo. Gwe rela, kenapa lo begitu?”, tanyanya.<br /><br />Aku Cuma bisa diam. Tangisku semakin menjadi. Aku merasa, Kak Ajeng sedang merasakan yang aku rasakan. Seolah – olah dia tau isi hatiku.<br /><br />“Lo mau tau pengorbanan gwe buat lo? Oke….lo liat..liat baik – baik”, ujar Kak Ajeng.<br /><br />Aku menengadahkan kepalaku, berusaha melihat yang terjadi, Cuma itu terlalu cepat untukku.<br /><br />Kak Ajeng melemparkan botol kaca ke lantai, mengambil pecahannya dan menggenggamnya erat – erat. Aku Cuma bisa diam, tangisku semakin menjadi. Aini Cuma bs diam, entah apa yang dilakukannya. Sementara yang lain, aku Cuma bisa mendengar Wati terisak – isak di depan kamarnya.<br /><br />Kak Ajeng membuka genggamannya, Kaca itu dijatuhkannya ke lantai dan aku melihat darah disana. Aku langsung lemas, terduduk ditempatku berdiri.<br /><br />“Kau liat kan Ai. Ai mampu kan. Gak sakit..tuh liat darahnya Ai, cantik kan Ai?”, tanya Kak Ajeng.<br /><br />Aku menangis sejadi – jadinya. Aku ingat semuanya. Ingat teman – teman kantorku, ingat teman – teman guildku. Aku terpaku. Aku ga mampu bicara apapun. Yang aku pikirkan hanya sesuatu di perutku. Rapuh dan hanya bisa bergantung padaku. Aku penentu keputusan, akan dibawa kemana hidupku. Sungguh, Aku ga mau seperti Kak Ajeng.<br /><br />“Duuhhh..sakit niy”, ujar Kak Ajeng membuyarkan lamunanku.<br /><br />Kak Ajeng terbangun dan tiba – tiba dia terjatuh lemas. Aku segera bangun dan menghampirinya. Aini langsung lari ke kamarnya entah untuk apa. Lina langsung menghampiri Wati yang terduduk lemas di depan kamarnya. Aku….aku mengangkat kepala Kak Ajeng, menepuk2 wajahnya, mengharapkan dia sadar segera.<br /><br />Aini tiba – tiba datang membawa kotak P3K. Aku tertegun. Tangisku belum reda ketika Aini memberikan sesuatu ke arah hidung Kak Ajeng dan tak lama setelah itu, Kak Ajeng sadar…<br /><br />“Vie, kenapa nangis??”, tanyanya dengan suara parau.<br /><br />Aku tak bisa menjawabnya, Aku Cuma bisa menangis. Melihatnya keheranan, membuat tangisku semakin menjadi.<br /><br />“Vie mau minta maaf. Maaf. Vie ga bisa, Vie ga mau kayak gini. Vie ga mau kayak Kak Ajeng”, ujarku.<br /><br />Aini heran, Kak Ajeng yang belum sadar betul langsung bangun dan duduk menghadapku.<br /><br />“Ini kenapa berantakan?? Kakak ngamuk lagi yaa? Duuhh..sakit”, ujar Kak Ajeng.<br /><br />“Ya, diem dulu Kak. Aini obatin dulu luka Kakak”, jawab Aini.<br /><br />“Vie kenapa?”, tanya Kak Ajeng.<br /><br />Aku diam seribu bahasa. Aku bingung. Akhirnya, diputuskan bahwa malam itu kami kumpul di kamarku. Aku menjelaskan dari awal kedatanganku ke Samarinda sampai hal itu terucapkan dari mulutku. Kak Ajeng dan Wati langsung memelukku, Aini menangis sambil memaki – maki aku, yang lainnya terduduk lesu.<br /><br />Malam itu, semua tidur dikamarku, dempet – dempetan.<br /><br />Pagi harinya, Kami terbangun karena ibu kost terheran – heran. Pintu kamarku terbuka, sementara kami tidur dah kayak Ikan Peda. Ibu membangunkanku dan yang lainnya, menanyakan ada apa kok bisa tidur dikamarku. Alibi mereka,<br /><br /><i>‘Nemenin Vie, eh ketiduran’…..</i><br /><br />Semuanya kini lebih perhatian padaku. Aku dilarang untuk mengugurkannya. Aku pun tetap pada pendirianku. Aku tetap menjalani semuanya walaupun terasa sesuatu telah hilang dari diriku. Aku tetap belajar naik motor pakai motor Astrea Aini, malah pernah jatuh naik motor Pacarnya Wati di dekat jalan mau ke Lembuswana bawa New Revo. Nekat. Tapi Tuhan memang punya jalan lain. Sesuatu yang ada di perutku tetap pada tempatnya.<br /><br />Semuanya berjalan biasa….Aku tetap aku…dia, biar dia menjadi sesuatu yang memang dia kehendaki. Aku belum bisa mengatakan apapun pada Bho. Tapi sesuatu terjadi dihari selanjutnya…..<br /><br />Sesuatu yang sudah aku duga sebelumnya……tapi apa yang sudah kulalui tanpanya, membuatku sadar. Dewa sedang sibuk….aku manusia, Cuma bisa berharap….selebihnya……biar waktu yang jawab…<br /><br />Andai aku mampu tanpa dia….apakah bisa???VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-21162970314648286222009-10-09T02:32:00.000-07:002009-10-09T02:34:46.731-07:00PART SIXTEEN – AKU HARUS MAMPU TANPA DIA…( Part I )Hari – hari berikutnya, tak jauh berbeda dari hari sebelumnya. Yang membedakan adalah aku mengenal banyak teman – teman baru. Kebetulan aku berada di Kamar No. 11, Kak Ajeng No. 9 dan Aini No. 5. Aku berkenalan dengan teman – teman yang lain. Ada Nisa di Kamar No. 6, Ada Cici di Kamar No. 7, No. 8 kosong, No. 10 Wulan, No. 12 Lisa, No. 13 Wati, No. 14 Lina dan No. 15 kosong.<br /><br />Hari – hari berlalu dan aku masih dalam kegundahan yang sama. Aku tidak merasakan sendirian disini sekarang, ada teman – temanku tapi entah kenapa ada bagian didiriku yang hilang. Aku sadar, bagian yang hilang itu adalah Bho. Terkadang aku pengen banget sms dia, tapi takut ga dibales dan akhirnya aku merasa kecewa.<br /><br />Sifat Bho yang lain adalah dia ga mau balas sms kalau itu ga penting buat dia. Dia juga gak akan angkat telpon yang menurutnya ga penting. Jadi percuma kalau aku sms dia tanya kabar, dia ga akan mungkin balas karena menurut dia, tanya kabar itu ga penting, kecuali aku kabarin kalo aku dah mau tenggelam di Sungai Mahakam atau Kost ku kebanjiran dan aku tinggal 0.5 meter lagi mau tenggelam, itu baru penting buat seorang Bho.<br /><br />Buat dia, RF Online terlalu berharga untuk dilewatkan. Buatnya, melewatkan 1 chip war, sama dengan keterbelakangan. Dia ingin lebih dari yang lain soal RF Online. Dia bilang kalau dia pengen jadi Archon tapi itu ga mungkin. Saat itu, ga ada yang bisa mengalahkan CurseAngel ataupun Xmagic. Atau akhir – akhir ini, CurseAngel mengundurkan diri sementara dan digantiin sama Xmagic. Ingin rasanya pergi cari wargame trus coba maen RF lagi, tapi keinginan itu kutahan sampai akhirnya aku ga tahan.<br /><br />Malam itu aku ke wargame deket kost, waktu menunjukkan pukul 19.00 WITA. Aku berjalan ke Wargame tempat Bho biasa beli Premium ( Voucher Lyto ) namanya Acc-Reload. Aku membayar paket 3 jam. Aku berjalan kaki dari kostku ke sana, agak lumayan tapi dah biasa. Aku langsung memilih pc dekat jendela.<br /><br />Aku mengaktifkan YMku, rasanya kangen banget sama semua teman – temanku. YM ku aktif, aku langsung bisa melihat daftar teman – temanku,…<br /><br /><i>‘Mas Andi Online’</i>, pekikku kegirangan.<br /><br />Belum sempat aku menuliskan sesuatu untuk Mas Andi, dia lebih dulu mengirimkan msg padaku.<br /><br />“Anak ilang, kemana lo? Ngapain aja lo disana?”, tanyanya.<br /><br />“Mas Andiiiiii, pengen pulang!!!”, jawabku.<br /><br />“Kenapa? Mang ada apa??”, tanyanya.<br /><br />Aku, saat itu, menceritakan semua yang terjadi. Mas Andi shock, dia marah dengan semuanya. Dia mendadak jadi benci dirinya hari itu. Ga sampai beberapa menit, semua YM teman – teman kantorku aktif dan menanyakan kebenaran itu. Aku hanya bisa menatap layar monitorku, menekan tombol – tombol keyboardku dengan perasaan ga tentu. Menangis ga bersuara cukup membuatku tersiksa.<br /><br />Sejak saat itu, Acc – Reload jadi sahabatku. Setiap saat aku datang kesana untuk sekedar say hai pada teman – temanku.<br /><br />Hari berganti hari, tak terasa hampir setengah bulan aku ditempat kost baruku dan sadar, ternyata Bho tak pernah ada kabar. Aku semakin dekat dengan teman – teman kostku, jalan ke Mal Lembuswana, Minum Es Campur dekat Kampus WidyaGama, makan Nasi goreng Mawut enak deket kost, tempat – tempat yang mungkin Cuma ada dalam mimpiku kalau aku masih ada di kost ku yang lama. Aku dikenalkan pada teman – temannya Aini, anak2 Pencinta Alam disana. Kami sering ngobrol – ngobrol, tuker pikiran, tapi yang jelas, mrk ga tau aku hamil.<br /><br />Sampai suatu malam, aku, Aini habis jalan – jalan liat panjat tebing di daerah Tepian. Malam itu kami pulang agak malam, jam 11. Dari depan, semuanya tampak biasa saja, tapi begitu kami buka pintu yang menuju anak tangga ke atas, terdengar suara Kak Ajeng ngamuk. Aini langsung naik keatas, sementara aku mengunci pintu dl. Naik perlahan dan takjub.<br /><br />Kak Ajeng ngamuk sambil mengeluarkan kata – kata yang unbelievable. Aku memperhatikan dia yang duduk di kursi meja tamu sambil marah – marah ga jelas. Aini berusaha menenangkan. Aku gak takut, aku hanya berpikir kalau aku ga mau seperti Kak Ajeng. Sadar kalau aku hanya memperhatikannya, dia melemparkan asbak kearahku. Asbak itu pecah berkeping – keping lantai depan kakiku…<br /><br />“Ngapain lo liat – liat hah??? A***NK lo….makan tuh asbak”, hardik Kak Ajeng.<br /><br />“Kak, itu Vie bukan dia!”, jawab Aini.<br /><br />“Lo lagi, ngapain siy lo ada disini?? Mau liat M***K gwe…gwe kasih liat. Ai baik sama kamu”, jawab Kak Ajeng.<br /><br />“Apaan siy??”, jawab Aini.<br /><br />Aku melihat sekeliling, Lina, Wati, Wulan dan yang lain hanya bisa melihatku dan Aini dengan wajah yang tak bisa kugambarkan, takut, kasihan, entah.<br /><br />Aku maju selangkah….tiba – tiba tertahan oleh suara kencang Kak Ajeng.<br /><br />“Mo ngapain siy lo? Ga puas lo dah bikin hidup gwe begini?? Ga puas lo liat gwe masih idup? Ga puas lo liat gwe gilaa?? Hah??”, tanya Kak Ajeng padaku.VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-84394216797388916522009-10-09T02:30:00.002-07:002009-10-09T02:31:27.141-07:00PART FIFTEEN – KETIKA MENCOBA TANPANYA……( Part III - End )“Kak Ajeng, dari mana?”, tanyanya.<br /><br />“Dari cari mam ini sama anak baru, kenalin Say”, jawab Kak Ajeng.<br /><br />Sosok itu pun muncul dihadapanku, wanita lebih mungil dari Kak Ajeng, kulitnya agak lebih coklat dari aku. Tersenyum manis menghampiriku.<br /><br />“Namaku Nur Aini. Panggil Aini aja atau Gadas juga ga papa”, jawabnya.<br /><br />“Vie, namaku Vie. Kok Nur Aini jadi Gadas??”, tanyaku.<br /><br />“Panjang ceritanya. Eh, lahir tahun berapa kah?”, tanyanya.<br /><br />“Hmmm….198*. kenapa mangnya?”, tanyaku.<br /><br />“Weeehh…berarti Kak Ajeng tetap paling tua ya. Keduanya Kak Vie. Disini semuanya rata – rata 88 – 87 kak”, ujarnya.<br /><br />“Wedew….Masa?? Kak Ajeng memangnya lahir tahun berapa?”, tanyaku.<br /><br />“198* Vie. Tua yaaa??”, jawab Kak Ajeng.<br /><br />Akhirnya kami bertiga terlibat percakapan yang mulai akrab. Tadinya berdiri jadi duduk di ruang tamu sambil ngemil Snack dari kamar Kak Ajeng sama Aini. Pukul 10.00 malam, Kak Ajeng pamit untuk tidur. Dia pun segera berlalu dan kami, aku dan Aini meneruskan percakapan kami lagi. Selang berapa jam, aku teringat dengan yang dibicarakan Istrinya Abah tadi siang.<br /><br />“Ai, boleh Tanya kah?”, tanyaku sambil sedikit berbisik<br /><br />“Ya, kenapa Kak?”, jawab Aini.<br /><br />“Kak Ajeng memang ‘agak agak’ ya Ai?”, tanyaku<br /><br />“Hmm…dia bukan gila Kak, Cuma depresi”, jawab Aini.<br /><br />“Depresi kenapa?”, tanyaku.<br /><br />Aini pun menjelaskan panjang lebar tentang alas an kenapa Kak Ajeng depresi.<br /><br /><span style="font-family:Franklin Gothic Medium;"><span style="font-size:100%;"><span style="color:Teal;">Dulu Kak Ajeng punya pacar, waktu SMU kelas 2. Mungkin karena salah pergaulan, Kak Ajeng hamil waktu umur 16 tahun dan akhirnya sang pacar pun menikahi Kak Ajeng. Mereka sama2 masih belia. Ternyata, si suami ( dah jadi suami Kak Ajeng ), terlibat sama Narkoba juga. Kak Ajeng ga bisa apa – apa karena saking cintanya. Suatu malam, pas Kak Ajeng sedang hamil tua, Si Suaminya pulang ke rumah dalam keadaan sadar tapi bawa perempuan. Kak Ajeng marah, Tanya siapa perempuan itu. Suaminya gak jawab. Sang suami pun bermesra – mesraan dengan perempuan itu dihadapan Kak Ajeng.<br /><br />Kak Ajeng awalnya santai, tapi lama – lama stress juga. Setelah perempuan itu pulang. Dia bicara sama suaminya, maunya apa. Tapi ga digubris sama suaminya. Kak Ajeng terus desak suaminya untuk bilang maunya apa. Akhirnya si suaminya bilang ke Kak Ajeng, maunya apa. Dia mau Kak Ajeng lakuin sesuatu buat dia untuk tunjukkin kalo Kak Ajeng sayang sama dia. Suaminya minta Kak Ajeng buat iris urat nadinya.<br /><br />Dilatar belakangi perasaan sayang lah, akhirnya Kak Ajeng menuruti apa yang suaminya mau tapi dengan satu kondisi, suaminya juga harus nurutin apa yang Kak Ajeng mau. Suaminya juga mau ngelakuin apa yang Kak Ajeng mau. Kak Ajeng minta suaminya Minum Obat Nyamuk. Deal, akhirnya mereka melakukan apa yang pasangannya masing – masing minta. Kak Ajeng motong urat nadi dan suaminya minum obat nyamuk.<br /><br />Apa yang mereka lakukan masuk Koran di Samarinda. Dua – duanya berhasil diselamatkan. Tapi anak yang dikandung Kak Ajeng harus lahir premature.<br /><br />Sejak saat itu, Kak Ajeng jadi depresi. Dia sering minum obat2 penenang sampai dia ga sanggup hidup tanpa obat – obat itu. Sampai lahir anak keduanya. Anaknya 2, Yang pertama perempuan, namanya Bella. Yang kedua laki – laki namanya Vio. Setelah lahir anaknya yang kedua, ternyata suaminya ga berubah – berubah, padahal Kak Ajeng sudah berkorban banyak sekali, sampai dia jadi begini.<br /><br />Sekarang, anak – anaknya diasuh sama ibunya Kak Ajeng, sementara Bapaknya ga nerima Kak Ajeng lagi dirumahnya. Itu alasan kenapa Kak Ajeng kost. Dia gak diterima sama keluarganya lagi.<br /><br />Dia memang suka ngamuk, tapi itu jarang terjadi lagi sejak anak – anak kost mulai sering mengajak Kak Ajeng komunikasi dan Kak Ajeng mulai membuka diri.</span></span></span><br /><br />Malam itu, sambil tiduran, lampu mati, aku berpikir. Aku gak mau sampai depresi seperti Kak Ajeng. Cukup buatku melihat jalan cerita Kak Ajeng. Dia cantik, sempurna dimataku tapi dibalik itu, dia menyimpan suatu perasaan yang tak ingin aku miliki. Aku ingin bertahan, mempertahankan sesuatu yang sekarang hidup ditubuhku.<br /><br />Aku mungkin punya hubungan yang sangat indah dengan seorang Dewa yang entah sedang apa sekarang. Dia tak memberiku kabar sama sekali hari ini. Mungkin sekarang dia sedang sibuk untuk repel – repel di Sette dan mencoba menjadi pahlawan untuk rakyat – rakyat Accretia di Comet. Dia memang Dewa, tapi aku manusia. Manusia yang masih punya hati, perasaan dan keinginan. Bukan berarti Dewa ga punya perasaan, tapi Dewa ga bisa jadi milikku seutuhnya.<br /><br />Bho, Dewa di RF Online. Rasanya dia sudah jadi milik semua Acc disana, bukan milik VieaNKaChu yang biasa – biasa aja. Aku Manusia, bukan jalanku untuk jadi pendamping seorang Dewa seperti Bho.<br /><br />Aku ga mau depresi karena itu…..aku cukup bahagia pernah merasakan cinta sesosok Dewa bernama Bho di hidupku dan sekarang aku ingin memperjuangkan apa yang sudah terjadi.<br /><br />Aku, harus bisa berdiri tanpa Bho…..<br /><br />Aku menangis malam itu mengingat semuanya….Apa aku bisa tanpa Bho?VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-31456313578029403872009-10-09T02:30:00.001-07:002009-10-09T02:30:51.592-07:00PART FIFTEEN – KETIKA MENCOBA TANPANYA……( Part II )Aku tertegun bingung. Wanita secantik, seanggun itu GILA??? No way….masa siy? Aku langsung melihat ke arah ibu sambil masih terbingung – bingung.<br /><br />“Vie, jadi pergi car mam kah??”, teriak seseorang dibelakangku.<br /><br />Aku menoleh. Kak Ajeng. Aku langsung membalas teriakan itu.<br /><br />“Jadi….sebentar”, teriakku.<br /><br />Aku langsung berpaling ke Istrinya Abah, Pamitan. Langsung aku menghampiri Kak Ajeng dengan perasaan campur aduk. Bingung, pusing, kasian dan ingin tahu campur jadi satu.<br /><br />“Cari mam kemana kita Kak?”, tanyaku.<br /><br />“Kita ke rumah makan padang depan sana aja yuk”, ajaknya.<br /><br />“Aduh Kak, rumah makan padang?? Mahal kah?? Uang Vie ga cukup Kak”, jawabku.<br /><br />“Ya dah, ikut Kakak aja”, jawabnya.<br /><br />Aku mengikuti Kak Ajeng, berjalan meriringan dengannya. Sambil masih berpikir dalam hati, benar atau tidak yang dibicarakan si Ibu tadi. Bagiku, Kak Ajeng sosok yang sempurna. Cantik, langsing, pokoknya gambaran Laras banget. Tapi kenapa si Ibu bilang Kak Ajeng gila??<br /><br />Begitu sampai di rumah Makan itu, Kak Ajeng langsung memesan Nasi pakai Ayam Gulai, Paru dan Ikan Gulai. Aku tertegun melihat porsi makan Kak Ajeng.<br /><br />“Kak, banyak amat?”, tanyaku.<br /><br />“Kakak laper Vie. Lapar banar Ai”, jawabnya dengan logat Melayu Bugis yang kental.<br /><br />“Ooo…abis tuh Kak?”, tanyaku.<br /><br />“Habis. Ayo kamu mam apa?”, Tanya Kak Ajeng.<br /><br />“Duuhh..Vie minum aja Kak”, jawabku. Melihat porsi Kak Ajeng langsung kenyang perutku.<br /><br />“Da, pesan nasi pakai ayam bakar 1 lah. Dada ya, buat adikku Vie ini”, ujarnya ke Uda penjual Nasi Padang itu.<br /><br />“Kak, ga cukup uangku”, jawabku.<br /><br />“Diam lah Ai. Kakak traktir hari ini, makan! Pucat sudah muka kamu masih tak mau makan?”, tanyanya.<br /><br />Aku tak bisa menjawab pertanyaan Kak Ajeng. Aku langsung tertunduk malu sambil penasaran bener ga mukaku tuh pucet. Aku langsung mengikuti kemana Kak Ajeng pergi. Dia memilih meja yang agak pojok. Kami pun duduk. Aku duduk menghadap ke Kak Ajeng supaya bisa lebih enak bicaranya.<br /><br />“Kamu dari mana Vie asalnya?”, Tanya Kak Ajeng.<br /><br />“Jakarta”, jawabku.<br /><br />“Ai Ai…jauhnya. Sama siapa disini? Kerja kah?”, tanyanya.<br /><br />“Sendiri. Sedang cari kerja”, jawabku.<br /><br />“Sendiri?? Beraninya kau niy. Punya pacar kah?”, tanyanya.<br /><br />“Punya tapi tau deh, pusing”, jawabku.<br /><br />“Kenapa?”,tanyanya sambil mengambil makanan yang baru saja diantarkan si pelayan rumah makan tersebut.<br /><br />“Ga papa”, jawabku.<br /><br />“Ga papa, cerita aja Vie. Ga papa kok. Siapa tau kakak bisa kasih solusi”, ujarnya.<br /><br />“Ya, nanti Vie cerita. Nanti Kak…..ya?”, jawabku.<br /><br />“Ya…”, jawab Kak Ajeng.<br /><br />Hari itu aku cukup bahagia, mendapat rejeki nomplok, makan nasi padang di Kalimantan. Norak banget kayaknya tapi tetep seneng karena ya akhirnya bisa makan nasi sampe kenyang.<br /><br />Aku dan Kak Ajeng pulang ke kost sambil bercanda – canda. Ketika kami sampai di depan kamar kami masing – masing, terdengar suara yang berasal dari kamar di koridor depan.VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-42735838240735221822009-10-09T02:29:00.000-07:002009-10-09T02:30:22.222-07:00PART FIFTEEN – KETIKA MENCOBA TANPANYA……( Part I )<i>Jatuh cinta, tak kenal usia<br />Tua muda, janda dan duda<br />Setiap manusia pasti merasakan<br />Jatuh cinta<br /><br />Aku ingin kau jatuh cinta<br />Kau ‘kan tersenyum dan kau tersipu<br />Saat terselimuti cinta kau<br />‘Kan rasakan terbang melayang jauh<br /><br />Jatuh cinta itu indah<br />Jangan kau takut jatuh cinta<br />Aku ingin kau jatuh cinta lagi<br />Dan semua kan terasa indah<br /><br />Aku sedang jatuh cinta<br />Cinta mati sama kamu<br />Berikanlah cintamu yang pernah<br />Kau berikan seperti dulu<br /><br />Jatuh cinta itu indah<br />Jangan kau takut jatuh cinta<br />Aku ingin kau jatuh cinta lagi,<br />Lupakan semua yang terjadi<br /><br />Aku sedang jatuh cinta lagi dan<br />Ingin kembali padamu</i><br /><br /><br /><i>‘Suara siapa itu ya?’</i>, bisikku dalam hati.<br /><br />Aku terbangun pagi itu oleh suara merdu seorang wanita yang aku ga tau siapa. Dalam hati mikir..<br /><br /><i>‘Itu manusia atau bukan ya?? Merdu banget suaranya..’</i>, pikirku dalam hati.<br /><br />Mendengar suaranya seperti ada perasaan galau dan sedih yang berkepanjangan. Seperti perasaan yang tersakiti namun berusaha tegar hadapi semuanya. Setengah mati aku penasaran pengen tau itu suara siapa tapi setengah mati juga ketakutanku, takut kalo itu bukan manusia.<br /><br /><i>‘Ini Kalimantan Hanna…bukan Jakarta’</i>, bisik hati kecilku.<br /><br />Pagi itu aku bertahan tidak keluar kamar untuk cari tau si pemilik suara merdu itu. Aku sudah tak bisa memejamkan mataku lagi. Yang ada dipikiranku hanya si ‘Pemilik Suara Merdu’ itu. Aku dapat merasakan apa yang dia rasakan karena aku sedang merasakannya juga.<br /><br />Akhirnya, aku hanya bisa diam mendengarkan dia menyanyikan lagu itu. Tiba – tiba dia merubah nyanyiannya, lagu berirama melayu. Ugghh…suaranya enak banget, Siti Nurhaliza kalah deh. Beneran. Lagu itu menceritakan tentang kebesaran Tuhan, bagaimana kita manusia menjalani kehidupan ini terkadang melupakan kebesarannya.<br /><br /><i>Engkana' ri mabellae<br />Ri lippu wanua laeng<br />Deceng Muaro Usappa<br />Uwellai wanuakku<br />Tanah Ogi Wanuakku<br />Wanua tallessurekku<br />Indo' ambo' malebblikku<br />uwa'bokori ulao<br /><br />Pura janci ri aleku<br />singkerru ri atikku<br />iapa urewe' mattana ogi<br />uruntukpi usappae<br /><br />Indo' Ambo' Malebbikku<br />Aja' tapettu rennuang<br />Marillau ri Puangnge<br />Natepu winasakku</i><br /><br /><b>(dapet liriknya Cuma ga bs nyanyinya…ga bgus suara saya..)</b><br /><br />Aku ga tau artinya tapi ini lagunya mengiris banget. Wanita itu menyanyikannya berulang – ulang. Mendengar iramanya, tanpa sadar airmataku menetes. Walau gak tau artinya, tapi kayaknya sedih banget.<br /><br />Tanpa kusadar, aku tertidur oleh nyanyian itu. Seperti menina bobokan aku yang sudah lupa rasanya tidur nyenyak.<br /><br />Aku terbangun kedua kalinya hari itu dengan nyanyian. Kulihat jam di HPku, menunjukkan pukul 10.00 WITA. Ugghh…dah siang ternyata dan belum ada tanda – tanda dari Bho sampai jam segini. Aku bangun dan terduduk di kasurku, aku merasakan perasaan yang tak menentu. Mual campur pusing. Hmmm….apa ini yang namanya “Morning Sickness”??<br /><br />Aku berusaha mengontrol semuanya. Aku berusaha bangun, melihat penampakkan diriku di kaca, menyisir rambutku dengan tanganku sambil berpikir,<br /><br /><i>‘Apa yang mau kulakukan hari ini??’</i><br /><br />Setelah kulihat rapi, aku bangun dan berusaha mencari dompetku. Aku mau cari makanan yang lumayan bisa isi perutku hari itu. Aku membuka pintu kamarku dan melihat sosok wanita cantik di seberang kamarku, ya….di kamar seberang kamarku, dia sedang menyanyi dengan suaranya yang pelan namun merdu.<br /><br />Tingginya tidak lebih tinggi dari aku, badannya langsing, kulit putih, rambut panjang dan wajahnya agak seperti campuran Indonesia dan arab, kayaknya. Aku seperti patung didepan pintu kamarku sampai akhirnya si pemilik suara merdu itu melihatku dan menyapaku,<br /><br />“Halo….”, sapanya.<br /><br />“Halo juga…”, balasku setengah gagap. Cantik, kayak gambaran Laras.<br /><br />“Anak baru ya???”, tanyanya.<br /><br />“Iyah Kak”, jawabku.<br /><br />“Sini……”, ajaknya untuk datang ke kamarnya.<br /><br />Aku menutup pintu kamarku dan berjalan perlahan ke kamarnya.<br /><br />“Kenalin, Namaku Ajeng. Kamu?”, ujarnya.<br /><br />“Saya Hanna Kak. Tapi Ibu Kost panggil saya Vie, lebih gampang katanya”, jelasku.<br /><br />“Ya dah, aku panggil kamu Vie aja. Hanna agak sedikit ribet juga”, jawabnya.<br /><br />“Ya dah…gpp kok”, jawabku yang sambil memperhatikan kamar Ajeng.<br /><br />Kamarnya penuh dengan boneka manusia, atau biasa kita sebut Barbie. Tipe – tipe wanita feminine tampaknya. Dia juga memakai baju yang sangat wanita buat saya. Andaikan saya punya kepercayaan diri yang besar untuk pakai baju seperti itu.<br /><br />“Kamu kok pucet Vie? Dah makan kah?”, tanyanya.<br /><br />“Belum. Gak tau mau makan apa. Perut lagi ga enak”, jawabku.<br /><br />“Diare kah? Kakak punya obat diare kalau kamu mau”, jawabnya.<br /><br />“Gak ga…bukan diare. Hmmm..begitulah”, ujarku.<br /><br />“Begitulah kenapa?? Kamu sakit??”, tanyanya.<br /><br />“Ceritanya panjang. Lain kali aja Vie cerita Kak. Kakak mau kemana?”, tanyaku.<br /><br />“Kak Ajeng mau car mam, ikut yuk. Kita mam sama – sama”, ajaknya.<br /><br />“Iyah. Vie tapi mau ke tempat Ibu kost dulu, gpp?”, jawabku.<br /><br />“Gpp, Vie mau ke tempat istrinya Abah?”, tanyanya.<br /><br />“Siapa istrinya Abah kak?”, tanyaku.<br /><br />“Hmm..kamu belum tau ya?”, jawabnya.<br /><br />“Tau apa Kak?”, tanyaku heran.<br /><br />“Ibu – ibu yang tua itu kita biasa panggilnya Istrinya Abah. Dia Cuma yang jagain kost aja. Kalo yang punya kost itu anaknya Abah. Kita biasa panggil dia Suneo. Nah, yang nagihin uang kost itu istrinya, biasa kita panggil Istrinya Suneo”, jawabnya.<br /><br />“Kok Suneo kak?”, tanyaku setengah mesem – mesem.<br /><br />“Iyah, soalnya mukanya mirip sangat sama si Suneo di Doraemon itu Vie. Ya dah, tunggu kakak dibawah aja ya”, jawabnya.<br /><br />“OOO…oke oke”, jawabku setengah ketawa.<br /><br />Aku turun ke bawah, berjalan perlahan menuruni tangga dan berjalan pelan juga kea rah rumah Istrinya Abah. Sampai disana aku memencet bel nya dan tak lama keluarlah Istrinya Abah.<br /><br />“Assalamualaikum Bu”, salamku.<br /><br />“Wa’alaikum salam, Vie. Kenapa?”, tanyanya.<br /><br />“Ini bu, mau kasih foto copy KTP sama minta kwitansi pembayaran boleh?”, tanyaku.<br /><br />“Hmm..oiya, Kwitansinya nyusul ya nak. Anaknya Abah soalnya yang bikin bukan Ibu”, jawabnya.<br /><br />“Oke..ga papa Bu”, jawabku.<br /><br />“Mau kemana Vie?”, tanyanya.<br /><br />“Mau cari makan sama Kak Ajeng”, jawabku.<br /><br />“Ajeng?? Kamu dah kenal Ajeng?”, tanyanya.<br /><br />“Iyah, Kenapa mangnya Bu?”, tanyaku heran.<br /><br />“Ga, sekedar informasi aja. Ajeng mau dikeluarkan sama Anaknya Abah”, jawabnya,<br /><br />“Memang kenapa? Belum bayar kost kah?”, tanyaku.<br /><br />“Bukan itu, Ajeng itu agak sedikit gila”, jawab si Istrinya Abah.<br /><br />“Hah…?? Gila gimana?”, tanyaku.<br /><br />“Iyah, dia suka ngamuk. Suka ngomong sendiri. Dia agak stress”, jawabnya.<br /><br />“Masa siy bu? Suaranya bagus kok. Semalam Vie dengar”, jawabku tak percaya.<br /><br />“Iyah, tak tau lah dia kenapa. Dia gak ngamuk kah semalam?”, Tanya Ibu.<br /><br />“Ga kok bu, ga sama sekali”, jawabku.VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-44907171460218293432009-10-09T02:28:00.001-07:002009-10-09T02:28:51.094-07:00PART FOURTEEN – KETERBUKAAN ITU…Pagi hari setelah kejadian itu, aku bertekad membuka semuanya. Aku gak mau harus pergi dari Samarinda dengan beban berat di pundakku. Kehadiran sesosok makhluk hidup di perutku sudah membuatku berpikir keras, harus seperti apa jalanku ke depan nanti?? Yang aku tau hanya aku akan menjalaninya sendiri.<br /><br />Sore itu Bho mengajakku makan di tempat biasa dia makan, tumben banget sebenernya. Aku menanyakan alasannya ke Bho, Cuma dia selalu mengalihkannya ke topik lain. Sampai akhirnya aku gak tahan, aku mulai membicarakan apa yang ingin kubicarakan.<br /><br />“Beb, aku mau ngomong?”, potongku.<br /><br />“Ngomong apa?”, tanyanya.<br /><br />“Tentang siapa aku dan gimana keadaanku”, jawabku.<br /><br />“Aku tau siapa kamu”, ujarnya.<br /><br />“Ya aku tau, tapi bukan yang kayak gitu. Namaku bukan Laras..tapi”, ujarku.<br /><br />Sebelum aku bisa meneruskan perkataanku, ucapanku dipotong sama Bho.<br /><br />“Hanna kan?”, potongnya.<br /><br />“Ya…kamu kok tau?”, tanyaku keheranan setengah pucat pasi.<br /><br />“Aku tau waktu kamu tidur, ga sengaja aku buka dompet kamu dan apa kamu ga sadar sama CV kamu Beb?”, ujarnya.<br /><br />Oiya, aku baru tau kalau di CV ku tertera namaku yang sebenarnya, bukan Laras Anggun Anindya tapi Hanna Vieanka Maryam.<br /><br />“Ya, muuv…”, jawabku.<br /><br />“Ga papa..aku juga tau kenapa kamu begini. Aku liat buku harianmu dan ga sengaja, terbaca sama aku, Beb.”, ujarnya.<br /><br />“Hah??? Kamu baca semua??”, tanyaku.<br /><br />“Sayangnya, Ya! Makanya aku ga kaget waktu kmrn ibu kost mu panggil kamu ‘Vie’, aku tau semuanya”, ujarnya.<br /><br />“Ya, Muuv. Aku terlalu malu mengakui bahwa aku ga seperti wanita lainnya. Aku tumbuh dengan sosok Laras sekian lama dan akhirnya, dia seperti menyatu dalam diriku, aku harus akhiri semuanya”, jawabku.<br /><br />“Kenapa kamu bisa bilang kalau kamu ga seperti wanita lain?? Apa yang kurang siy Beb??”, tanyanya.<br /><br />“Ga tau. Mungkin karena masa kecilku yang entah kenapa berbeda dengan yang lain. Masa laluku mempengaruhiku, Beb”, jawabku.<br /><br />“Ya, setiap orang punya masa lalu. Aku ga perduli sama masa lalu kamu. Tapi dengan kamu berbuat seperti ini, kamu jadi akan menderita sendiri”, ujarnya.<br /><br />“Ya, aku tau. Makanya, aku mau mengakhiri semuanya. Aku harus memilih siapa dan bagaimana aku sebenarnya. Aku harus mengakhiri semuanya”, jawabku.<br /><br />“Ya, tapi jangan akhiri aku ya Beb. Jangan!”, ujarnya.<br /><br />Apa yang baru Bho katakan tapi seperti anak panah yang langsung menusuk jantungku, membuatku sekarat dan mungkin akan mati perlahan – lahan.<br /><br />“Kenapa ngomong begitu?”, tanyaku<br /><br />“Karena mang aku ga mau kalo ga ada kamu”, ujarnya.<br /><br />“Seandainya aku hamil, kamu masih mau ada aku?”, tanyaku.<br /><br />“Kenapa kamu tanya begitu?”, tanyanya.<br /><br />“Gpp, tanya aja. Soalnya kmrn kamu bilang kalo aku hamil, digugurin kan? Apa gunanya kalo masih sama – sama”, ujarku.<br /><br />“Kamu bener hamil kan Beb?”, tanyanya sambil merubah posisi duduknya.<br /><br />“Ga….aku Cuma tanya, kalo aku hamil, apa kamu masih mau ada aku?”, tanyaku.<br /><br />Pertanyaan itu ga dijawab sama Bho sampai kami tiba di kostku dan aku juga sudah malah menanyakannya lagi. Bagiku jawabannya sudah jelas, ‘BIG NO’.<br /><br />Kupikir, Bho akan langsung melesat pergi ke GEIM setelah kami jalan, ternyata dia singgah dulu di kostku. Aku heran, jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WITA, tapi dia tetep belum juga mau ke GEIM. Dia menahanku di atas motornya sebelum akhirnya dia mengajakku bicara.<br /><br />“Beb, duduk disana yuk”, ajaknya sambil menunjuk bangku panjang di depan kostku.<br /><br />“Tumben, ga ke GEIM? Nanti ga dapet tempat lho”, jawabku.<br /><br />“Ga papa. Kalo aku dtg, pasti ada kok tempat kosong, kompi ‘dewa’ pasti tersedia buat aku, Beb”, jawabnya.<br /><br />“Susah siy ya yang jadi ‘anak emas’ nya si Koko itu”, jawabku sambil berjalan ke bangku itu.<br /><br />Kami duduk dan diam untuk sementara waktu. Tak sadar, selama sesi diam itu, Bho memperhatikanku dari bawah sampai atas. Aku jadi jengah melihatnya.<br /><br />“Beb, jangan diliatin kayak gitu”, ujarku.<br /><br />“Kenapa? Mang ga boleh liatin pacar sendiri?”, tanyanya.<br /><br />“Ya boleh, tapi jangan gitu”, ujarku.<br /><br />“Kamu berubah Beb, Paha kamu kecil, Perut kamu rata, kamu kurusan”, ujarnya.<br /><br />“Trus kenapa?”, tanyaku.<br /><br />“Aku bener – bener kangen suasana dulu. Aku kangen banget”, ujarnya.<br /><br />“Mang kemaren kemana aja Beb? Dr kemaren juga dah begini bentuknya, express!”, jawabku.<br /><br />“Aku baru sadar. Tadi pas di tempat makan, banyak cowok – cowok liatin kamu. Kayaknya klo ga ada aku, diajak kenalan kali kamu td”, ujarnya.<br /><br />“Masa??”, tanyaku.<br /><br />“Iyh, tadi pas cuci tangan, aku denger di meja dkt situ lagi ngomongin kamu”, ujarnya.<br /><br />“Ngomongin apa?”, tanyaku.<br /><br />“Ya mrk bilang, ‘cewek pake baju putih cantik tuh sob. Sayang dah ada anjingnya’”, ujar bho menirukan ucapan org itu.<br /><br />“Maksudnya ‘anjingnya’ apa?”, tanyaku.<br /><br />“ya, ‘anjingnya’ tuh aku”, ujar Bho.<br /><br />“Kok gitu?”, tanyaku.<br /><br />“Itu sebutan aja”, jawab Bho.<br /><br />“Mang kamu kenapa? Kan mrk ga ngajak aku kenalan”, tanyaku<br /><br />“Iyah memang ga, tapi aku cemburu. Kamu diliatin orang – orang yang suka sama penampilan kamu”, jawabnya.<br /><br />“Lho kan katanya kamu minta aku begini, dah begini malah cemburu”, jawabku.<br /><br />“Iyah, payah ya?? Aku takut kamu diambil orang Beb”, ujarnya.<br /><br />“Ya kenapa mangnya?”, tanyaku.<br /><br />“Ga…Ga papa. Oiya, kamu jd gimana? Laras atau Hanna?”, tanyanya.<br /><br />“Hanna, aku tetep Hanna. Aku pilih Hanna, Cuma aku ambil beberapa sifat positif Laras. Aku ga mau selamanya jadi Laras. Tanpa sadar, Aku lebih cinta Hanna”, jawabku.<br /><br />“Kalau aku?? Kamu cinta aku??”, tanya Bho.<br /><br />“Hmmm….dengan segala sifat kamu, aku sayang sama kamu”, jawabku.<br /><br />“Cuma sayang??”, tanya Bho.<br /><br />“Bagiku sayang jauh lebih dalam artinya dibanding cinta. Cinta bisa datang dan hilang begitu aja, kalau sayang ga. Jujur, kalo aku putus sama kamu, Beb. Aku ga akan pernah bisa benci sama kamu”, ujarku.<br /><br />“kenapa?”, tanyanya.<br /><br /><i>“Karena aku ga bisa benci sama ayah dari anakku sendiri”</i>, hati kecilku berbicara.<br /><br />“Karena kamu…….”, jawabku, semuanya tertahan di tenggorokanku.<br /><br />“Kenapa kamu ngomong ‘putus’ kayak gitu? Apa siy Beb yang kamu sembunyiin? Apa siy?”, tanyanya mendesakku.<br /><br />“Ga, ga ada apa – apa”, jawabku.<br /><br />“Kamu punya cowok lain? Kamu marah sama aku? Kamu Benci sama aku, Beb? Apa?”, tanyanya.<br /><br />“Ga, ga ada cowok lain. Aku ga marah sama kamu dan aku ga akan bisa benci kamu”, jawabku.<br /><br />“Trus kamu kenapa bisa bilang begitu? Kamu kenapa?”, tanyanya serius.<br /><br />“Ga papa. Dah sana kamu pulang Beb. Aku ngantuk”, jawabku sambil berdiri dari bangku itu.<br /><br />“Gak…ga akan pulang kalo kamu ga ngomong”, jawabnya.<br /><br />Belum sempat aku menjawabnya, Bho langsung memelukku, membisikkan sesuatu di telingaku.<br /><br />“Aku sayang kamu,entah sebagai Hanna atau Laras. Aku terlanjur cinta kamu, Beb”, bisiknya.<br /><br />Dia melihat wajahku dan aku membalas apa yang dia bisikkan di telingaku dengan terbata – bata karena tangisku sudah hampir meledak. Menahannya membuatku tersiksa, melepaskannya membuatku lebih menderita.<br /><br />“Aku sayang kamu sebagai Hanna dan sebagai Laras. Skrg aku memilih Hanna. Aku harus hidup dngan segala kekurangan Hanna, hidup dngan sifat Hanna. Aku terlanjur cinta Hanna dan cinta kamu. Tapi aku terlanjur sayang pada sesuatu yang hidup bersamaku sekarang dan mempertahankannya membuatku kehilangan cinta kamu, jadi maafin aku, Beb”, jawabku yang berusaha sekuat tenaga mengucapkan semuanya.<br /><br />“Kamu terlanjur sayang apa? Sampai kamu harus merelakan semuanya. Apa hubungannya dengan aku Beb? Sampai kamu merasa akan kehilangan cintaku”, jawab Bho.<br /><br />“Aku sayang pada sesuatu yang belum nyata Beb. Aku masih harus memperjuangkannya. Aku ga perlu membicarakannya dengan kamu, karena aku sudah tau jawaban apa yang akan kuterima nanti. Daripada tambah menyakitiku, lebih baik aku rasa sendiri aja”, jawabku.<br /><br />“Kamu kenapa begini siy?”, tanya Bho.<br /><br />“Aku Hanna, Ini sifat Hanna yang perlu kamu tau. Tadi kamu bilang terlanjur cinta kan? Sama siapa? Hanna atau Laras? Kalau kamu cinta Laras, Laras sudah ga ada”, jawabku.<br /><br />“Beb….”, ujar Bho.<br /><br />“Kalau kamu ga suka Hanna, Silahkan pergi dan pikirkan lagi semuanya”, jawabku sambil menurunkan tangannya yang menangkup wajahku dan segera meninggalkan Bho dalam kebingungan dan tangisku pun meledak seketika ketika aku membalikkan badanku, meninggalkannya.<br /><br />Aku berjalan menuju tangga kamar kostku ketika sebuah tangan menangkapku dari belakang dan terdengar suara yang begitu familiar di teligaku, Bho.<br /><br />“Beb, jangan kemana2 plisss….”, pintanya.<br /><br />“Beb, aku ga kemana – mana. Kamu yang selalu pergi, aku selalu duduk manis tunggu kamu disini. Kamu yang kemana? Kamu yang masih belum bisa meninggalkan kesenangan kamu. Selama kamu belum bisa, aku ga akan bisa bilang sama kamu, sesuatu yang selama ini mengganggu pikiranku”, jawabku.<br /><br />“Tapi Beb….”, jawabnya.<br /><br />“You better be go home…It almost 11 o’clock, beb. Ya?”, jawabku.<br /><br />“Kamu tetep ga bs bicara tentang itu?”, tanyanya.<br /><br />“Ga bisa sayang, karena aku sudah tau jawabannya tanpa aku bicara sama kamu. You have to find your own light Babe…..”, jawabku dalam tangisku.<br /><br />Aku segera melepaskan tangannya, berjalan ke tangga itu, menaikinya dengan cepat, masuk ke kamarku, menguncinya dan mematikan lampu sambil menangis sejadi – jadinya. Aku belum putus dengan Bho tapi lambat atau cepat, itu pasti terjadi.<br /><br />Aku mengakhiri malam itu entah dengan apa. Aku bingung harus gimana. Sebelum aku memejamkan mata, ada sms masuk ke Hpke, Bho.<br /><br /><i><span style="font-family:Fixedsys;"><span style="font-size:100%;"><span style="color:Plum;"><b>“Cinta, aku tau salahku apa, tapi apa terlalu fatalkah salahku? Aku tak sanggup melepaskan gairahku akan sesuatu yang membuat adrenalinku bergejolak tapi kalau aku harus kehilanganmu krn itu, aku ga sanggup.”</b></span></span></span></i><br /><br />Aku membacanya dalam diamku. Liat besok…yang terjadi, terjadilah….VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-72321839667954935772009-10-09T02:27:00.001-07:002009-10-09T02:27:31.829-07:00PART THIRTEEN - PAGI ITU....MENYAKITKAN ( Part 2 - end )Damn, aku tau aku terlalu cepat mengambil keputusan bahwa dia akan berubah pikiran walaupun Bapaknya sudah bermimpi seperti itu. Aku terpaku, diam, hatiku langsung kosong seketika. Ingin aku segera pergi dari hadapan laki – laki yang sama sekali ga punya hati ini.<br /><br />“Kok diem Beb, hamil atau ga?”, tanyanya.<br /><br />“Ga”, jawabku spontan.<br /><br />“Oke. Aku percaya sama kamu. Aku Cuma ga mau kalau kamu hamil. Aku bingung gimana cara kasih makan anakku nanti”, ujarnya.<br /><br />“Kasih makan ya gampang, beli di warteg juga bisa”, ujarku.<br /><br />“Uangnya dari mana?”, tanyanya.<br /><br />“Kamu punya gaji kan? Buat apa kalo bukan buat makan. Oia, aku lupa, buat beli billing warnet di GEIM ya yang Rp. 300.000 / bulan trus beli premi, lupa gwe”, jawabku agak ketus.<br /><br />“Kok kamu ngomongnya gitu?”, tanyanya.<br /><br />“gitu gimana?”, tanyaku.<br /><br />“Ya gitu, seakan – akan aku salah”, ujarnya.<br /><br />“Lho, anggep gini deh. Anggep aku hamil, kamu bilang suruh gugurin ya kan? Karena kamu ngerasa kalo kamu ga bs ngasih makan anak kamu nanti, ya kan? Tapi kamu bisa beli billing Rp. 300.000 / bulan buat RF Online dan bisa beli premi Rp. 10.000 setiap hari kan? Ga mampu ya ngasih makan orang kalo kayak gitu?”, tanyaku.<br /><br />“Aku belum siap kalo kegiatan game ku terganggu”, ujarnya.<br /><br />“Wew….Ya udah. Go Ahead with your life lah….”, jawabku.<br /><br />Aku berdiri dan langsung berjalan meninggalkan Bho dikursi itu dan ga berharap dikejar sama sekali. Makin yakin hati ini kalau aku akan menjalani semuanya sendiri dan aku akan mempertahankannya walaupun ayah kandungnya sama sekali ga menghendaki kehadirannya.<br /><br />Tiba – tiba ada tangan yang menarik tanganku. Keseimbanganku goyah dan tanpa sadar, aku sudah berada dalam pelukan Bho. Dia memelukku erat tanpa mengeluarkan statement apapun. Tiba – tiba dia mengucapkan sesuatu padaku.<br /><br />“Kamu hamil kan beb?”, tanyanya untuk kesekian kali.<br /><br />“Ga”, jawabku sama seperti td.<br /><br />“Tapi kenapa omongan kamu sepertinya kondisi kamu kebalikan dari yang sebenarnya”, ujarnya.<br /><br />“Maksudnya?”, tanyaku.<br /><br />“Ya, kamu kayak sedang hamil”, ujarnya.<br /><br />“Sok tau….dah sana pulang”, jawabku.<br /><br />“Gak”, jawabnya.<br /><br />Dia melepaskan pelukannya disertai munculnya suara baru dari arah belakangku.<br /><br />“Ada apa Nak?”, tanyanya.<br /><br />Aku menoleh ke belakang dan yang bertanya padaku adalah ibu pemilik kost tersebut.<br /><br />“Ooo….ga papa bu, Cuma ada sedikit masalah”, jawabku.<br /><br />“Masalah apa Nak?? Ga boleh pagi – pagi ribut. Itu siapa?”, tanyanya.<br /><br />“Hmmm…ini…”, ujarku terbata.<br /><br />Tiba – tiba Bho berjalan ke arah Ibu itu dan memperkenalkan dirinya.<br /><br />“Pagi Bu, maaf saya mengganggu. Saya Aji, calonnya”, jawabnya.<br /><br /><i><i>“Haaaaaaaaahhhh…calon apa???”, tanyaku dalam hati.</i></i><br /><br />“Calon pacarnya atau calon suaminya Nak Aji?”, tanya ibu kostku.<br /><br />“Calon suaminya”, jawab Bho.<br /><br />Mendengar jawaban Bho..pusing, mumet, migrain campur jadi satu.<br /><br />“Sini..sini…masuk. Duduk ngobrol sama Ibu”, ajak si Ibu.<br /><br />Mendengar ajakkan si Ibu bikin aku mules2. Otomatis aku harus menjaga semua perkataanku, padahal kan tadi lagi seru – serunya ngomong. Duuhhh…<br /><br />“Ooo…jadi kamu itu calonnya Vie toh Nak?”, tanya si ibu meyakinkan.<br /><br />“Iyah, doakan ya Bu. Makanya tadi ada kesalahpahaman sedikit”, jawab Bho.<br /><br /><i>“Salah paham??? Siapa yang salah paham?? Salah paham dalam masalah apa??”, ujarku dalam hati, jangkel.</i><br /><br />“Ga papa, itu biasa”, jawab si Ibu.<br /><br />Saat itu, akhirnya si Ibu ngalor – ngidul tanya ini itu. Aku jadi bingung mau apa. Masalahnya aku sedang memikirkan bagaimana tindakanku selanjutnya. Aku tidak mampu kalau harus menggugurkan kandunganku. Lagipula, apa – apaan Bho bilang ke Ibu Kost kalo dia ‘Calon Suami’ ku??? Ini aja disuruh gugurin kok. Selagi percakapan si Ibu dan Bho semakin seru, aku memohon pamit sebentar.<br /><br />“Bu, maaf, Aku ke atas dulu ya?”, potongku.<br /><br />“Oia, kamu mau ikut ke atas nak?”, tanya si Ibu ke Bho.<br /><br />“Iyah bu, mau selesaiin masalah yg tadi”, jawab bho.<br /><br />“Sudahlah, silahkan silahkan”, kata si Ibu.<br /><br />Tanpa banyak basa – basi, aku langsung jalan cepet ke arah tangga untuk naik ke kamarku. Bho mengikutiku di belakang.<br /><br />“Beb, jangan cepet – cepet kenapa?”, serunya.<br /><br />Aku ga perduli, dia masih mengikutiku. Begitu aku sampai di tangga, aku segera menaikinya. Dianak tangga keberapa, aku merasakan sakit yang hebat di perutku dan aku merasakan ada yang mengalir di kepalaku. Aku berpegangan erat pada pegangan tangga.<br /><br />“Beb, kenapa siy buru – buru?”, tanya Bho.<br /><br />Begitu aku membalikkan badan, aku tak sadar bahwa darah sudah mengalir keluar dari hidungku. Bho panik. Dia langsung menggendongku ke kamarku. Aku hanya bisa menyuruhnya ini itu, ambil ini ambil itu. Setelah darahnya berhenti, aku Cuma bisa melihat bho terdiam disamping kasurku.<br /><br />Hari itu berakhir dengan pulangnya bho ke rumah setelah menemaniku seharian di kost. Dia bingung dengan keadaanku dan aku bingung dengan apa yang harus kulakukan. Apa aku harus jujur atau tetap memendam ini sendirian???<br /><br />Semuanya akan kuputuskan besok. Ya besok....huuuuffttt...VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-40798204533797745332009-10-09T02:26:00.000-07:002009-10-09T02:27:06.028-07:00PART THIRTEEN – PAGI ITU...MENYAKITKAN...( Part 1 )Pagi itu aku terbangun dan menyadari bahwa untuk tidur atau sekedar membicarakan hal – hal yang begitulah.ini bukan kamar kost-ku yang dulu. Bukan kamar tempat biasa aku dan bho menghabiskan waktu entah<br /><br />Kepergiannya semalam menyisakan perasaan yang membingungkan untukku.<br /><br />Kulihat kamar itu sekeliling, catnya yang pink menyiratkan perasaan yang berbeda dengan perasaanku saat itu. Aku terduduk di kasurku yang hanya setipis tikar, mengambil guling dan bersandar pada dinding dibelakangku. Aku memikirkan, <i><i>“apa yang harus kulakukan sekarang???”</i></i><br /><br />Pertanyaan itu berulang – ulang muncul di benakku. Kuberanjak dari kasurku, membuka tirai hijau kamarku, membuka jendelanya dan angin pagi berhembus memasuki kamarku. Ingin rasanya aku meraih Hpku dan mengirimkan sebuah sms untuk Bho sekedar mengucapkan <i>“Pagiiiii…dah bangun belum?”</i>, seperti yang sering kukirimkan ketika aku masih di Jakarta. Tapi rasanya buang – buang waktu. Aku tau apa yang akan terjadi apabila aku mengirimkan sms itu. Yang akan terjadi hanya kekosongan belaka, tidak akan ada balasan <i>“Pagiii juga beby….udah bangun kok”</i>, seperti yang selama ini kuterima seperti saat aku di Jakarta.<br /><br />Aku beranjak dari jendela itu, kembali duduk dikasurku yang tak mungkin dipakai Bho untuk tidur menunggu chip war malam RF Online.<br /><br />Seketika itu juga, aku teringat Kintan. Buku itu ada di sebelah kasurku. Kuraih dia, kubuka halaman demi halaman, kubaca lembar demi lembar, mengingatkan betapa bahagianya hidupku dl. Sifat Bho yang dulu takut banget kehilanganku, berubah menjadi sosok bho yang selalu ingin dimengerti. Ketika aku membaca lembar terakhir, Hpku berbunyi….<br /><br /><i><i>“Bho???, tumben???”, ucapku dalam hati.</i></i> Kuangkat.<br /><br />“Ya, ada apa Beb?”, tanyaku.<br /><br />“Pagi, gimana tidurnya??, tanya Bho….<br /><br />“Begitulah….”, jawabku setengah hati.<br /><br />“Kamu kenapa Beb? Kamu dimana?”, tanyanya.<br /><br />“Aku baik – baik aja. Aku di kamar. Kenapa?”, tanyaku<br /><br />“Aku di bawah…..turun sini”, ujarnya.<br /><br />“Ngapain dibawah???”, tanyaku kaget.<br /><br />“Turun sini, ga pake lama”, suruhnya.<br /><br />“Bentar”, jawabku yang diiringi suara terputus di Hpku.<br /><br />Aku segera mengganti bajuku, memakai parfum seadanya, membuka pintu kamar, pake sendal, lari ke kamar mandi, cuci muka trus turun ke bawah.<br /><br />“Aduuhhh!!”, pekikku ketika kurasakan perutku nyeri.<br /><br />Kuelus – elus perutku sambil berbicara dalam hati pada sesosok makhluk mungil di dalam sana..<br /><br /><i>“Bentar dd, bunda dipanggil ayah ke bawah. Bentar ya”</i>, ujarku<br /><br />Kuturuni tangga curam itu dengan hati – hati. Berjalan perlahan, mencoba menahan rasa sakit di perutku. Kulihat Bho menungguku di atas motor satria – nya.<br /><br />“Lama amat siy beb, ngapain dulu??”, tanyanya ketika aku dtg menghampirinya.<br /><br />“Hmmm…ganti baju, cuci muka, lagian jalannya juga pelan – pelan”, jawabku.<br /><br />“kenapa pake ganti baju segala?”, tanyanya.<br /><br />“Ga enak keluar pake baju tidur, kamu mau aku keluar pake tank top gitu? Mau aku diliat orang pake baju itu?”, tanyaku.<br /><br />“Ga lah…kalo ada yang liat, kucolok nanti matanya”, jawabnya.<br /><br />“Trus ngapain pagi – pagi dateng?”, tanyaku<br /><br />“Kok tanyanya gitu??? Dah betah ya kost disini? Ga kangen aku lagi?”, tanyanya.<br /><br />“Bukan gitu. Kamu kan biasanya ga nongol jam segini. Lagian kenapa kesini pake baju hansip siy?”, tanyaku.<br /><br />“enak aja baju hansip, ini seragam kantor. Dudutz”, jawabnya.<br /><br />“Ya aku juga tau itu seragam kantor kamu, tapi kok kayak baju hansip ya warnanya?”, tanyaku smbil mesem – mesem.<br /><br />“Kulang ajal ( Kurang ajar - pake logat cadel ), tau niy dari sana nya”, jawabnya sambil memegang tanganku.<br /><br />“Apaan ciy? Kamu ga kerja beb?”, tanyaku.<br /><br />“Ga. Tadinya dah mau berangkat, Cuma Kak Pi’u ga jadi berangkat. Kata dia ga usah, ya aku ga berangkat”, jawabnya.<br /><br />“Hmmm…selain jadi Hansip, merangkap kerja jadi supir juga ya?”, tanyaku sambil senyum.<br /><br />Bukannya ngomong sesuatu dia malah menarik tanganku, merangkul pinggangku, melingkarkan tangannya di pinggangku dan mencium lembut rambutku.<br /><br />“Gimana jadinya perut kamu? Dah mendingan beb?”, tanyanya.<br /><br />“hmmm…semalem iyah, tp tadi sakit lagi”, jawabku.<br /><br />“Mana sini kuelus”, ujarnya.<br /><br />Belum sempat aku mengatakan <i>‘ga papa’</i>, tangan kanannya sudah mengelus perutku. Pengen nangis rasanya, karena aku tau ini ga akan berlangsung lama.<br /><br />“Ada dedenya ya Beb?”, tanyanya.<br /><br />“Hah???”, tanyaku heran.<br /><br /><i>“apa dia sudah tau atau ada yang ngasih tau?? Tapi siapa??”, hatiku berbisik, panik ga karuan.</i><br /><br />“Iyah, kayak ada dedenya? Beb mau tau ga kenapa aku langsung kesini”, ujarnya.<br /><br />“Hah??? Kenapa kamu kesini??”, tanyaku.<br /><br />“Pindah ke bangku disana aja yuk?”, ajaknya.<br /><br />Aku pun mengangguk. Dengan tangannya yang masih melingkar di pinggangku, kami berjalan beriringan ke arah bangku tersebut. Dia menyuruhku duduk disampingnya.<br /><br />“Beb mau tau kenapa aku ga ganti baju dulu tapi langsung kesini?”, tanyanya.<br /><br />“Iyah”, jawabku.<br /><br />“Gini, aku semalem mimpi. Bapakku sembuh dari sakitnya. Kamu tau Bapak kalo ngomong susah kan?”, tanyanya.<br /><br />“Iyah, mang apa hubungannya?”, tanyaku.<br /><br />“Di mimpiku, Bapak bisa ngomong lancar lagi dan bilang ke aku kalo Bapak seneng karena dia mau dapet cucu laki – laki. Kamu tau kan kakak2ku anaknya perempuan semua?”, tanyanya lagi.<br /><br />“Iyah. Sapa tau kakak kamu hamil beb, anaknya laki – laki”, jawabku panik.<br /><br />“Ga mungkin, kata Bapak dia liat ibu dari cucu laki-lakinya dan pas dijelasin ma Bapak, itu mirip banget sama kamu”, jelasnya.<br /><br />“terus?”, tanyaku panik..<br /><br />“Sekarang aku mau tanya, kamu hamil atau ga?”, tanyanya.<br /><br />“Kalo iyah gimana? Kalo enggak gimana?”, tanyaku agak sedikit seneng karena kayaknya ada sinyal2 bagus.<br /><br />“Kalo enggak, ya ga pa pa. Kalo iya??”, dia berenti ngomong.<br /><br />“Kalo iyah kenapa?”, tanyaku.<br /><br />“Kalo iyah, aku mohon, gugurin”, ujarnya.VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1991761749486690419.post-34962441208493605282009-10-09T02:23:00.001-07:002009-10-09T02:23:30.460-07:00PART TWELVE - THAT DESICION MAKES ME.......( part 3 - end )WOW….<br /><br />Baiklah. Setelah mendapat informasi itu, aku segera pulang dan tidur nyenyak. Setidaknya aku berlega hati karena ga terlalu merasakan apa yang Bho rasakan.<br /><br />Keesokan harinya, Bho menepati janjinya untuk mengantarkan aku cari kost baru. Malam itu kami mencari di seputaran Jl. Juanda. Kami tak menemukan kost yang seperti kostku di Jl. Gatot Soebroto. Kemudian tibalah aku di Jl. Juanda 8. Aku menemukan kost yang aku mau, sebuah kost khusus wanita. Memang jauh dari yang Bho inginkan. Dia marah padaku malam itu. Sekembalinya kami di kost ku yang lama, dia menunjukkan rasa tidak sukanya.<br /><br />“Kenapa kamu langsung setuju aja siy?”, tanyanya.<br /><br />“Kenapa mangnya? Capek Beb keliling2 tapi ga nemu, aku gak sanggup…perutku…”, ujarku sambil menutup mulutku, takut keceplosan.<br /><br />“Kenapa perut kamu??”, tanyanya<br /><br /><i>“Mampus….mati gwe dya tanya lagi…”,hatiku berbicara.</i><br /><br />“Perutku tuh lagi ga enak. Lagi mules2 dari kemaren”, jawabku.<br /><br />“Masa? Kemaren kamu ga papa deh Beb”, ujarnya…<br /><br />“Beneran…ughhh”, jawabku sambil pura2 memegang perutku yang saat itu bukan mules tapi mual.<br /><br />“Beb, apa siy yang kamu sembunyiin dari aku??? Jujur deh”, ujarnya setengah memaksaku.<br /><br />“Ga ada apa2….kenapa siy beb??”, tanyaku.<br /><br />“Aku bingung. Aku mendadak suka, cenderung doyan makanan yang selama ini ga aku suka, nafsu makanku ga terkendali, dipikiranku Cuma ada kamu kamu dan kamu. Aku juga ga tau kenapa setiap aku bonceng kamu naik motor, perasaanku bilang kalau aku ga boleh bawa kamu naik motor kenceng2..ada apa siy beb?”, ujarnya dengan nada yang agak tinggi walaupun masih terdengar lembut buatku.<br /><br />“Itu Cuma pikiran kamu aja”, jawabku.<br /><br />“Ga..ga mungkin. Trus kamu kenapa pilih kost yang khusus cewek siy? Kamu ga suka aku dtg ya?”, tanyanya.<br /><br />“Enggak..aku suka kamu dtg. Cuma aku capek kalo harus kesana kemari tapi ga nemu. Perutku sakit Beb”, ujarku yang hampir menangis.<br /><br />Melihatku yang sudah setengah menangis, Bho memelukku. Memelukku erat. Memelukku erat sekali. Kemudian dia mencium keningku berulang – ulang. Kemudian dia menangkupkan tangannya diwajahku yang masih merah bengkak krn masih sesegukan nangis. Dia menatapku lama…kemudian mencium bibirku…lama….dan aku tidak merasakan ada gairah disana tapi aku merasakan rasa sayang dan rasa memohon seakan – akan dia ingin tau apa yang sedang kurasakan dan kusembunyikan. Setelah dia selesai menciumku, tangannya tetap menangkup wajahku dan dia mengatakan sesuatu padaku.<br /><br />“Beb, aku ga tau apa yang kamu sembunyiin dariku. Kamu tau aku gelisah pengen tau. Aku juga tau kalo kamu lagi gelisah. Aku peluk kamu, aku cium kamu, tapi kamu tetep ga mau bilang. Kamu kenapa?”, tanyanya.<br /><br />Ingin rasa hatiku mengatakan…<i>”Aku hamil chayank”</i>..dan berharap dia bahagia mendengarnya dan kembali memelukku erat. Tapi itu Cuma bayangan di pelupuk mataku yang akhirnya makin memperderas aliran air mataku. Bho heran melihatku kembali menangis…kembali memelukku sambil mengatakan sesuatu…<br /><br />“kalau kamu ada masalah, kamu cerita!”, ujarnya.<br /><br />“kamu ada masalah beb?”, tanyanya.<br /><br />Aku hanya bisa menggeleng perlahan…<br /><br />“Trus kenapa??”, tanyanya.<br /><br />“Aku sayang kamu Beb”, jawabku sambil memeluknya erat. Aku memeluknya erat seakan – akan aku tahu bahwa dia bukan untukku.<br /><br />“Aku tau kamu sayang aku, beb. Tapi ada apa? Ngomong?”, desaknya.<br /><br />“Ga..ga papa. Mungkin Cuma karena kangen aja”, jawabku masih sambil menangis.<br /><br />“Kangen??? Kamu kangen aku sampe nangis gini? Trus kenapa pilih kost itu?”, tanyanya.<br /><br />“Karena aku capek keliling2 Samarinda, cari yang kayak kost ini ga ada. Perutku sakit Beb!”, ujarku.<br /><br />“Perut kamu kenapa? Kamu kemaren ga kenapa2, knp bs sakit sekarang?”, tanyanya.<br /><br />“Ga tau”, jawabku<br /><br />“Ya dah, sini….”, ajaknya.<br /><br />Bho duduk di kasur ku dan dia menyuruhku duduk dipangkuannya. Aku tak kuasa menolaknya karena aku memang butuh ketenangan. Setelah aku duduk di pangkuannya, dia kemudian menghapus air mataku dan mencubit hidungku.<br /><br />“Arrgghhhh….”, erangku.<br /><br />“Kenapa?”, sambil setengah ketawa.<br /><br />“Mampet Beb…abis nangis malah dipencet idungnya”, jawabku setengah manyun.<br /><br />“Udah2….muuv ya kalo aku tadi bentak – bentak kamu. Jujur, aku ga mau kehilangan momen kayak gini Beb. Jujur, aku Cuma bisa tidur nyenyak di kasur kamu. Walaupun kasur dirumahku lebih bagus, Cuma aku lebih bahagia tidur di kasur kamu”, ujarnya.<br /><br />“Kenapa begitu?”, tanyaku.<br /><br />“Aku ngerasa dijagain, disayang….makanya aku sebel kamu pilih kost itu sampe kasih DP segala. Kita bisa cari kost yang lain besok Beb”, ujarnya.<br /><br />“Muuv, tapi aku ga kuat. Perutku sakit. Ga sanggup kalo harus naik motor lama2”, jawabku.<br /><br />“Perut kamu kenapa siy Beb?”, tanyanya sambil mengusap – usap perutku.<br /><br />Hiks……tangisku meledak lagi ketika dia mengelus perutku. Saat itu aku hanya berpikir dan berkata dalam hati. Aku mengatakannya kepada sesosok makhluk hidup yang ada diperutku.<br /><br /><i>“Nak, itu tangan ayah lg elus perut bunda. Inget ya chayank, ayah juga sayang kamu”</i><br /><br />Aku mengatakannya seolah – olah benar bho sayang sama janin yang ada di perutku. Entah si kecil bisa merasakan atau tidak, yang jelas aku sudah mengatakannya bahwa ayahnya sayang.<br /><br />“Kamu kenapa siy beby???”, sambil menarik wajahku supaya aku melihat wajahnya.<br /><br />“Ga papa…..ga papa”, jawabku.<br /><br />Akhirnya Bho menyerah untuk mendesaknya mengatakan yang sebenarnya. Malam itu kami berkemas untuk membereskan semua barang2ku di kost lama. Aku pindah malam itu juga.<br /><br />Dia mengantarkanku ke kost baruku. Dia merasa bahwa dia tidak akan bisa mendapatkan apa yang selama ini dia inginkan, sebelum pulang, dia menciumku di depan kamar kostku sambil memelukku erat. Kemudian mencium bibirku sekali lagi, membuatku meleleh lagi kemudian ia menyudahinya dengan mencium keningku.<br /><br />“Beb, aku pulang dl. Kamu jangan khawatir sama aku ya, aku baik2 aja”, ujarnya.<br /><br />“Iyah…..”, jawabku lemas.<br /><br />Aku melihat kepergiannya dengan hati yang tak menentu. Entah hati bahagia atau sedih dengan semua keputusan yang kuambil, tapi aku mulai belajar meng-ikhlaskan segala sesuatu yang akan terjadi di hari – hari depan.<br /><br />Malam itu, ketika aku membereskan semua pakaianku ke dalam lemari, aku melihat Kintan. Sahabat lamaku yang selama ini kuabaikan. Dia tampak kusam, tak terawat. Aku kembali menangis melihat dan mengingat semuanya. Kupeluk Kintan erat – erat dan aku mulai membaca semua yang kuceritakan dari awal sampai lembar terakhir. Tangisku semakin menjadi dan aku mengakhiri malam itu dengan tangisan demi tangisan dan akhirnya aku tertidur.<br /><br />Aku tak tau apa yang terjadi setelah itu….andai aku tau akan pahit rasanya, aku pasti tidak akan melakukannya…..<br /><br />Semua itu pasti ada hikmahnya…..tapi selanjutnya…aku tau…semakin aku mencintainya…semakin aku tau bahwa aku bukan wanita tegar yang bisa menelan apapun sendirian. Aku butuh dia….benar – benar butuh dia…VieNaWonkhttp://www.blogger.com/profile/09909990160167939532noreply@blogger.com0