Rabu, 02 Desember 2009

aku mendengar apa yang dibicarakan dengan perasaan tak menentu. Ketika kakakku menanyakan tentang apa yang Wonk utarakan kepada keluargaku, membuat otakku berhenti berpikir seketika.

“Han, kok diem siy? Gimana? Tuh Wonk nunggu jawaban”, tanya kakakku.

Aku hanya bisa menundukkan wajahku. Entah malu atau aku benar – benar tak kuasa menatapnya. Sampai beberapa kali kakakku menegurku, baru aku berani menjawab semuanya, sesuai kata hatiku.

“Han....gimana?”, tanya kakak laki – lakiku.

“Hmmm....maaf ya semuanya. Maaf Wonk. Aku tau niat kamu baik banget. Aku juga ga tau kalau kamu bisa punya keinginan sebesar ini untuk jadiin aku...mm...pendamping kamu. Tapi aku..”, jawabku tertahan.

“Kenapa Han?”, tanya Wonk.

“Ga papa....cuma”, jawabku ragu sambil melihat ke sekelilingku.

Tiba – tiba entah ada angin apa, kakak perempuanku mengatakan sesuatu.

“Han, Mba sama Mas – Mas pamit ke ruang makan ya. Kamu sama Wonk ke teras atas aja. Kalian bicarakan ini berdua. Kami cuma bisa berharap semuanya akan berjalan sesuai apa yang kalian kehendaki. Yang terbaik buat kamu Hanna, terbaik juga buat kami. Kami ingin lihat kamu bahagia, gak kayak gini”, ujar kakak perempuanku.

Kemudian kakak laki – lakiku dan semua yang ada disitu beranjak pergi ke tempat tujuannya masing – masing dan meninggalkanku dengan Wonk yang terdiam tanpa suara.

“Han, ayo kita ke teras atas. Bicarakan semuanya, mau kan?”, tanyanya.

“Iyah....”, jawabku.

Aku segera mengajaknya ke teras atas atau lebih tepatnya balkon besar di lantai 2 rumahku. Aku mengajaknya duduk disitu.

“Wonk, tempat ini dah jadi saksi bisu masa kecil, remaja dan dewasaku. Semua terkubur disini. Entah aku bisa mengaisnya lagi atau ga. Tapi setiap aku kembali kesini, kenangan akan Ibu, Ayah dan suasana masa kecilku kembali lagi dan aku merindukan itu Wonk”, ujarku membuka pembicaraan diantara kami berdua.

“Tapi itu masa lalu, Hanna. Sekarang kamu sedang dihadapkan dengan satu masa, dimana masa itu akan jadi masa depan kamu dan aku ga mau kamu lewatin semuanya sendiri”, jawabnya.

“Wonk, sendiri atau ga sendiri, rasanya sama”, jawabku.

“Kamu mengharapkan si Bho itu bertanggung jawab atas semuanya? Kamu bilang kalo kamu dah tau apa jawabannya. Sekarang aku tanya, apa jawaban dia setelah tau kamu hamil?”, tanya Wonk.

Aku hanya bisa terdiam ketika Wonk menanyakan hal itu padaku. Wonk menghampiriku.

“Han, Aku ga pernah sedikit pun punya niat untuk mengambil keuntungan atas apa yang dah terjadi sama kamu. Aku juga ga bahagia diatas penderitaan siapa pun. Toh kenyataannya memang laki – laki itu ga menderita, justru kamu yang menderita mikirin dia sepanjang hari tapi apa dia mikirin kamu Han??”, tanyanya.

“Memang ga...tapi....”, jawabku.

“Kamu tau jawabannya tapi kenapa kamu ga berusaha tunjukkin ke dia kalo kamu bisa maju selangkah tanpa dia, Han?”, jawab Wonk.

“Ada di bagian hatiku yang bilang kalo dia sebenernya masih pengen care sama aku, Wonk. Tapi karena aku hamil, dia buang jauh – jauh semuanya”, jawabku.

“kalo memang dia care, paling ga, dia.......susah. Sekarang gini, kamu mau tunggu sampai kapan si laki – laki itu?”, tanyanya.

“Ga tau.......tapi kamu...”, jawabku.

“Aku??? kamu tanya aku, Han?”, tanyanya.

“Iyah, kamu kenapa bilang kayak gitu sama keluargaku? Apa keluarga kamu mau terima aku?”, tanyaku.

“Han, Apa yang terbaik buatku, keluargaku mendukung. Aku melakukan ini juga atas persetujuan si Mama. Aku sayang kamu dan makhluk – makhluk kecil yang ada di perut kamu, Han. Aku berani lakukan apapun buat mereka. Aku ga mau mereka disakitin siapa pun, sampai mati aku ga mau liat kamu dan mereka menderita. Aku mau liat kamu, mereka, kita bahagia, Han. Bangun keluarga kecil yang bahagia”, jawabnya.

“Kenapa kamu bisa sampai se-gila ini siy? Salahku apa sama kamu?”, tanyaku.

“Kamu ga punya salah apa pun Sayangku...ga ada. Kamu terlalu baik untuk diperlakukan seperti ini. Aku tuh bener – bener sayang sama kamu, Han. Terlepas dari apapun yang sudah terjadi, aku akan tetep sama Han, sayang sama kamu”, jawabnya meyakinkanku.

Aku menatapnya dengan perasaan yang tidak menentu.

“Terus mau kamu apa sekarang?”, tanyaku.

“Keinginanku sama seperti hari ini, kemarin, sebulan lalu…aku mau kamu jadi pemdampingku”, jawabnya.

“Tapi, aku…keadaanku tuh kayak gini Wonk”, jawabku.

“Keadaan kamu kayak apa? Sekarang aku Tanya….”, tanyanya.

“Iyah, hamil….kamu ga malu apa?”, tanyaku.

“Malu kenapa?”, tanyanya.

“Ya malu. Apa kata semua keluarga kamu, semua temen – temen kamu nanti tentang aku, Wonk”, jawabku setengah menahan tangis.

“Ga. Aku ga malu. Kalau keluarga, kan sudah kubilang kalau mereka menerima apapun keputusanku. Kalau teman – temanku, aku udah ngomong kok. Semuanya mendukungku karena mereka tau kalau Cuma kamu yang aku mau dan Cuma kamu yang bisa bikin aku seneng Han”, jawabnya.

“Kenapa bisa begitu?”, tanyaku

“Ya, karena Cuma kamu satu – satunya perempuan yang bisa bikin aku ga pengen mencari – cari lagi. Semua yang aku mau ada di kamu. Cuma 1 stocknya Han….aku ga mau ke duluan orang. Aku mau jadi laki – laki beruntung itu, laki – laki beruntung yang bisa dapet wanita seperti kamu”, jawabnya terlihat sungguh – sungguh.

“Tapi..ga bisa sekarang Wonk untuk wujudin apa yang kamu mau. Aku belum mampu, belum mampu lupain semuanya”, jawabku.

“Aku paham, tapi pintu itu terbuka untukku kan??? Aku akan buat kamu lupa semua apa yang dah kamu rasain sekarang”, jawabnya

“Hmmm…..aku ga mau kamu nyesel”, jawabku.

“Ga..sumpah, Aku ga akan nyesel. Ok? Gini deh..mungkin aku juga terlalu membebani kamu dengan kata ‘istri’. Kalo gitu….hmmm…”, ujarnya.

“Kenapa?”, tanyaku sambil menatapnya.

“Hmmm….klo gitu, kamu mau kan jadi pacarku? Kita jalanin semuanya dari awal. Aku tau kita terutama kamu bisa lewatin ini semua. Kamu mau kan?”, tanyanya.

Aku terdiam cukup lama, memikirkan semuanya. Sepertinya dia pun cukup paham dengan keadaanku dan sikap diamku saat itu. Aku takut untuk memulai semuanya tapi apa yang kami bicarakan sebelum ini memang keadaan yang sesungguhnya. Aku pun memutuskan untuk maju selangkah, setidaknya aku tidak meratapi yang sudah terjadi, tapi mencoba untuk bangkit.

“Wonk…..”, aku memanggilnya.

“Ya…..”, jawabnya.

“Hmmm…setelah mempertimbangkan semuanya. Apa yang udah kamu, kita omongin tadi memang bener. Aku ga mau stuck disitu – situ aja. Aku mau maju selangkah demi selangkah Wonk…”, jelasku.

“Iyah..kamu harus semangat Han…terus”, jawabnya seperti menantikan sesuatu.

“Terus…..aku akan coba jalanin semuanya sama kamu, Wonk”, jawabku.

Wonk lama menatapku. Aku melihat kegembiraan di wajahnya tapi aku takut itu Cuma halusinasiku saja. Tiba – tiba Wonk berdiri dan berjongkok setengah jinjit dihadapanku.

“Han, Aku seneng banget kamu bilang kayak gitu. Kamu mempertimbangkan semuanya, kamu mau bangkit bareng – bareng aku. Makasih yaaa….aku pasti akan jadi laki – laki sekaligus calon ayah yang paling bahagia, sumpah !!”, jawabnya sambil meremas jemari tanganku.

“Bokis Loooooo”, jawabku.

“Jiaaaahhh…tadi dah serius – serius sekarang keluar lagi deh aslinya”, jawab Wonk.

Aku hanya bisa tersenyum, senyum paling manis yang kuberikan kepada Wonk hari itu.

Aku dan Wonk turun dan membicarakan tentang keputusan yang sudah kami bicarakan dan setujui berdua.

Setiap hari, kulalui semuanya bersama Wonk. Jujur saja, aku mulai melupakan luka yang sudah dibuat oleh Bho di hatiku. Aku mulai melupakannya. Aku merasa Wonk lah yang ayah dari anak – anakku, walaupun setiap aku memikirkan semuanya, aku tersadar bahwa dia bukan ayah dari anak – anakku tapi aku bahagia kalau seandainya anak – anakku memiliki ayah seperti Wonk.

Wonk selalu memanggilku ‘Bunda’ dan aku pelan tapi pasti mulai memanggilnya ‘Ayah’.

Aku bangga padanya yang mampu menerima keadaanku yang sudah berantakan.

Perutku makin hari makin membesar. Bebanku pun semakin berat. Rasa sakit akibat APS ku terkadang datang menyiksaku tapi Wonk selalu ada untuk menenangkanku. Dia pun mulai merasa kalau tempat tinggalku terlampau jauh. Tanpa sepengetahuanku, ia mencarikanku sebuah kost untuk kutinggali di dekat tempat kerjaku. Aku terpana dengan semua yang ia lakukan untukku sampai akhirnya aku merasa malu karena begitu besar yang sudah ia lakukan namun aku belum merasa yakin bahwa dia serius dengan apa yang dia ucapkan.

Apa yang sudah Bho lakukan membuatku menjadi seorang yang idiot jika harus merelakan Wonk pergi dari hidupku.

Berbulan – bulan berlalu, hari berganti hari. Aku mulai membiarkan Wonk hadir dalam hidupku dan membiarkan ia keluar masuk pintu hatiku. Sampai tiba saat yang menentukan semuanya.

14 September ….

“Bun, dah makan lom?”, Tanya suara itu diujung sana.

“Belum, tau niy. Perutnya mules terus. Kontraksi terus”, jawabku.

“Ya dah, Ayah kesana sebentar lagi. Ini dah siap – siap”, jawabnya.

Ya, itu percakapanku pagi itu dengan Wonk di telpon. Aku kebetulan sudah tinggal di rumahku karena mengingat kondisiku yang sudah mulai masuk bulan ke – 7.

Entah mengapa, di minggu ke 28 kehamilanku, aku merasakan ada sesuatu yang mencurigakan. Sepertinya, baby – baby mungilku ini mendesak ingin cepat – cepat melihat dunia yang indah ini.

2 jam kemudian, Wonk sampai dirumahku didampingin oleh kakakknya.

“Bun, yuk berangkat ke rumah sakit, diperiksa, Ayah takut kenapa – kenapa si kecilnya”, ajak Wonk.

Aku pun mengikuti apa yang Wonk minta. Kami langsung berangkat ke rumah sakit dan untungnya, kami tidak perlu menunggu terlalu lama untuk masuk ruang periksa.

Dokter pun memeriksa semuanya, membandingkan kondisiku sebelumnya berdasarkan Buku Periksa dari Sebuah Rumah Sakit Bersalin di Depok dengan rumah sakit di daerah rumahku. Beliau mengatakan aku mengalami apa yang dinamakan Eclampsia atau Gangguan Pada Plasenta. Ini berasal dari Anti Phospholipid Syndrom yang selama ini ada ditubuhku. Aku beruntung karena aku tidak mengalami keguguran tanpa sebab. Tapi Eclampsia ini saja sudah membuatku dan Wonk ketar ketir.

Setelah dipertimbangkan, aku akhirnya harus stay di rumah sakit tersebut agar dapat diawasi segala sesuatunya.

Tapi makin lama, kontraksinya makin hebat. Klimaksnya adalah keluarnya air ketubanku. It’s mean, ketubannya pecah. Wonk sedang keluar saat itu terjadi. Wonk keluar untuk membelikanku makanan karena memang belum ada makanan yang masuk pagi itu.

Aku pasrah, aku langsung memanggil susternya dengan menekan tombol panggilan di samping tempat tidurku.

Mereka langsung bertindak secepatnya. Tapi aku merasa kehilangan sesuatu…Aku kehilangan Wonk. Saat itu aku sadar kalau hanya dia yang kubutuhkan, aku butuh dia. Aku gak butuh Bho…Aku butuh Wonk. Dengan kondisi yang seperti ini, aku hanya bisa menangis. Aku merasakan tubuhku mulai melemah, aku hanya bisa memanggil – manggil Wonk dalam hatiku. Aku mengharapkan dia mendengarku..

‘Yah..plisss…cepet kesini. Bun ga kuat’……

0 komentar:

Posting Komentar