Rabu, 27 Januari 2010

MY SAVIOR WONK

Menunggu kepulangan Wonk, membuatku berpikir bahwa dia bukan laki – laki biasa, tapi lebih dari itu.

Rasanya aku tidak bisa membandingkan Wonk dengan Bho.

Bho, anak laki – laki yang bisa mendapatkan apa saja kalau dia mau. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil yang pastinya mempunyai pekerjaan tetap. Setidaknya, tidak begitu berat untuk menghidupi istri dan anak – anaknya. Aku mungkin belum begitu tahu tentang bagaimana keluarga Bho, tapi Bho masih jauh lebih beruntung dari Wonk.

Wonk, anak ke 8 dari 9 bersaudara. Dia berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya bukan seorang pegawai kantoran. Ayahnya hanya seorang penjual buah – buahan dan dengan hasil berdagang nya itulah, ia memberi nafkah istri dan anak – anaknya. Menyekolahkan anak - anaknya, mendidik mereka, hingga mereka sukses dan jadi orang – orang yang lebih baik. Yang membuatku bahagia, Ayah dan Ibu Wonk, mampu menyekolahkan semua anak – anaknya. Punya 9 orang anak dan semuanya berhasil sungguh membuatku salut.

Aku tidak malu dengan semua itu, justru aku bahagia dan bangga bahwa Wonk tidak merasa kecil hati dengan semua itu.

Aku pernah menelpon dia saat dia ingin berangkat ke warung tempat ayahnya berjualan dan ia tidak malu mengatakan padaku kalau ia ingin membantu ayahnya disana.

“Ayah lagi jalan ke warung mau bantu Bapak”, ujarnya.

“Bapak jualan apa?”, tanyaku.

“Buah….kenapa?”, tanyanya..

“Ga papa….”, jawabku.

“Bapak memang jualan buah dari dulu. Ya, kita semua sekolah, makan dari hasil Bapak jualan buah. Bun ga malu kan?”, tanyanya.

“Ga..ga malu. Bun seneng kok. Setidaknya Bapak menafkahi anak – anak dan istri nya dengan cara yang halal”, jawabku.

“Ya, makanya…Ayah ga berat kalau harus bantu Bapak, karena Ayah bisa kayak sekarang juga karena buah – buah itu”, ujarnya.

“Hmmmm..yang semangat ya jualannya Chayank!!”, jawabku.

“Pasti! Maaf ya chayank, kalo Ayah kayak gini…”, ujarnya.

“Kenapa? Bun terima Ayah apa adanya. Bun ga liat itu semua. Pokoknya Bapak hebat. Ntar Bun boleh kan bantu – bantu di warung?”, tanyaku.

“Banget, boleh banget sayang….makasih ya Chayank”, jawabnya.

“Sama – sama, kembali kasih”, jawabku disambut suara tawanya yang khas.

Aku memang tidak mengharapkan someone yang punya babat, bebet, bobot. Menurutku itu tidak terlalu penting. Yang penting Cuma isi hati seseorang aja.

Aku ga terlalu memikirkan semuanya sekarang.

Kalau ingat dulu, waktu SMU, kadang kita hanya berpatokan pada fisik seseorang saja untuk menentukan pantas atau tidaknya orang tersebut jadi orang paling special dihati. Tapi, makin lama, tampaknya, cara pikir tersebut terlalu picik.

Bho….A Man with a Good Persona…..tapi kurang punya pendirian. Entah pengaruh sifat, zodiac, atau memang trauma masa lalu, tapi aku bersyukur…dia bukan jodohku. Tak terpikirkan olehku jika memang dia bertanggung jawab atas apa yang terjadi padaku tetapi masih tetap stuck di rutinitas yang sama, aku pasti sudah berubah jadi zombie. Tapi aku yakin, dia akan berubah jadi ayah yang baik untuk anak – anaknya nanti dengan seseorang, bukan anak – anakku.

Wonk, sudah lebih dari cukup untukku. Dia ayah yang baik untuk anak – anakku. Menerima Rhama dan Dewa – ku layaknya darah dagingnya sendiri. Kala melihatnya bermain dengan anak – anak, memanggil mereka dengan sebutan ‘anak ayah’, membuatku merasa aku tak perlu mencari atau pun berharap ‘ayah kandung’ dari anak – anakku mencariku untuk mempertanggung jawabkan semua.

Seperti suatu ketika, Wonk sedang menenangkan Dewa ketika menunggu giliran untuk mandi…aku merasa, Wonk lebih dari segalanya..

“Kenapa anak Ayah nangis??? Sabar sayang, Bunda Cuma punya 2 tangan. Abis ini giliran Dd ya ( panggilan sayang Wonk untuk si kecil Dewa ). Masa anak Ayah nangis”, ujar Wonk pada Dewa yang masih menangis di pelukannya.

Aku melihat dari jauh…merasa….merasakan perasaan yang sulit kuungkapkan.

Akhirnya Dewa pun tenang di pelukan Wonk.
Ketika Rhama suda selesai mandi, aku mengambil Dewa dari dekapan Wonk. Seketika Dewa pun menangis. Akhirnya, Wonk lah yang memandikan Dewa. Lama kelamaan, Rhama dan Dewa sulit terpisahkan dari seorang laki – laki bernama Wonk.

Melihatnya bercanda, memberikan makan, bahkan menidurkan mereka..membuatku berpikir, aku terlalu bodoh jika melepaskan Wonk.

Aku sudah memilih jalanku sendiri dan ini adalah keputusan yang terbaik untukku. Aku menyayangi dan mencintai Wonk sepenuh hati. Memikirkan bahwa jodoh kita sebenarnya selalu ada di depan mata membuatku bersyukur, Tuhan menyadarkanku ketika aku bertemu Wonk, nobody else.

Rasa ini tumbuh atas namanya, bukan orang lain.

He’s My Savior….He’s The One….My Only One….

Mudah – mudahan, buat semua yang dah baca thread saya, cepet bisa ketemu sama soulmate nya ya…

Coz it’s so….Wonderfull……

Masa itu kini sudah terlewati. Kakakku bercerita tentang semuanya begitu aku dapat kembali melihat orang – orang yang kusayangi.

Aku tersadar dari tidurku dengan wajah orang yang paling kusayangi sedang memandangiku tersenyum, namun ada airmata disudut mata itu. Dia adalah Wonk. Kata yang keluar dari bibirnya saat itu hanya,..

‘Plizzz….jangan pernah tinggalin ayah lagi’….

Aku hanya bisa terdiam, tersenyum namun dilubuk hatiku yang paling dalam, aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan.

‘Apa benar dia betul – betul menyayangiku seperti ini?? Apa benar ini terjadi padaku?’

Ditengah suasana yang mulai terasa haru, semua bayangan terasa blur. Sepertinya aku hanya terfokus pada Wonk. Dia begitu baik menerima semuanya. Tersadar oleh pandanganku, dia pun menghampiriku.

“Kenapa dari tadi ngeliatin terus? Ga kenal sama Ayah?”, tanyanya.

“Kenal”, jawabku.

“Trus kenapa diliatin terus Ayahnya? Kangen?”, tanyanya.

“Kangen….kayaknya dah lama ga liat Ayah, ga denger suara Ayah”, jawabku.

Wonk hanya tersenyum. Dia menceritakan padaku tentang hari itu. Setelah aku melahirkan anak – anakku, terjadi perdarahan yang hebat. Didukung dengan kondisi fisikku yang lemah dan ada masalah juga dengan kehamilanku, aku kehilangan kesadaranku. Wonk berkata, aku tak sadar selama 3 hari.

“Ayah, ngapain selama 3 hari? Disini?”, tanyaku.

“Nungguin Bun”, jawabnya.

“Nungguin apa? Mang kalo nungguin Bun dapet hadiah apa?”, tanyaku

“Nungguin Bun sadar. Bun lama banget bangunnya. Ayah smpe ga sabaran. Hadiah buat Ayah dah ada, manis – manis kayak Bundanya Ayah. Tapi kalo Bundanya ga bisa sama – sama Ayah, Ga akan sama rasanya”, jawabnya.

“Kenapa?”, tanyaku.

Kemudian wajah Wonk menghampiri wajahku, dan dia membisikkan sesuatu di telingaku.

“Bun tuh segalanya buat Ayah. Ga ada Bun, rasanya ga akan sama. Bun cuma satu – satunya yang Ayah punya selain anak – anak. Ayah ga akan pernah mau kehilangan Bun karena Ayah sayang banget sama Bun”, ujarnya di telingaku.

Aku hanya bisa menangis mendengar semuanya. Menangis dan entah mengapa, bayangan Bho dihatiku mulai menjauh dan menjauh. Melihatku menangis, Wonk mengusap wajahku dan berusaha menenangkanku.

“Dah ahh..jangan nangis, Jelek. Bun Ayah nanti jelek kalo nangis”, ujarnya.

“Mang Bun jelek…”, jawabku ditengah tangisku.

“Jangan gitu ah...Bun Ayah tuh cantik banget. Perduli amat orang bilang Bun kayak gimana. Buat Ayah, Bun segalanya, ga bisa dituker sama apapun. Kalo tiba2 si Aji datang minta Bun, minta anak2, ga akan Ayah ijinin”, ujarnya.

Mendengar segala penuturannya, mengetahui dia begitu menerima semuanya, aku rasanya sudah menemukan tujuan hidupku.

Aku, hari itu benar – benar bisa melihat buah hatiku yang entah bagaimana, begitu tampak mengenalku. Matanya yang mungil, yang belum bisa mengenali keadaan disekitarnya, seakan – akan berkata padaku,

‘Bunda, Aku sayang banget sama Bunda’….

Mereka mungil, Aku melihatnya dari luar ruangan itu. Mereka berada di dalam inkubator. Entah apa perasaan mereka saat itu, tapi aku merasa bahwa aku menang. Menang melawan semua rasa cemasku, menang melawan rasa sakitku, sakit yang entah berapa lama kurasakan.

Tapi kini, melihat Wonk disampingku, melihat anak – anak yang kuperjuangkan dihadapanku, aku merasa menang terhadap Bho. Aku ga akan rela dia ambil apapun dariku, termasuk anak – anakku.

Aku akan berjuang dengan sekuat tenagaku menjaga apa yang sudah Tuhan berikan untukku, sejak hari itu, aku merasakan ada semangat yang baru, dan aku tahu…

“Yah…..”, panggilku kepada Wonk ketika melihat mereka.

“Iya sayang….”, jawab Wonk sambil memelukku dari belakang kursi rodaku.

“Bun jadi Ibu ya Yah?”, tanyaku.

“Iyah…Itu anak – anak kita Bun. Bun dah jadi Bunda, Ayah dah jadi Ayah dari jagoan – jagoan Ayah. Kenapa?”, tanyanya.

“Bun seneng. Jangan tinggalin Bun lagi”, jawabku.

“Ga akan…Ayah bodoh kalo Ayah tinggalin Bun. Bun Nyawa Ayah”, jawabnya sambil mencium pipiku.

Hari itu, aku menjadi manusia paling bahagia, mungkin Wanita paling bahagia….

Hari itu, aku dan Wonk sepakat menamakan mereka Rhama Putra Auliansyah Hakim dan Dewa Putra Auliansyah Hakim. Ada nama Bho di dalam nama anak – anakku dan Wonk menyadari itu. Dia merasa cukup berbesar hati awalnya, tapi lambat laun, aku merasa bahwa Wonk tidak menginginkan nama itu dan ia mengatakannya padaku.

“Bun, Ayah mau ngomong sesuatu”, ujarnya.

“Ya..mau ngomong apa?”, tanyaku.

“Bun, kalau suatu saat nanti Bun dah bias terima Ayah, Ayah mau nama anak – anak diganti. Jangan ada Bho lagi dalam hidup kita, Bun. Maaf kalo Ayah egois, tapi Ayah sama sekali ga mau ada kenangan Bho lagi”, ujarnya.

“Iyah..Bun Paham…Ayah yang sabar ya. Maafin Bun”, jawabku

Wonk hanya mengangguk dan tersenyum penuh arti.

Hari berganti hari….Minggu berganti minggu dan entah kenapa, semua tampak sempurna buatku.

Sampai Wonk harus pergi ke Kuala Lumpur, Malaysia untuk menjalankann tugasnya. Tapi aku tidak merasa kesepian. Dia tetap selalu ada untukku. Aku pun mulai menyibukkan diri dengan melakukan apapun untuk mengisi hariku agar ketiadaan Wonk tak begitu terasa, tapi dia selalu ada dihatiku.

Sampai suatu ketika, Wonk menelponku mengatakan hal yang dulu dia tanyakan padaku.

“Bun, kali ini, Ayah bener – bener mau Tanya yang waktu itu pernah Ayah Tanya sama Bun”, ujarnya.

“Tanya apa?”, tanyaku.

“Bun mau kan jadi istri ayah? Jadi pendamping Ayah? Temenin Ayah seumur hidup Ayah? Ayah butuh Bun”, tanyanya.

Aku terdiam dan aku hanya bisa menangis. Rasanya, Aku akan merasa sebagai wanita tolol kalau aku menolak Wonk. Mengetahui apa yang sudah dia lakukan untukku, anak – anakku..dan akhirnya aku berani menjawabnya dengan segala resikonya.

“Ya…Bun mau!”, jawabku.

Jawabanku disambut dengan ucapan yang tak kumengerti. Mulai detik itu, Aku jauh lebih bahagia dari hari – hari kemarin.

Hari ini….

Hari ini, semua ketakutanku mulai sirna. Ketakutan akan hadirnya Bho kembali dalam hidupku dan anak2ku mulai benar – benar hilang. Wonk akan segera kembali ke Indonesia dengan perasaan yang ‘luar biasa bahagia’ katanya.

Persiapan tentang hari dimana jadi akhir dari penantianku akan segera tiba. Entah mengapa, aku gelisah. Gelisah namun ‘Bahagia Luar Biasa’

Rabu, 02 Desember 2009

Satu persatu mulai mempersiapkan semuanya. Mereka mulai menyuntikkan sesuatu ke tubuh ku dan memerintahkan au untuk melakukan ini dan itu. Dibenakku saat itu hanya ingin Wonk ada di sampingku.

Saat itu, aku hanya mau dia…..

Kondisi tubuhku mulai tidak stabil. Aku bilang ke salah satu suster yang membantuku untuk memberitahu Wonk atau siapapun kalau memang sudah waktunya.

“Mba…tolong bilang sama keluarga saya, saya minta maaf”, pintaku saat itu.

“Bu, Ibu harus kuat. Sabar ya. Keluarganya sudah dikabari kok”, jawab suster itu.

Pernyataannya tidak membuatku tenang. Rasa sakit bercampur rasa melilit yang hebat membuatku tak dapat berpikir apapun. Rasanya aku hari itu sudah berkata dalam hati berulang – ulang kepada Tuhan..

‘Ya Tuhan, aku Cuma mau mengantarkan makhluk – makhluk mungil ini melihat semua ciptaanmu tapi aku gak mampu…’

Rasanya kalau saat itu nyawaku langsung hilang, pasti rasanya tak akan terasa seperti ini, tapi melihat semua yang telah lewat, membuatku punya keinginan untuk tetap bertahan, setidaknya sampai kewajibanku selesai.

Saat itu, entah mengapa, yang bisa menenangkanku untuk sementara adalah mengenang semuanya. Masa dimana Bho masih ada untukku. Ketika semuanya masih ada ditempat yang seharusnya. Tapi begitu bayangan ketika aku harus melewatinya sendiri, rasa sakit itu terasa makin hebat. Lebih hebat dari sebelumnya. Aku hanya ingin semuanya selesai.

Semuanya tampak lebih sibuk dan aku hanya bisa diam. Keringat sudah membanjiri tubuhku dan aku hanya berharap, semua yang terbaik. Kalaupun aku harus pergi saat itu, seperti aku akan ikhlas karena aku percaya, anak – anakku akan berada di tempat yang benar.

Aku mulai merasakan sakit yang lebih hebat dan rasanya, aku ga sanggup lewati semuanya sampai tiba – tiba pintu ruang perawatan itu terbuka dan aku melihat Wonk disana, tersengal – sengal. Dia langsung menghampiriku.

“Bun, maaf. Ayah beli mam nya kejauhan. Sabar ya Sayang, Yang kuat ya”, ujarnya.

Aku tampak malu dengan posisiku saat itu tapi tampaknya Wonk tak memperdulikan hal tersebut. Aku hanya bisa tersenyum dan sepertinya kekuatanku kembali.

“Maaf Sayang…Maaf. Jangan senyum aja, ngomong donk!!”, ujarnya lagi sambil mengusap – usap kepalaku.

“Sakit Yah…Bun….ga kuat Yah,…..Maaf”, jawabku terbata – bata.

“Ga…Bun kuat Sayang. Ayah tau kalo Bun kuat”, jawabnya.

Tangannya menggenggam tanganku kuat – kuat. Dia menatapku dan aku menatapnya seakan – akan ini yang terakhir kalinya aku melihat dia. Sekilas, aku merasakan Bho hadir disini, diantara aku dan Wonk, rasa sakit itu datang lagi dan aku tak mampu.

Wonk memanggil suster dan beliau pun mengecek kondisiku.Beliau mengatakan kalau akan segera memberitahukan kepada Dokter yang menanganiku.

Wonk entah kenapa, berinisiatif lebih menenangkanku.

“Bun, Ayah tau Bun tuh lebih kuat dari Ayah, Sayang”, ujarnya.

Aku hanya bisa tersenyum sambil merasakan sakit yang entah..tak bisa diungkapkan dengan kata – kata.

“Ayah gak akan mungkin bisa kehilangan wanita kayak Bun”, ujarnya lagi.

“Bun bisa lewatin semuanya. Ayah ga habis pikir betapa bodohnya laki – laki itu menelantarkan satu – satunya harta yang paling berharga yang dia punya. Sampai akhirnya, harta itu ga akan jadi miliknya, sepeser pun karena Ayah ga kan pernah biarin dia ambil Bun dari Ayah”, ujarnya lagi.

Aku hanya bisa tersenyum dan tak berapa lama semuanya mulai berdatangan. Mereka mulai mempersiapkan segalanya. Aku seperti akan dibawa ke suatu tempat yang membuatku merasakan ketakutan yang besar.

“Ayah…..Bun bener – bener ga kuat. Bun minta maaf ya. Tolong, bilang Bho, bun minta maaf”, ujarku

“Ga….Bun kuat, Ayah yakin, jadi Bun ga perlu minta maaf sama dia. Dia yang harusnya minta maaf sama Bun”, jawab Wonk.

“Tapi…”, jawabku.

Ugghh..rasanya mau mati saat itu juga. Sekujur tubuhku menegang dan kurasakan sakit yang lebih hebat.

‘Bu, maafin Hanna’, bisikku, Cuma itu yang aku mampu.

Detik berlalu, dan aku pun sudah berada di ruang persalinan yang entah seperti ruang penjagalan buatku. Posisiku sudah diatus sedemikian rupa agar mempermudah persalinannya dan sungguh, aku ga perduli gimana posisinya, yang penting aku mau ini segera berakhir.

‘Oh Tuhan……’, bisikku dalam hati.

Kehadiran Wonk di dalam ruang persalinan pun tak membuatku merasa kembali kuat. Seakan ini hanya urusanku dan Tuhan yang tau akan bagaimana akhirnya.

Entah berapa lama itu berlangsung, tangisku tertahan disana dan aku merasakan letih yang sangat luar biasa. Terdengar olehku sayup – sayup suara Wonk dan beberapa perintah yang harus kulakukan, aku melakukannya dengan semua sisa tenagaku.

Aku Mendengar sayup – sayup suara tangisan dan aku ga bisa konsen dengan keadaan di sekelilingku. Aku menunggu cukup lama sampai akhirnya mendengar suara perintah untuk menghabiskan seluruh tenagaku dan aku mendengar tangisan itu kembali.

Ada tangan lembut mengusap pipiku dan aku hanya bisa tersenyum sampai tak terasa air mataku keluar dari ujung – ujung mataku. Tapi ada rasa yang tak bisa kugambarkan saat itu. Pandanganku tak focus dan….aku masih merasakan tangan itu di pipiku dan sepertinya seseorang yang menyentuh pipiku meneriakkan sesuatu, tapi aku tak mampu mendengarnya.

“Maaf…….”

Hanya kata itu yang mampu aku ucapkan lalu aku merasa semua berubah menjadi…

Gelap……..

aku mendengar apa yang dibicarakan dengan perasaan tak menentu. Ketika kakakku menanyakan tentang apa yang Wonk utarakan kepada keluargaku, membuat otakku berhenti berpikir seketika.

“Han, kok diem siy? Gimana? Tuh Wonk nunggu jawaban”, tanya kakakku.

Aku hanya bisa menundukkan wajahku. Entah malu atau aku benar – benar tak kuasa menatapnya. Sampai beberapa kali kakakku menegurku, baru aku berani menjawab semuanya, sesuai kata hatiku.

“Han....gimana?”, tanya kakak laki – lakiku.

“Hmmm....maaf ya semuanya. Maaf Wonk. Aku tau niat kamu baik banget. Aku juga ga tau kalau kamu bisa punya keinginan sebesar ini untuk jadiin aku...mm...pendamping kamu. Tapi aku..”, jawabku tertahan.

“Kenapa Han?”, tanya Wonk.

“Ga papa....cuma”, jawabku ragu sambil melihat ke sekelilingku.

Tiba – tiba entah ada angin apa, kakak perempuanku mengatakan sesuatu.

“Han, Mba sama Mas – Mas pamit ke ruang makan ya. Kamu sama Wonk ke teras atas aja. Kalian bicarakan ini berdua. Kami cuma bisa berharap semuanya akan berjalan sesuai apa yang kalian kehendaki. Yang terbaik buat kamu Hanna, terbaik juga buat kami. Kami ingin lihat kamu bahagia, gak kayak gini”, ujar kakak perempuanku.

Kemudian kakak laki – lakiku dan semua yang ada disitu beranjak pergi ke tempat tujuannya masing – masing dan meninggalkanku dengan Wonk yang terdiam tanpa suara.

“Han, ayo kita ke teras atas. Bicarakan semuanya, mau kan?”, tanyanya.

“Iyah....”, jawabku.

Aku segera mengajaknya ke teras atas atau lebih tepatnya balkon besar di lantai 2 rumahku. Aku mengajaknya duduk disitu.

“Wonk, tempat ini dah jadi saksi bisu masa kecil, remaja dan dewasaku. Semua terkubur disini. Entah aku bisa mengaisnya lagi atau ga. Tapi setiap aku kembali kesini, kenangan akan Ibu, Ayah dan suasana masa kecilku kembali lagi dan aku merindukan itu Wonk”, ujarku membuka pembicaraan diantara kami berdua.

“Tapi itu masa lalu, Hanna. Sekarang kamu sedang dihadapkan dengan satu masa, dimana masa itu akan jadi masa depan kamu dan aku ga mau kamu lewatin semuanya sendiri”, jawabnya.

“Wonk, sendiri atau ga sendiri, rasanya sama”, jawabku.

“Kamu mengharapkan si Bho itu bertanggung jawab atas semuanya? Kamu bilang kalo kamu dah tau apa jawabannya. Sekarang aku tanya, apa jawaban dia setelah tau kamu hamil?”, tanya Wonk.

Aku hanya bisa terdiam ketika Wonk menanyakan hal itu padaku. Wonk menghampiriku.

“Han, Aku ga pernah sedikit pun punya niat untuk mengambil keuntungan atas apa yang dah terjadi sama kamu. Aku juga ga bahagia diatas penderitaan siapa pun. Toh kenyataannya memang laki – laki itu ga menderita, justru kamu yang menderita mikirin dia sepanjang hari tapi apa dia mikirin kamu Han??”, tanyanya.

“Memang ga...tapi....”, jawabku.

“Kamu tau jawabannya tapi kenapa kamu ga berusaha tunjukkin ke dia kalo kamu bisa maju selangkah tanpa dia, Han?”, jawab Wonk.

“Ada di bagian hatiku yang bilang kalo dia sebenernya masih pengen care sama aku, Wonk. Tapi karena aku hamil, dia buang jauh – jauh semuanya”, jawabku.

“kalo memang dia care, paling ga, dia.......susah. Sekarang gini, kamu mau tunggu sampai kapan si laki – laki itu?”, tanyanya.

“Ga tau.......tapi kamu...”, jawabku.

“Aku??? kamu tanya aku, Han?”, tanyanya.

“Iyah, kamu kenapa bilang kayak gitu sama keluargaku? Apa keluarga kamu mau terima aku?”, tanyaku.

“Han, Apa yang terbaik buatku, keluargaku mendukung. Aku melakukan ini juga atas persetujuan si Mama. Aku sayang kamu dan makhluk – makhluk kecil yang ada di perut kamu, Han. Aku berani lakukan apapun buat mereka. Aku ga mau mereka disakitin siapa pun, sampai mati aku ga mau liat kamu dan mereka menderita. Aku mau liat kamu, mereka, kita bahagia, Han. Bangun keluarga kecil yang bahagia”, jawabnya.

“Kenapa kamu bisa sampai se-gila ini siy? Salahku apa sama kamu?”, tanyaku.

“Kamu ga punya salah apa pun Sayangku...ga ada. Kamu terlalu baik untuk diperlakukan seperti ini. Aku tuh bener – bener sayang sama kamu, Han. Terlepas dari apapun yang sudah terjadi, aku akan tetep sama Han, sayang sama kamu”, jawabnya meyakinkanku.

Aku menatapnya dengan perasaan yang tidak menentu.

“Terus mau kamu apa sekarang?”, tanyaku.

“Keinginanku sama seperti hari ini, kemarin, sebulan lalu…aku mau kamu jadi pemdampingku”, jawabnya.

“Tapi, aku…keadaanku tuh kayak gini Wonk”, jawabku.

“Keadaan kamu kayak apa? Sekarang aku Tanya….”, tanyanya.

“Iyah, hamil….kamu ga malu apa?”, tanyaku.

“Malu kenapa?”, tanyanya.

“Ya malu. Apa kata semua keluarga kamu, semua temen – temen kamu nanti tentang aku, Wonk”, jawabku setengah menahan tangis.

“Ga. Aku ga malu. Kalau keluarga, kan sudah kubilang kalau mereka menerima apapun keputusanku. Kalau teman – temanku, aku udah ngomong kok. Semuanya mendukungku karena mereka tau kalau Cuma kamu yang aku mau dan Cuma kamu yang bisa bikin aku seneng Han”, jawabnya.

“Kenapa bisa begitu?”, tanyaku

“Ya, karena Cuma kamu satu – satunya perempuan yang bisa bikin aku ga pengen mencari – cari lagi. Semua yang aku mau ada di kamu. Cuma 1 stocknya Han….aku ga mau ke duluan orang. Aku mau jadi laki – laki beruntung itu, laki – laki beruntung yang bisa dapet wanita seperti kamu”, jawabnya terlihat sungguh – sungguh.

“Tapi..ga bisa sekarang Wonk untuk wujudin apa yang kamu mau. Aku belum mampu, belum mampu lupain semuanya”, jawabku.

“Aku paham, tapi pintu itu terbuka untukku kan??? Aku akan buat kamu lupa semua apa yang dah kamu rasain sekarang”, jawabnya

“Hmmm…..aku ga mau kamu nyesel”, jawabku.

“Ga..sumpah, Aku ga akan nyesel. Ok? Gini deh..mungkin aku juga terlalu membebani kamu dengan kata ‘istri’. Kalo gitu….hmmm…”, ujarnya.

“Kenapa?”, tanyaku sambil menatapnya.

“Hmmm….klo gitu, kamu mau kan jadi pacarku? Kita jalanin semuanya dari awal. Aku tau kita terutama kamu bisa lewatin ini semua. Kamu mau kan?”, tanyanya.

Aku terdiam cukup lama, memikirkan semuanya. Sepertinya dia pun cukup paham dengan keadaanku dan sikap diamku saat itu. Aku takut untuk memulai semuanya tapi apa yang kami bicarakan sebelum ini memang keadaan yang sesungguhnya. Aku pun memutuskan untuk maju selangkah, setidaknya aku tidak meratapi yang sudah terjadi, tapi mencoba untuk bangkit.

“Wonk…..”, aku memanggilnya.

“Ya…..”, jawabnya.

“Hmmm…setelah mempertimbangkan semuanya. Apa yang udah kamu, kita omongin tadi memang bener. Aku ga mau stuck disitu – situ aja. Aku mau maju selangkah demi selangkah Wonk…”, jelasku.

“Iyah..kamu harus semangat Han…terus”, jawabnya seperti menantikan sesuatu.

“Terus…..aku akan coba jalanin semuanya sama kamu, Wonk”, jawabku.

Wonk lama menatapku. Aku melihat kegembiraan di wajahnya tapi aku takut itu Cuma halusinasiku saja. Tiba – tiba Wonk berdiri dan berjongkok setengah jinjit dihadapanku.

“Han, Aku seneng banget kamu bilang kayak gitu. Kamu mempertimbangkan semuanya, kamu mau bangkit bareng – bareng aku. Makasih yaaa….aku pasti akan jadi laki – laki sekaligus calon ayah yang paling bahagia, sumpah !!”, jawabnya sambil meremas jemari tanganku.

“Bokis Loooooo”, jawabku.

“Jiaaaahhh…tadi dah serius – serius sekarang keluar lagi deh aslinya”, jawab Wonk.

Aku hanya bisa tersenyum, senyum paling manis yang kuberikan kepada Wonk hari itu.

Aku dan Wonk turun dan membicarakan tentang keputusan yang sudah kami bicarakan dan setujui berdua.

Setiap hari, kulalui semuanya bersama Wonk. Jujur saja, aku mulai melupakan luka yang sudah dibuat oleh Bho di hatiku. Aku mulai melupakannya. Aku merasa Wonk lah yang ayah dari anak – anakku, walaupun setiap aku memikirkan semuanya, aku tersadar bahwa dia bukan ayah dari anak – anakku tapi aku bahagia kalau seandainya anak – anakku memiliki ayah seperti Wonk.

Wonk selalu memanggilku ‘Bunda’ dan aku pelan tapi pasti mulai memanggilnya ‘Ayah’.

Aku bangga padanya yang mampu menerima keadaanku yang sudah berantakan.

Perutku makin hari makin membesar. Bebanku pun semakin berat. Rasa sakit akibat APS ku terkadang datang menyiksaku tapi Wonk selalu ada untuk menenangkanku. Dia pun mulai merasa kalau tempat tinggalku terlampau jauh. Tanpa sepengetahuanku, ia mencarikanku sebuah kost untuk kutinggali di dekat tempat kerjaku. Aku terpana dengan semua yang ia lakukan untukku sampai akhirnya aku merasa malu karena begitu besar yang sudah ia lakukan namun aku belum merasa yakin bahwa dia serius dengan apa yang dia ucapkan.

Apa yang sudah Bho lakukan membuatku menjadi seorang yang idiot jika harus merelakan Wonk pergi dari hidupku.

Berbulan – bulan berlalu, hari berganti hari. Aku mulai membiarkan Wonk hadir dalam hidupku dan membiarkan ia keluar masuk pintu hatiku. Sampai tiba saat yang menentukan semuanya.

14 September ….

“Bun, dah makan lom?”, Tanya suara itu diujung sana.

“Belum, tau niy. Perutnya mules terus. Kontraksi terus”, jawabku.

“Ya dah, Ayah kesana sebentar lagi. Ini dah siap – siap”, jawabnya.

Ya, itu percakapanku pagi itu dengan Wonk di telpon. Aku kebetulan sudah tinggal di rumahku karena mengingat kondisiku yang sudah mulai masuk bulan ke – 7.

Entah mengapa, di minggu ke 28 kehamilanku, aku merasakan ada sesuatu yang mencurigakan. Sepertinya, baby – baby mungilku ini mendesak ingin cepat – cepat melihat dunia yang indah ini.

2 jam kemudian, Wonk sampai dirumahku didampingin oleh kakakknya.

“Bun, yuk berangkat ke rumah sakit, diperiksa, Ayah takut kenapa – kenapa si kecilnya”, ajak Wonk.

Aku pun mengikuti apa yang Wonk minta. Kami langsung berangkat ke rumah sakit dan untungnya, kami tidak perlu menunggu terlalu lama untuk masuk ruang periksa.

Dokter pun memeriksa semuanya, membandingkan kondisiku sebelumnya berdasarkan Buku Periksa dari Sebuah Rumah Sakit Bersalin di Depok dengan rumah sakit di daerah rumahku. Beliau mengatakan aku mengalami apa yang dinamakan Eclampsia atau Gangguan Pada Plasenta. Ini berasal dari Anti Phospholipid Syndrom yang selama ini ada ditubuhku. Aku beruntung karena aku tidak mengalami keguguran tanpa sebab. Tapi Eclampsia ini saja sudah membuatku dan Wonk ketar ketir.

Setelah dipertimbangkan, aku akhirnya harus stay di rumah sakit tersebut agar dapat diawasi segala sesuatunya.

Tapi makin lama, kontraksinya makin hebat. Klimaksnya adalah keluarnya air ketubanku. It’s mean, ketubannya pecah. Wonk sedang keluar saat itu terjadi. Wonk keluar untuk membelikanku makanan karena memang belum ada makanan yang masuk pagi itu.

Aku pasrah, aku langsung memanggil susternya dengan menekan tombol panggilan di samping tempat tidurku.

Mereka langsung bertindak secepatnya. Tapi aku merasa kehilangan sesuatu…Aku kehilangan Wonk. Saat itu aku sadar kalau hanya dia yang kubutuhkan, aku butuh dia. Aku gak butuh Bho…Aku butuh Wonk. Dengan kondisi yang seperti ini, aku hanya bisa menangis. Aku merasakan tubuhku mulai melemah, aku hanya bisa memanggil – manggil Wonk dalam hatiku. Aku mengharapkan dia mendengarku..

‘Yah..plisss…cepet kesini. Bun ga kuat’……

Kamis, 05 November 2009

Sejak hari itu, aku menjalani semuanya sendiri. Cinta pria dan wanita buatku tak begitu penting lagi. Aku hanya mementingkan si kecil di perutku yang mungkin sedang berkembang tanpa tahu seberapa besar kehidupan yang akan dia terima nanti, tanpa ayah.

Aku sudah memutuskan menutup seluruh hatiku untuk manusia bernama Aji atau Bho.

Sampai dibulan kedua, aku mendapatkan sesuatu yang benar – benar menakjubkan sekaligus menyedihkan. Hari itu, aku datang ke rumah sakit untuk cek semuanya. Sejak kepulanganku dari Samarinda, aku belum tahu lagi bagaimana perkembangannya. Akhirnya kuputuskan mengambil selembar uang pemberian orangtuaku dan menukarkannya.

Siang itu aku datang dengan hati yang galau……dan akhirnya ketakutanku terbukti juga.

“Siang Mba, saya mau periksa kandungan. Ada dokternya ga ya?”, tanyaku.

“Ada Bu. Bisa isi data disini dulu?”, ujar Suster itu.

“Ya, Bisa”, jawabku.

“Dengan Ibu siapa?”, tanyanya.

“Vie”, jawabku singkat.

“Baik Bu Vie, saya siapkan kartu periksanya sambil Ibu isi form ini. Untuk data – data pasien apabila nanti dibutuhkan. Silahkan diisi, ini penanya. Silahkan duduk sampai saya panggil nanti”, jelas si Suster.

“Terima kasih”, jawabku sambil memberikan senyum ke Suster itu.

Dia memberiku selembar form berisikan data – data yang harus aku isi. Aku mencari tempat yang nyaman untuk mengisinya. Aku mengisinya dengan teliti dan tibalah di data yang enggan aku isi.

‘Nama Suami :…’, bisikku dalam hati.

Aku bingung. Aku enggan menuliskan nama Bho disitu. Tiba – tiba HPku berbunyi…

‘No nya ga ada di daftarku. Siapa ya’
, tanyaku dlm hati. Aku pun mengangkatnya.

“Halo”, ujarku.

“Halo Na. Ini Hanna kan?”, tanyanya.

“Iyah, ini siapa ya?”, tanyaku.

“Ini Wonk”, jawabnya.

“Ya ampun, kumaha damang Wonk?”, tanyaku.

Wonk itu sahabatku. Aku kenal dia dari Idol street. Memang dari Game Online juga, tapi Wonk beda. Dia maen Game Online hanya untuk pengisi waktu senggang kalau libur kerja. Wonk juga maen RF, tapi ga begitu sering. Game for him is just for fun…ga lebih. Makanya, dia jarang OL, kalo OL pun paling Cuma 1 jam aja.

Hanya Wonk yang tahu kalau namaku bukan Laras. Laras hanya cerminan aja, Cuma bayang – bayang. Cuma Wonk yang tahu namaku Hanna. Karena Wonk jarang OL, jadi teman – temanku tetap memanggilku Ras, ga ada temen OLku yang manggil aku Hanna selain Wonk.

“Baik..Baik…tapi gwe denger kabar ga enak Na”, jawabnya.

“kabar apa?”, tanyaku.

“Hmm….kamu hamil Na?”, tanyanya.

“Hmmm…Ya. Maaf Wonk”, jawabku.

“Cowok lo?”, tanyanya.

“Siapa? Yang hamilin gwe?..hmm…di Samarinda. Udah bukan cowok gwe lagi”, jawabku.

“Haahhh??? Dia, dia ga mau tanggung jawab Na?”, tanyanya.

“Iyah, udah lah Wonk, jangan dibahas lagi. Udah, gwe cukup bias lewatin semuanya”, jawabku.

“Lo gila kali ya??? Dimana lo ??”, tanyanya.

“Di RS ***** di depok. Kenapa?”, tanyaku.

“Tunggu disitu, gwe kesana”, jawabnya.

“Tapi sebentar lagi gwe masuk ke ruang periksa Wonk”, jawabku.

“Sekarang lo lagi apa?”, tanyanya.

“Isi data, Cuma lagi stuck aja. Di kolom ‘Nama Suami’, gwe mau tulis nama Aji tapi…”, jawabku terputus.

“Tulis nama gwe”, jawabnya.

“Hah, nama siapa?”, tanyaku.

“Nama gwe. Masih inget kan nama lengkap gwe?”, tanyanya.

“Masih tapi…”, jawabku terputus.

“Dah tulis aja. Trus tunggu aja disitu sampe gwe datang. Oke?”, jawabnya.

“Kalo gwe dah masuk, trus selesai tapi lo belum datang, harus tunggu juga?”, tanyaku.

“Sebelum lo selesai, gwe pasti dah sampe. Dah, gwe jalan dulu. Inget, tulis nama gwe, Na”, jawabnya.

“Ga papa Wonk?”, tanyaku.

“Tulis. Titik. Gwe berangkat. Tunggu disitu”, jawabnya.

“Ya”, jawabku.

Wonk memutuskan sambungan telponnya dan aku hanya bias terdiam, membisu.

“Ibu Vie, Form nya sudah bisa diambil?”, Tanya Suster itu menghampiriku.

“Sebentar dikit lagi”, jawabku.

Aku segera mengisi data ‘Nama Suami’ dengan nama Wonk.

‘Ridwan N’, tulisku di kolom itu.

Aku segera menandatangani form tersebut dan segera menyerahkan form tersebut ke Suster itu.

“Terima kasih, silahkan duduk lagi ya. Sebentar lagi dipanggil”, jelasnya.

Tak berapa lama, memang aku dipanggil oleh suster itu untuk masuk ke ruang periksa. Aku segera memasuki ruangan bernuansa hijau itu, menyenangkan.

“Siang Bu, Dengan Ibu Vie ya?”, sapa wanita berjilbab di depanku.

“Iyah”, jawabku diiringi senyumanku untuk wanita itu.

“Kok sendiri, suaminya ga anter?”, tanyanya.

Aku hanya tersenyum. Ia menanyakan perihal kehamilanku. Aku menjawabnya seadanya. Kondisiku yang baru saja pulang dari Samarinda, naik pesawat dan sebagainya. Aku juga menjelaskan kalau aku punya Anti – Phospholipid Syndrom. Beliau agak kaget mendengarnya. Tak berapa lama, terdengar ketukan.

“Silahkan masuk”, jawab wanita itu.

Ketika pintunya terbuka, yang kulihat bukannya Suster tapi Wonk.

“Maaf Dokter, saya suaminya”, sambil melirik padaku.

“Ooo…silahkan..silahkan masuk Pak”, jawab wanita itu.

Beliau lalu melihat buku periksaku dan kemudian bicara..

“Pak Ridwan…”, ujarnya.

“Ya….”, jawab Wonk.

“Oke…sekarang istrinya saya pinjem dulu ya, mau USG. Kalau Bapak mau ikut, silahkan. Biar bisa liat si cantik atau si jagoan”, ujarnya.

“Boleh”, jawab Wonk sambil senyum.

Aku hanya melihat perbincangan ini dengan perasaan tak menentu.

‘Suami, siapa suami siapa? Siapa istri siapa?’
, tanyaku dalam hati.

Aku langsung disuruh tiduran. Perutku langsung diolesi oleh gel khusus, dan…

‘Wieee…geli’, pekikku ketika alat itu digesek – gesekkan ke perutku.

“Waahh…Pak, Bu, kayaknya isinya ga satu ini”, ujar si dokter.

“Maksudnya?”, Tanya Wonk.

“Ini ada dua, kembar. Dari gambar yang saya liat, sepertinya kembar identik karena berasal satu telur. Tapi baru benar – benar terlihat kalo sudah masuk minggu ke 16 nanti”, jelasnya.

Aku dan Wonk hanya lihat – lihatan. Dia lalu membelai rambutku sambil tersenyum. Aku hanya merasa, aneh.

‘Seandainya Bho yang melakukan itu’, bisikku dalam hati.

Ketika prose situ selesai, aku hanya bisa terdiam. Wonk yang lebih banyak bertanya. Setelah selesai, aku diberikan buku periksa beserta hasil foto USG tadi. Ada rasa senang yang tak terkira, bingung yang berlebihan.

Ketika aku dan Wonk keluar dari ruang periksa, aku langsung membicarakan semuanya.

“Kok lo bisa masuk siy?”, tanyaku.

“Bisa lah, tanya dunk sama Mba nya di depan situ”, jawabnya sambil memberikan senyum padaku

“Bilang apa?”, tanyaku.

“Ya tanya, ‘Mba, Istri saya dah masuk ya?’, gitu”, jawabnya sambil nyengir.

“Jaaahhh….pantesan. Trs tadi kenapa bilang kalo lo suami gwe?”, tanyaku

“Kenapa siy? Biarin aja. Lagian kalo tuh dokter tahu lo belum nikah, ntar nanya – nanya yang aneh – aneh atau mikir yang ga – ga lagi dia. Jangan sampe deh”, jawabnya.

“Tapi….”, jawabku.

“Udah, seneng ga mau punya anak kembar?”, tanyanya.

“Iyah. Tapi….”, jawabku.

“Udah ga usah mikirin dia lagi ya. Pikirin si kecil – kecil ini aja”, jawabnya.

Setelah kejadian itu, aku semakin tak habis pikir dengan pemikiran Wonk. Dia bilang padaku suatu saat kalau dia ingin menjadikanku istrinya dan menerima anak – anakku sebagai anakku. Alasannya karena dia sudah terlanjur sayang padaku.

Memang, apa yang sudah dilakukannya membuatku merasa tidak menjalani semuanya sendiri.

Sejak aku mendapat pekerjaan di daerah Grogol, aku selalu naik kereta api ekonomi Depok – Cawang – Depok setiap hari dan dari cawang naik bis ke grogol. Walaupun sedang hamil muda, aku ga perduli. Aku butuh sesuatu untuk kukerjakan dan kumakan.

Tapi ketika Wonk tau hal itu, dia memaksa aku untuk menerima jasa antar jemputnya setiap hari sebelum aku mendapatkan tempat tinggal baru di dekat kantorku. Sampai suatu saat, kakak laki – lakiku menelponku.

“Han…halo”, terdengar suara disana.

“Halo Mas, kenapa?”, tanyaku

“Kamu dimana?”, tanya kakakku.

“Di kantor, kenapa Mas?”, tanyaku.

“Tinggal dimana?”, tanyanya.

“Di Depok”, jawabku seadanya.

“Kerja dimana kamu?”, tanya kakakku.

“Di Grogol, ada apa siy Mas?”, tanyaku.

“Mas mau ngomong. Kita semua mau ngomong. Kamu dimana? Mas kesana”, jawab kakakku.

“Ga usah, Hanna pulang aja ke rumah. Besok”, jawabku.

“Oke, Mas tunggu”, jawabnya.

“Oke, Hanna sampe sana sore kali ya”, jawabku.

“Ya dah, ga papa”, jawab kakakku.

Dari nada suaranya, tak terdengar kemarahan, hanya ada ke khawatiran. Aku segera bilang pada Wonk melalui sms kalau besok siang, sepulang kerja, aku akan ke rumah. Dia membalasnya.

‘Oke…aku anter, jangan nolak. Oke?’

Aku segera membalasnya. Aku ga mau menyusahkan seseorang yang sudah terlampau baik padaku. Menyisakan semua waktunya untukku yang jelas – jelas belum bisa memberikan apa yang dia mau. Bagiku, memutuskan menikah atau menjadi seorang istri dari seseorang pada saat keadaan hamil membuatku merasa bersalah. Mungkin akan sangat merasa bersalah.

Keesokkan harinya, Wonk seperti biasa, menjemputku pagi hari. Kami berangkat kerja sama – sama. Dia selalu mengantarkanku terlebih dahulu. Dia bisa sampai Depok jam 5 pagi hanya untuk menjemputku dan sampai jam 4 di kantorku untuk menjemputku. Tak bisa terbayangkan olehku. Dia tetap ingin aku jadi pendampingnya, tak perduli keadaanku yang dah hancur berkeping – keping.

Sore itu, dia mengantarkanku ke rumah, untuk membicarakan semuanya dengan kakakku ttg apa yang terjadi.

Ternyata setelah dibicarakan, kakak – kakakku ga mau kalau aku tinggal diluar rumah dengan keadaanku yang seperti itu. Pada saat itu pun, Wonk mengutarakan sesuatu yang membuatku mendadak kalut.

“Hmm..maaf semuanya, saya juga mau bicara disini”, ujarnya.

Aku langsung melihatnya. Keheranan.

‘Ada apa lagi niy?’, tanyaku dalam hati.

“Ada apa Wan?”, tanya kakak perempuanku.

“Sebenernya saya kesini bukan Cuma mau nganterin Hanna aja tapi ada yg lainnya juga”, jelasnya

“Ada apa?”, tanyaku.

“Begini, saya mengutarakan kalau saya…ingin Hanna jadi istri saya”, jelasnya.

Aku langsung merubah posisi dudukku dan terdiam seribu bahasa.

“Bener Wan? Kenapa kamu punya keinginan seperti itu?”, tanya kakakku.

“Saya sudah lama sayang sama Hanna. Dia terlalu baik untuk disakitin kayak gini. Dia wanita yang benar – benar saya kagumi. Terlepas dari apa yang sudah terjadi, sudah jadi resiko saya. Saya sayang dia berarti saya juga harus sayang sama anak – anaknya. Pada kenyataannya, saya ga sayang sama mereka, tapi saya sudah terlanjur cinta sama mereka dan bundanya”, jelasnya panjang lebar.

“Oke..saya sama keluarga siy ga masalah. Cuma kembali lagi ke Hanna. Gimana Han?”, Tanya kakakku.

Aku Cuma bisa terdiam….terdiam….

‘Ada apa lagi sssiyyy???’, jeritku dalam hati…gundah

Minggu, 01 November 2009

Aku pulang dengan langkah gontai. Kupasang Ear Piece MP3 Playerku dan tampaknya itu tak membantuku.

Begitu indahnya untuk dikenang
Saat kamu masih mengejar cintaku
Begitu manisnya tangismu untuk
Memohon hadirku kedalam hidupmu

Katamu kau tak akan tinggalkan aku
Sakiti aku lukai aku
Tapi kau ternyata tinggalkan aku
Sendiri
Katamu kau tak akan pernah duakan
Hatimu cintamu

Kemana perginya kamu yang dulu
Yang maunya selalu dekat dengan aku
Kemana perginya cinta yang dulu
Yang pernah kau tikam ke dalam jantungku


( Mulan Jameela – Lagu Sedih )

Lagu itu membuatku mataku mengeluarkan airmata untuk kesekian kalinya. Posisiku yang saat itu sedang di halte pun tak kuhiraukan.

Sesampainya aku di kontrakan, aku langsung membuka selimut kuning bermotif bunga – bunga ungu yang dulu dipinjamkan Bho padaku. Kuhamparkan di lantai sebagai alas tidurku dan menumpuk – numpuk lipatan baju ku untuk kujadikan bantal. Aku tak ingin bermimpi hari ini. Ga mau…

29 April….

Sayup – sayup ku dengar HPku berbunyi….

Lagu Chocobo terdengar pelan namun pasti. Aku melihat jam tangan yang masih melingkar di pergelangan tanganku. Aku terduduk, terpaku, terdiam masih berusaha menyadarkan diri.

‘Jam 12 siang, siapa yang telpon siang – siang begini?’, tanyaku dalam hati.

Aku segera beranjak dari atas selimutku, pelan – pelan berjalan kearah ruang depan rumah kontrakanku yang kosong melompong. Aku terduduk di lantai, berusaha menenangkan diri dan begitu kuraih HPku, mendadak deringnya berhenti.

‘Hufff…Cuma miskol kali ya?’, tanyaku dalam hati tanpa memperdulikan siapa yg telpon.

Ketika ingin beranjak kembali ke atas selimut itu, HPku berbunyi lagi.

‘Siapa siy?'
, tanyaku dalan hati kesekian kali.

Kuraih HPku, kubuka flip nya dan tertera nama seseorang yang saat itu benar – benar tak ingin kutemui atau bicara sekalipun.

‘BHO’….hati kecilku melonjak kaget.

Aku masih mempertimbangkan, akan menjawab telpon itu atau tidak, tapi akhirnya aku mengangkatnya juga.

“Halloo”, sapa suara diujung sana.

“Ya, Sa. Ada apa?”, jawabku ditengah kantukku..

“Aku mau ngomongin masalah itu, yang kamu omongin di sms sama YM”, jawabnya.

“Ya kenapa? Dah jelas kan. Ngapain ditanya lagi?”, tanyaku.

“Eh, Itu anak gwe kan?”, tanyanya dengan suara yg agak tinggi.

“Iyah. Kenapa?”, tanyaku.

“Gwe belum siap. Mending lo gugurin aja deh”, suruhnya

“Sorry Sa, gwe ga bisa”, jawabku.

“Kenapa?”, tanyanya.

“Gwe dah terlalu sayang Sa”, jawabku.

“Tapi kalo Cuma sayang gimana hidupnya nanti?”, tanyanya.

“Setiap anak punya rezeki sendiri – sendiri. Dah lah Sa, gwe bisa jalanin ini sendiri”, jawabku

“Tapi Gwe belum siap”, jawabnya.

“Kalo lo mang belum siap, gak papa. Gwe udah kok Sa”, jawabku.

“Tapi gwe ayahnya. Itu anak gwe kan?”, tanyanya.

“Ya, lo ayahnya dan ini anak lo”, jawabku ditengah tangisku yang hampir meledak.

“Gwe belum siap. Ngerti ga siy. Lo mending gugurin aja”, suruhnya.

“Sa, gwe dah berusaha ya. Gwe tetep belajar naik motor, gwe tetep jalan kesana kesini, naik pesawat, ngelakuin hal – hal yang ga boleh dilakuin ma orang hamil. Dia tetep ga gugur juga Sa. Lo mau gwe minum obat – obatan biar dia keluar?”, tanyaku.

“Kalau perlu”, jawab Bho.

“Oke…Gwe minum. Tapi kalo dia tetep ga gugur dan dia lahir abnormal, cacad, jangan salahin gwe”, jawabku sambil menahan tangisku.

“Jangan. Jangan lahir cacad. Anak gwe ga boleh cacad. Jangan sampe”, jawabnya.

“Lo tuh gimana sih? Tadi nyuruh gugurin. Sekarang kalo ternyata ga gugur, tapi lahir abnormal, ga mau. Mau lo Apa????”, tanyaku.

“Gwe maunya dia keluar dari rahim lo. Kalaupun dia lahir, gwe ga mau dia cacad. Kalo dia sampe lahir, gwe mau test DNA. Gwe bukan cowok yang kayak gitu”, jawabnya.

“Cowok yang kayak gimana?”, tanyaku sinis.

“Cowok yang lepas tanggung jawab. Gwe bukan cwok yang kayak gitu, gwe Cuma belum siap”, jawabnya.

“Kalo emang setelah test DNA, dia anak lo. Lo mau tanggung jawab gimana? Ngasih makan dia? Nikahin gwe? Hah…?? Sorry Sa, ga perlu”, jawabku dengan nada yang tinggi

Aku langsung menutup flip HPku. Emosiku mempengaruhi ku. Tak berapa lama, HPku berbunyi lagi. Aku mengangkatnya. Bho.

“Apa lagi siy Sa?”, tanyaku.

“Jadi gimana?”, tanyanya.

“Gimana apanya? Kan dah jelas. Aku ga mau kamu tanggung jawab atas apapun, My Lord. Kamu tuh Dewa, aku manusia biasa yang punya banyak dosa. Aku ga mau nambahin dosa lagi dengan menggugurkan apa yang sudah menjadi resiko ku. Kalau kamu ga mau tanggung jawab, gak papa. Aku lewatin sendiri. Ini tanggung jawabku”, jawabku meluap – luap.

“Tapi dia anak gwe. Gwe bukan laki – laki yang lepas tanggung jawab. Saat ini gwe belum siap. Jadi lebih baik digugurin aja”, jawabku.

“Ga, Sa. Makasih. Kamu tau, resiko aku melahirkan kan??”, tanyaku.

“Ya, kita pernah omongin dulu. Gwe takut. Gwe…”, jawabnya

Belum sempat dia meneruskan semuanya, aku langsung memotong ucapannya.

“Gwe ambil semua resiko termasuk kehilangan nyawa gwe Sa !!!! PAHAM??”, jawabku.

“Jangan….Jangan…Gwe ga mau. Gwe ga bisa….duuhh..gwe ga sanggup..Pliss apa susahnya gugurin siy?”, tanyanya.

“Sorry, susah buat gwe yang masih punya HATI, My Lord. Gwe pertaruhkan nyawa gwe buat dia”, jawabku.

“Jangan..Pliss..Gwe mau dimutasiin niy ke Sangata. Jangan bikin gwe kepikiran”, jawbanya.

“Kenapa lo harus kepikiran?”, tanyaku.

“Asal lo tau ya? Lo tuh ganggu gwe banget. Kenapa siy lo harus ada kabarnya? Kenapa siy kabar lo selalu bisa gwe tau? Kenapa siy? Diotak gwe tuh jadi Cuma ada lo…lo…lo…dan lo. Sampe semuanya tuh berubah. Bikin gwe ga bisa konsen maen, bikin semua temen – temen gwe Tanya kenapa gwe. Gwe tuh ga abis pikir, Kenapa siy lo nge ganggu banget?”, tanyanya.

“Sorry, kalo gwe ganggu lo. Yang bikin gwe selalu ada dipikiran lo bukan gwe, tapi ya diri lo sendiri. Otak Otak lo, kok jadi Tanya masalah itu ke gwe?”, tanyaku kembali.

“Udah, pokoknya gwe mau lo GUGURIN dia. Kalau pun dia lahir, gwe mau test DNA. Titik”, jawabnya.

“Oke. Termasuk kalo dia abnormal ya Sa”, jawabku ketus.

“Ga, ga boleh cacad. Terserah lo mau gugurinnya gimana. Yang jelas, kalau harus lahir, ga boleh cacad!”, jawabnya.

“As YOU WISH MY LORD !!”, jawabku meluap – luap.

“Ya dah, sekarang gwe mau tidur”, jawabnya.

“Oke…”, jawabku.

“Ya dah, jangan ganggu gwe…biar gwe yang cari lo”, ujarnya.

“As YOU WISH MY LORD”, jawabku dengan suara yang datar, berusaha tegar.

‘I wish u never found me, Sasa’, pintaku dalam hati.

“Ya dah….”, jawabnya sambil kemudian menutup Hpnya.

Aku menangis sejadi – jadinya…..

Kata – katanya seolah sedang membunuhku secara perlahan tapi pasti. Membunuhku perlahan dengan semua kenangan itu dan……

Aku mati perlahan – lahan…..

Sabtu, 31 Oktober 2009

Love of my life - you've hurt me
You've broken my heart and now you leave me
Love of my life can't you see
Bring it back, bring it back
Don't take it away from me
Because you don't know -
What it means to me

Love of my life - don't leave me
You've stolen my love and now desert me
Love of my life can't you see
Bring it back, bring it back
Don't take it away from me
Because you don't know -
What it means to me

You will remember -
When this is blown over
And everything's all by the way -
When I grow older
I will be there at your side to remind you
How I still love you - I still love you

Ooooo
Hurry back - hurry back
Dont take it away from me
Because you don't know
What it means to me

Love of my life
Love of my life ...


( Queen – Love Of My Life )

Lagu ini mengantarkanku keluar untuk kedua kalinya dari rumah yang selama ini menaungiku. Melihatnya dari luar untuk kesekian kalinya sudah membuatku hancur berantakan.

Reaksi kakak – kakakku ketika aku turun untuk pergi kesekian kalinya beragam. Ada yang memandang marah padaku, Ada yang menangis dan pergi meninggalkanku, ada yang diam aja.

Itu memang yang kuharapkan, tidak ada caci maki dan amarah – amarah yang tidak sepantasnya. Mereka sadar bahwa itu semua resiko yang memang harus aku tanggung sendiri. Aku ingat kata – kata kakakku yang terakhir kudengar sebelum aku keluar rumah untuk kedua kalinya.

“Han, kenapa kamu harus pergi lagi dengan keadaan seperti itu?”…

Aku tidak menjawabnya dan langsung pergi keluar rumah. Untuk sementara, aku kembali ke Depok, ada tempat kosong untukku tinggal disana.

Tempat itu adalah sebuah kontrakan dengan 3 sekat didalamnya. Lantainya terbuat dari semen saja, atapnya genting tanpa langit – langit. Tidak ada tempat tidur, lemari ataupun meja, wajar jika aku menyewanya Rp. 250.000 / bulan. Belum lagi kalau hujan datang, kontrakanku biasa terendam air setinggi paha. Dengan beralaskan selimut yang kupinjam dari Bho lah setiap malam aku tidur. Makan pun dah ga nafsu lagi karena aku gak tau apa yang harus kulakukan berikutnya.

Uang dollar pemberian orangtuaku, kusimpan, hanya kusimpan. Aku pun rasanya tak mampu mencairkannya di money changer. Ini dana yang harus kusimpan untuk anakku nanti.

Terkadang, kalau rasa bosan menderaku, aku mulai mencari game centre dan bermain RF, bertukar cerita dengan teman – teman walaupun setiap mereka menanyakan kabarku, aku selalu membohongi mereka dengan alasan tidak mau merepotkan mereka lagi. Padahal, kondisiku saat itu mungkin sedang benar – benar drop.

Untuk makan, terkadang tak ada makanan apapun yang masuk ke tubuhku. Pertama karena “Morning Sickness” ku yang semakin menjadi – jadi. Kedua, mungkin karena aku tidur hanya beralaskan selimut itu, kondisi badanku jadi berantakan. Aku sulit membedakan antara “Morning Sickness” dan “Masuk Angin”, karena aku hampir merasakan mual yang hebat sepanjang hari. Tapi karena aku tak bisa sendiri, aku selalu menyempatkan diri OL RF demi teman – temanku sampai suatu saat…ketika aku sedang berada di markas karena janjian mau beli elemental dengan temanku, tiba – tiba datang menghampiri char RFku sesosok Accretia yang tak kukenal..

“Hai Cewek”, sapanya.

‘Kok dia tau ya kalo aku cewe??’, hati kecilku bertanya.

“Ya, kok lo tau gwe cewek?”, tanyaku spontan.

“Tau dong”, jawabnya.

“Tau dari mana?”, tanyaku pada char bernama ‘godtohell’ itu.

“Tau, karena gwe kenal banget lo, Beb”, jawabnya yang membuatku kaget setengah mati.

“Bho?? Sasa??”, tanyaku kaget.

“Ya..Pa kabar??”, tanyanya.

“Baik…..lo gimana kabarnya?”, tanyaku.

“Baik….”, jawabnya.

“Bikin char baru ya Sa?”, tanyaku.

“Ya….lo tumben OL?”, tanyanya.

“Iyah, lagi kangen aja. Lagian belum tau kapan bisa OL lagi”, jawabku.

“Kenapa? Mau kemana?”, tanyanya.

“Ke Aceh kali…”, jawabku sekenanya, karena aku dah ga sanggup lagi berbincang – bincang dengannya.

“NGAPAIN ???!!!!!”, tanyanya yang kelihatan hmm..entah bingung…entah heran…

“Ada deh…kenapa mangnya?”, tanyaku.

“Kamu dimana siy? Kamu ga balik ke Samarinda ya?”, tanyanya.

“Aku di atas bumi di bawah langit. Ke Samarinda lagi kok tapi entah kapan”, jawabku.

“Bener???”, tanyanya.

“Mang kenapa Sa?”, tanyaku.

“Kan dulu kamu janji bakal balik ke Samarinda lagi. Kamu boong ya?”, tanyanya.

“Boong apa?”, tanyaku kembali…

“Kamu boong kan? Kamu pasti ga akan balik ke Samarinda. Ya kan?”, tanyanya

“Apa untungnya aku balik ke Samarinda Sa?”, tanyaku

“Ada…Banyak. Tolong jangan panggil aku ‘Sasa’..”, jawabnya.

“Sorry….tapi gwe ga tau kapan kesana Ji”, jawabku.

‘entah lah Saaaa……Entah aku bisa kesana lagi apa ga. Kenanganmu, semua tentangmu membuatku semakin lemah dan lemah, Sa’, jeritku dalam hati

“Hoy..kok diem? Bener ya kamu boong kalo bakal balik ke Samarinda lagi?”, tanyanya lagi

“Bukan gitu, gwe lagi sibuk chat ma anak – anak guild”, alibiku

“Ooo…..Kamu Kok beda siy Beb?”, tanyanya.

Aku langsung keluar dari RF dan masuk lagi dengan charku yang lain, yang ga diketahui Bho. Yang tau char itu hanya gerombolan siberatku a.k.a guildku. Kala itu Bho bukan lagi anggota S.C.O.R.P.I.ON. Nama VieANKaCHu dah terlalu lama terjun di dunia per-Rfan. Begitu namaku muncul di layar chat, sudah ada yang whisp aku.

“Ras, kemana tadi?”, tanyanya dan itu ternyata Kazuya009

“Relogin, mau mainin char ini. Kenapa?”, tanyaku.

“Tadi dicariin Om KoalaDewa tuh”, jawabnya.

“Siap, nanti gwe whisp dya”, jawabku.

Aku segera membuka daftar buddyku dan meng klik kanan nama KoalaDewa dan memilih untuk ‘chat 1:1’

“Mas Yud, cari aku tadi?”, tanyaku

“Kenapa ganti char?”, tanyanya.

“Oia, mau tanya. Bho bikin char baru ya namanya ‘godtohell’??”, tanyaku.

“Ya..kenapa?”, jawab Yudha.

Aku menceritakan apapun yang tadi terjadi padaku. Pada akhirnya, aku me-non aktifkan char VieANKaCHu ku dan menggunakan char kecilku. Rasanya aku ga sanggup untuk liat Bho lagi dalam hidupku tapi entahlah. Aku juga tidak punya keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya pada Bho.

Akhirnya aku menghentikan chatku dengan Yudha. Aku lebih sering chat dengan Kazuya009 atau astra46. Aku ga mau terlalu dekat dengan Yudha.

Hari – hariku kulalui dengan kegiatan yang sama. Terkadang, anak2 guild menelponku, menanyakan keadaanku. Dan akhirnya, aku harus berbohong agar mereka tidak tau tentang apa yang sedang kujalani.

28 April….

Hari itu, Hari ulang tahun ku yang entah sudah keberapa aku tak tahu. Yang kupikirkan hanya, aku ingin merasakan kebahagiaan saat itu. Aku memutuskan untuk menghabiskan hari dengan begadang sampai pagi.

Aku pergi ke net yang jauh dari kontrakanku.

Menghabiskan uang dan waktu seharian disana tanpa mencari pekerjaan membuatku berpikir, untuk memulainya sekarang.

Aku menemukan sebuah kantor yang membutuhkan pegawai. Dengan pengalaman yang aku punya, aku yakin 80% mereka akan mempertimbangkan aku. Mungkin yang akan jadi masalah adalah apa yang sedang terjadi padaku. Aku tak perduli, tidak ada salahnya mencoba daripada tidak sama sekali.

Aku segera mengirimkan CV dan semua Referensi yang kupunya ke alamat email yang tertera disana. Attach semuanya dan..

‘Done!!’, jeritku dalam hati.

Tinggal waktuku berdoa, Aku ga mau manggantungkan hidupku dengan semua pemberian orangtuaku. Biar itu jadi hak anakku.

Aku bermain RF seharian hari itu. Sampai tiba – tiba aku bertemu dengan teman lamaku di RF, si BandarGanZa.

“Raaaaaaaaaaaassssssssssss!!!!!!!!!”, serunya di chat all.

“iyah, Rick”, jawabku.

“Kemana aja? Lagi dimana?”, tanyanya.

“Kan kemaren di Samarinda. Sekarang di Jakarta”, jawabku.

“Weq. Kenapa? Ada apa? Masih sama Bho kan?”, tanyanya.

Aku pun menceritakan semuanya dan Erick a.k.a Bandarganza pun marah bukan main. Dia memaki – maki Bho ga jelas di chat RF.

“Ras, lo harus bilang sama dia”, ujarnya.

“Ga bisa…gwe ga sanggup”, jawabku.

“Ga sanggup apa? Lo kudu bilang…kudu bilang sama dia”, suruhnya.

“Gwe dah tau jawabannya Rick, dan gwe kayaknya ga sanggup denger kata – kata itu eluar dari mulut dya lagi”, jawabku.

“Lo ga usah telpon dia. Sms aja atau tinggalin pesen di YM kek. Pokoknya harus bilang Ras”, suruh Erick.

Akhirnya, setelah perdebatan panjang dengan Erick, aku mulai memberanikan diri mengirimkan sms pada Bho tentang keadaanku, tapi tak ada balasan. Akhirnya sebelum aku mengakhiri hariku, aku mengirimkan sebuah offline messege via YM ke YMnya Bho, yang berisi :

Sa, maaf kalo aku harus ngomong ini sama kamu. Ya, aku hamil Sa. Tapi kamu ga usah takut, aku dah tau jawaban kamu seperti apa. Jadi, aku dah mengambil keputusan ini dari awal. Aku tetap mempertahankan semuanya tanpa ada kamu. Kamu ga perlu bertanggung jawab atas ini, aku pasti akan baik – baik aja walaupun kamu tahu resikonya besar. Kirim doa aja ya Sa. Aku juga ga akan pernah benci sama kamu dan aku juga ga akan pernah buat si kecil benci sama kamu. Seburuk – buruknya kamu tetap ayahnya dan aku ga mau dia jadi ga hormat sama kamu kalau suatu saat kalian ketemu secara ga sengaja. Kejar kebahagiaanmu Sa.

Aku mengirimkan 2 offline msg padanya…karena ga cukup kalo 1 offline msg.

Aku mengakhiri petualanganku hari itu dengan perasaan tak menentu. Aku pulang ke kontrakan dengan perasaan yang….haaahh…sedih, karena aku akan benar benar kehilangan Bho.

Entahlah…mungkin memang perasaan ini yang harus kurasakan di hari Ulang Tahunku.

Dulu Aku mengharapkan bisa menghabiskan hari ulang tahunku dengan Bho…tapi sudahlah….

Tinggal saat ini aku menunggu, apa yang akan terjadi padaku selanjutnya……entahlahh….

Aku..pasrah…..

;;